BAB II
Harta Warisan Orang Banci (Khuntsa
al-Musykil)
A.
Pengertian Orang Banci (Khuntsa
al-Musykil)
Khuntsa
berasal dari akar kata al-khants, jamaknya al- khunatsa artinya lembut atau
pecah. Yang dimaksud al-khuntsa secara terminologis adalah orang yang memiliki
alat kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus, atau tidak memiliki alat
kelamin sama sekali.[1]
Muslich
Maruzi mendefinisikan al-khuntsa adalah orang yang diragukan jenis kelaminnya
apakah ia laki-laki ataukah perempuan. Karena kalau dikatakan laki-laki ia
mirip perempuan, tetapi kalau dinyatakan perempuan ia mirip laki-laki. Istilah
yang sering dipakai adalah wadam (wanita- adam), atau waria (wanita-pria) atau
gay. Sebenarnya istilah wadam atau waria tidak selalu identik atau sama dengan
yang dimaksud dengan al-khuntsa al-musykil. Karena penyebutan wadam atau waria,
asosiasinya menunjukkan bahwa mereka secara fisik adalah laki-laki, hanya
mungkin secara kejiwaan (psikologis), atau mungkin segi hormonal, penampilannya
kejiwaan seperti perempuan. Sementara al-khuntsa al-musykil memang secara tidak
jelas kelaminnya, baik karena berkelamin ganda tidak berkelamin sama sekali.[2]
Pada
dasarnya untuk menetapkan berapa bagian yang harus diterima orang banci
(khuntsa) apabila dimungkinkan adalah mencari kejelasan status dan jenis
kelaminnya. Tetapi apabila sulit menentukan statusnya, indikasi fisiklah yang
dipedomani, bukan gejala-gejala psikis Hal ini didasarkan pada jawaban Nabi
Saw. Ketika beliau menimang anak banci orang Ansar dan ditanya tentang hak
warisnya. Kata beliau: “Berikanlah anak khuntsa ini (seperti bagian anak
laki-laki atau perempuan) mengingat alat kelamin mana yang pertama kali
digunakan buang air kecil.” [3]
ورّثوا من اوّل ما يبول (رواه ابن
عباس)
"Berikanlah warisan menurut kelamin
mana pertama buang air kecil." (Riwayat Ibn 'Abbas)
Cara
lain yang bisa ditempuh adalah meneliti tanda- tanda kedewasaannya, kaena
antara laki-laki dan perempuan apabila sudah mulai dewasa terdapat tanda-tanda
dan perbedaan ciri-ciri yang menonjol. Misalnya, tumbuh kumis, jenggot, buah
tenggorokan, dan suaranya besar jika laki-laki, atau buah dadanya menonjol,
tidak berkumis, dan suaranya khas jika perempuan.
Sekiranya
tanda-tanda tersebut dapat diketahui dengan jelas, maka dapat digolongkan
kepada khuntsa ghairu musykil. Maka untuk menentukan bagian warisannya cukup
dilakukan alat/jenis kelamin yang dapat diketahui melalui ciri- menurut ciri
fisik tersebut. Namun jika ternyata tidak dapat diketahui secara persis jenis
kelamin dan ciri-ciri fisiknya, termasuk kategori khuntsa musykil, para Ulama
berbeda pendapat dalam memberikan bagian warisan kepada mereka. [4]
1. Khuntsa
al-musykil diberi bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki atau perempuan,
dan bagian terbesar diberikan kepada ahli waris yang lain. Ini adalah pendapat
Imam Hanafi, Muhammad al-Syaibani dan Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya.[5]
Jadi,
misalnya setelah dihitung bagian khuntsa menurut perkiraan perempuan bagiannya
lebih sedikit daripada perkiraan laki-laki, maka bagian yang diberikan
kepadanya adalah bagian perempuan. Demikian juga sebaliknya, jika yang lebih
sedikit adalah bagian perkiraan laki-laki, maka bagian itulah yang diberikan
kepada khuntsa. [6]
Argumentasi
yang dimajukan adalah untuk memberi bagian yang meyakinkan, dan yang meyakinkan
adalah yang sedikit. Adapun sisa harta yang ada ditangguhkan terlebih dahulu
sampai ada kejelasan status kelamin khuntsa tersebut.
Contoh
pertama, apabila seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari: bapak,
anak perempuan, anak khuntsa musykil dan ibu. Harta warisannya sejumlah Rp
36.000.000,- Bagian masing-masing adalah: [7]
a. Perkiraan
khuntsa laki-laki:
ahli waris
|
bagian
|
AM
|
HW
|
penerimaan
|
|
6
|
Rp36,000,000
|
||||
Ibu
|
1/6
|
1
|
1/6
|
Rp36,000,000
|
Rp6,000,000
|
Anak Pr
|
A
|
4
|
2/3
|
Rp36,000,000
|
Rp24,000,000
|
Anak LK (Khuntsa)
|
|||||
bapak
|
1/6
|
1
|
1/6
|
Rp36,000,000
|
Rp6,000,000
|
Rp36,000,000
|
Khuntsa mustkil yang diperkirakan
laki-laki enerima bagian dua kali lipat bagian perempuan, atau 2/3 x 24.000.000
=16.000.000 dan anak perempuan menerima bagian 1/3 x 24.000.000 = 8.000.000.
b. Perkiraan
khuntsa perempuan
ahli waris
|
bagian
|
AM
|
HW
|
penerimaan
|
|
6
|
Rp36,000,000
|
||||
Ibu
|
1/6
|
1
|
1/6
|
Rp36,000,000
|
Rp6,000,000
|
Anak Pr
|
A
|
4
|
4/6
|
Rp36,000,000
|
Rp24,000,000
|
Anak pr
|
|||||
bapak
|
1/6 + A
|
1
|
1/6
|
Rp36,000,000
|
Rp6,000,000
|
Rp36,000,000
|
Khuntsa
dalam perkiraan perempuan menerima bagian separuh atau 1/2 x Rp 24.000.000 Rp
12.000.000,- [8]
Jadi bagian terkecil dari dua
perkiraan di atas adalah bagian perempuan. Sementara bagian ibu Rp 6.000.000-
anak perempuan Rp 12.000.000,- dan bapak sebesar Rp 6.000.000.
