Pendahuluan
- Latar Belakang.
Ahwal
asy-syakhiyyah atau hukum keluarga islam adalah adalah hukum yang mengatur
perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.
Sehingga, hukum keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan antar anggota
keluarga. Maksud keluarga disini adalah keluarga pokok, yakni: bapak, ibu, dan
anak, baik ketika masih sama-sama hidup dalam satu rumah tangga maupun setelah
terjadi perpisahan yang disebabkan oleh perceraian ataupun kematian.
Hukum keluarga adalah keseluruhan kaedah-kaedah hukum
(baik tertulis maupun tidak tertulis). Hukum keluarga tertulis adalah
kaedah-kaedah hukum yang bersumber dari UU, yurisprudensi, dan lain sebagainya.
Sedangkan hukum keluarga tidak tertulis adalah kaedah-kaedah hukum keluarga
yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat (merupakan suatu
kebiasaan). Misalnya, kegiatan Marari dalam kehidupan masyarakat suku Sasak.
Kaidah-kaidah hukum dalam hukum keluarga untuk menjalankan sebuah hukum islam
atau fiqh.
- Rumusan Masalah
1.
Apa
kaidah-kaidah khusus di bidang ahwal asy-syakhiyyah?
- Tujuan
1.
Untuk
Mengetahui kaidah-kaidah khusus di bidang ahwal asy-syakhiyyah
II
PEMBAHASAN
A. Kaidah-Kaidah Fikih Khusus Di Bidang Ahwal Asy-Syakhshiyyah
Kaidah yang
khusus di bidang ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga) menjadi penting karena
perhatian sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis kepada
masalah-masalah keluarga sangat besar. Hal ini terbukti jumlah ayat yang
berhubungan dengan hukum keluarga menempati nomor dua setelah ibadah mahdhah.
Artinya, Al-Qur’an dan Al-Hadis setelah memberi tuntunan yang cukup untuk
pembinaan pribadi muslim dengan ajaran ibadah mahdhah, kemudian beralih kepada
pembinaan kehidupan keluarga muslim yang menjadi unsur terkecil dalam pembinaan
masyarakat dan komunitas muslim.[1]
Dalam hukum
Islam, hukum keluarga ini meliputi : pernikahan, waris, wasiat, wakaf dzurri
(keluarga), dan hibah di kalangan keluarga. Kaidah-kaidah yang khusus di bidang
ini antara lain:
1.
الأَصْلُ فِي
الَإ بْضَاعِ التَّحْرِيْمُ
Artinya: “Hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud kaidah
ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab
yang jelas dan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya
akad pernikahan.
Apabila seorang
laki-laki diberi tahu bahwa dia sepersusuan dengan keluatga B, maka dia tidak
boleh nikah dengan yang persusuan dari Keluarga B, kecuali ada bukti yang
meyakinkan bahwa dia tidak sepersusuan dengan keluarga B lagi.
Contohnya,
pemuda dan pemudi haram melakukan seks di luar nikah, akan tetapi berbeda
halnya apabila pemuda dan pemudi tersebut telah melakukan akad nikah, maka
menjadi halal apabila melakukan seks.
2.
لَا حَقَّ
لِلزَّوْ جِ عَلَى زَو جَتِهِ إِلَّا فِي حُدُوْدِ يَمْسِ لِلزَّوَاجِ وَلَا حَقَّ
لِلزَّوْ جَةِ عَلَى زَوْجِهَا إِلَّا فِي حُدُوْدِأَوَامِرِ الشَّرْعِ فِيْمَا
يَمْسِى الزَّوَاجِ
Artinya: “Tidak
ada hak bagi suami terhadap isterinya kecuali dalam batas-batas pernikahan dan
tidak ada hak bagi isteri terhadap suaminya kecuali dalam batas-batas perintah
syariah yang berhubungan dengan pernikahan”
Kaidah di atas
menggambarkan kedudukan yang seimbang antara suami dan isteri yang sama sebagai
subjek hukum yang penuh. Apabila suami memberikan sesuatu sebagai hibah kepada isterinya
atau isteri memberikan sesuatu kepada suaminya, maka seorang pun tidak dapat
mencampurinya. Masing-masing pihak, suami atau isteri tidak boleh menarik
kembali hibahnya setelah penyerahan atau ijab kabul terjadi.[4] Contohnya juga
seperti harta isteri yang didapat dari orang tuanya, maka suami tidak boleh
mengambilnya, kecuali atas izin isterinya.
3.
كُلُّ
امْرَأَتَيْنِ لَوْ قُدَّرَتْ إحْدَاهُمَا ذَ كَرًا وَحُرِّ مَتْ عَلَيْهِ
الأُخْرَى فَلَا يَجُوزُ الجَمْعُ بَيْنَهُمَا
Artinya:
“Setiap dua orang wanita apabila salah satunya ditakdirkan (dianggap) sebagai
laki-laki dan diharamkan untuk nikah di antara keduanya, maka kedua wanita
haram untuk dimadu”
Contohnya,
haram memadu seorang wanita dengan bibinya, karena apabila bibi itu kita anggap
laki-laki, maka haram dia menikahi keponakannya. Demikian pula memadu seorang
wanita dengan anak perempuan saudara wanita tersebut. Haram pula memadu seorang
wanita dengan perempuan dari anaknya. Haram memadu seorang perempuan dengan
saudaranya, karena apabila salah seorangnya dianggap laki-laki, dia haramkan
nikah dengan saudarannya.[2]
4.
النِّكَاحُ لَا
يُفْسِدُ بِفَسَادِ الصدَا قِ
Artinya: “Akad nikah tidak rusak dengan rusaknya mahar”
Contohnya,
Anton mewakilkan dalam akad nikah dengan menyebut maharnya kemudian si wakil
menambah mahar tadi, misalnya dari 100 gram emas menjadi 150 gram emas, maka
nikahnya tetap sah dan kepada wanita tadi diberikan mahar mitsli.
5.
كُلُّ عُضْوٍ
حَرَّمَ النَّظْرَ إِلَيْهِ حَرَّمَ مَسَّهُ بِطَرِيْقٍ أَوْلَى
Artinya: “Setiap
anggota tubuh yang haram dilihat, maka lebih-lebih haram pula dirabanya”[3]
6.
لَايُجَوِّ زُ
مُسْلِمُ كَافِرَةً
Artinya: “Wali yang muslim tidak boleh menikahkan wanita yang
kafir”
Contohnya, Abu
Bakar adalah seorang muslim yang memiliki anak beragama kafir, maka ia tidak
boleh atau tidak sah menjadi wali anaknya yang kafir tadi. Wanita yang kafir
tidak memilki wali nasab, tetapi dapat diwakilkan oleh wali hakim.
7.
مَنْ عَلَقَ
الطَّلَاقَ بِصِفَةٍ لَم يَقَعْ دُوْنَ وُجُوْدِهَا
Artinya:
“Barangsiapa yang menggantungkan talak kepada suatu sifat, maka talak tidak
jatuh tanpa terwujudnya sifat tadi”
Di Indonesia
sudah umum menggantungkan talak kepada sesuatu hal, yaitu yang disebut dengan
ta’liq talak. Talak menjadi jatuh apabila ta’liq talaknya terwujud dengan
syarat si isteri tidak rela dan mengajukan gugatan ke pengadilan.[4]
Contohnya,
Qadir sewaktu akad nikah menyebut ta’liq talak, maka apabila dilanggar, talak
tersebut jatuh dengan terwujudnya sifat tersebut, umpamanya tidak memberi
nafkah isteri selama tiga bulan.
Pengarang syarh
al-takhir, merumuskan kaidah tersebut dengan: [5]
من
علاق طلاقا بصفةوقع بوجودها
Barang siapa
menggantungkan talak dengan satu sifat, maka talak jatuh dengan wujud sifat
tersebut
8.
كُلُّ
فِرْقَةٍمِنْ طَلَاقٍ أَوْ فَسْخٍ بَعْدَ الوَطَءِ تُوْ جَبُ العِدَّةُ
Artinya: “Setiap perceraian karena talak atau fasakh sesudah
campur, maka wajib ‘iddah”
Kaidah ini
berhubungan dengan wajibnya iddah (masa tunggu) apabila terjadi perceraian.
Sudah tentu waktu menunggunya bermacm-macm seperti diuraikan dalam kitab-kitb
fikih.
9.