2. Khuntsa dan
ahli waris lain diberi bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki dan
perempuan. Sisanya ditangguhkan hingga ada kejelasan jika dimungkinkan. Atau
penyelesaiannya diserahkan kepada kesepakatan bersama ahli waris. Demikian
pendapat Ulama Syafi'iyah, Abu Dawud, Abu Tsaur, dan Ibn Jarir.[9]Yang
penting, di dalam menyelesaikan pembagian harta antara keluarga, keadilan harus
ditempatkan sebagai prinsip utama. Dengan demikian, apabila kedua contoh di
atas diselesaikan menurut pendapat atau pola kedua, akan dihasilkan perhitungan
sebagai berikut:[10]
ibu menerima
bagian Rp 6.000.000
anak perempuan
menerima Rp 8.000.000
anak khuntsa
menerima Rp 12.000.000
bapak menerima Bp 6.000.000
jumlah Rp 32.000.000,
Jumlah
Sisa harta sebesar (Rp 36.000.000--Rp 32.000.000-)- Rp 4.000.000,- ditangguhkan
atau diselesaikan menurut kesepakatan ahli waris
Para
Ulama tampaknya dalam masalah khuntsa musykil ini tidak menyinggung-nyinggung
tentang bait al- mal. Menurut hemat penulis, dengan mengikuti kedua pendapat
tersebut di atas, sisa harta yang ada hendaknya diserahkan saja ke bait al-mal.
Pertimbangannya adalah pertama, masing-masing ahli waris telah menerima bagian
warisan secara meyakinkan, yakni bagian yang sedikit dari dua perkiraan. Kedua,
sisa harta yang ada yang akan diserahkan ke bait al-mal merupakan amal jariyah
bagi al- muwarrits sebagai investasi akhirat.[11]
Sehubungan
dengan kemajuan teknologi kedokteran sekarang ini, masalah khuntsa mendapat
tantangan baru. Beberapa kasus telah muncul ke permukaan. Seorang banci yang
secara fisik laki-laki dapat menjalani operasi ganti kelamin perempuan, dan
mendapat legalisasi dari Pengadilan Negeri. Persoalannya adalah, apakah dengan
keputusan deklaratoir dari Pengadilan Negeri tersebut, identik dengan
legalisasi agama. Sementara secara sosiologis, masyarakat menolerir adanya
perubahan tersebut. Mencari keabsahan dalam masalah ini tampaknya tidaklah
mudah karena betapa pun norma dan etika agama, terlebih lagi menyangkut usaha-usaha
mengubah ciptaan Allah. Kecenderungan yang ada selama ini menunjukkan bahwa
usaha tersebut tidak diperkenankan. [12]
Apabila
kita konsisten kepada hadis Nabi Saw. seperti telah dikutip di muka, berarti
bukan hasil operasi yang dipedomani dalam memberikan bagian warisan, akan
tetapi kelamin semula yang dilalui pertama kali buang air kecil, yang
dipertimbangkan sebagai dasar hukum dalam menentukan status hukumnya, apakah
sebagai ahli waris atau sebagai muwarrits. Wa Allah a'lam bi al-shawab.[13]
BAB III
Kesimpulan
Khuntsa
adalah seseorang yang memiliki kelamin ganda (laki-laki atau perempuan) para
fuqaha membagi khuntsa menjadi dua macam:
Khuntsa musykil
yaitu orang yang memiliki alat kelamin ganda, jika ia membuang air kecil
melewati alat kelamin bersama-sama
Khuntsa ghoir
musykil, yaitu orang yang memiliki alat kelamin ganda, akan tetapi
statusnya sudah diketahui bahwa ia
statusnya laki-laki ketik membuang air kecilnya melalui dzakar atau statusnya
perempuan ketika mambuang air kecilnya melalui farji.
Patutnya dalam
penyelesaian masalah waris dilakukan dengan musyawarah dengan mengambil paling
baik, sesuai dengan syariat, supaya tidak ada yang terdzalimi dari salah satu
pihak atau banyak pihak.
[1] Hasanain Muhammad Mahluf, al
Mawaris fi al syariah al islamiyah, (Kairo: Lajnah al Bayan al Arabiyah) hlm.
144.
[2] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (
Jakarta: Rajawali Press, 2015), hlm 172
[3] Ibid. hlm. 172-173.
[4] Ibid.
[5] Fathur Rohman, Ilmu Waris, (
Bandung: al Maarif, 1981), hlm. 94.
[6] Ahmad Rofiq, op.cit. hlm. 174
[7] Ibid.
[8] Ibid. hlm. 175
[9] Fathur Rohman, op. cit. hlm. 16.
[10] Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 176
[11] Ibid. hlm. 177.
[12] Ibid. hlm. 179
[13] Ibid.
0 Komentar