كُلُّ مَنْ
أَدْلَى إِلَى الهَا لك بِوَاسِطَةٍ فَلَا يَرِثُ بِوُجُوْدِهَا
Artinya:
“Setiap orang yang dihubungkan kepada yang meninggal melalui perantaraan, maka
dia tidak mewarisi selama perantara itu ada”
Contohnya,
antara kakek dan bapak. Kakek tidak dapat waris selama bapak orang yang
meninggal masih hidup, karena kakek dihubngkan dengan orang yang meninggal
melalui bapak. Demikian juga anak laki-laki dengan cucu laki-laki. Cucu
laki-laki tidak dapat waris selama ada anak laki-laki dari orang yang
meninggal, karena cucu laki-laki dihubungkan dengan orang yang meninggal
melalui anak laki-laki.
10.
كُلُّ مَنْ
وَرَثَ شَيْئًا وَرَثَهُ بِحُقُوْ قِهِ
Artinya:
“Setiap orang yang mewarisi sesuatu, maka dia mewarisi pula hak-haknya (yang
bersifat harta)”
Contohnya, hak
khiyar terhadap barang, karena hak khiyar tetap ada dalam jual beli. Demikian
pula hak terhadap utang atau gadai atau juga hak cipta yang diwariskan. Maka
kedudukan ahli waris dalam hal ini menduduki kedudukan orang yang meninggal.
11.
أَنَّ الأَقْوَى
قرَا بة يَحْجُبُ الأَ ضْعَفَ مِنْهُ
Artinya: “Kekerabatan yang lebih kuat menghalangi kekerabatan yang
lebih lemah”
Contohnya,
saudara laki-laki sekandung menghalangi saudara laki-laki sebapak dalam
mendapatkan warisan. Artinya, apabila ahli waris terdiri dari saudara laki-laki
sekandung dan saudara laki-laki sebapak, maka yang mendapat harta warisan hanya
saudara laki-laki sekandung, karena kekerabatannya lebih kuat yaitu melalui
garis ibu dan bapak. Sedangkan saudara laki-laki sebapak kekerabatannya lebih
lemah karena hanya melalui garis bapak.
Kaidah tersebut
hanya berlaku bila derajatnya kekerabatanya sama. Dalam contoh diatas,
sama-sama saudara dari orang yang meninggal hanya diterapkan dalam kasus
ashabah.
12.
لَاتِرْ كَةَ
إِلَّابَعْدَ سَدَادِ الدَّيْن
Artinya: “Tidak
ada harta peninggalan kecuali setelah dibayar lunas utang (orang yang
meninggal)”
Artinya,
sebelum utang-utang orang yang meninggal dibayar lunas, maka tidak ada harta
warisan. Seperti diketahui bahwa dalam hukum waris Islam, harta peninggalan
tidak dibagi dahulu sebelum diambil pembiayaan kematian kemudian untuk utang.
Kalau masih ada sisanya dipotong lagi untuk wasiat maksimal sepertiga. Sisanya
dibagi di antara para ahli waris sesuai dengan ketentuan hukum waris Islam.[6]
Kaidah di atas dipertegas lagi dengan kaidah:
لَامِلْكِيَةَ
لِلْوَرَثَةِ إِلَّا بَعْدَ سَدَادِ الدَّيْن
Artinya: “Tidak ada hak kepemilikan harta bagi ahli waris setelah
dilunasinya utang”
13.
لَايَصِحّ الوَصِيَّةُ
بِكُلِّ الماَ لِ
Artinya: “Tidak sah wasiat dengan keseluruhan harta”
Dhabith ini
kemudian dipertegas oleh hadis nabi yang menyebutkan bahwa maksimal wasiat
adalah sepertiga dari harta warisan dan sepertiga itu sudah banyak.[7]
Contohnya,
Usman yang memiliki harta 10 Trilliun, maka tidak boleh mewasiatkan harta
tersebut semuanya, karena maksimalnya hanya 1/3, jadi batasannya yang dapat
diwasiatkan 3 Trilliun.
14.
كُلُّ مَنْ
مَاتَ مِنْ المسْلِمِيْنَ لَاوَارِثَ لَهُ فَمَالَهُ لِبَيْتِ الماَلِ
Artinya:
“Setiap orang Islam yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartanya
diserahkan kepada Bait al-Mal”
Contohnya,
Saiful Unus yang tidak memiliki keluarga satupun, beliau juga memiliki harta
berlimpah, maka harta tersebut diserahkan kepada Bait al-Mal
III
PENUTUP
- Simpulan
Dalam hukum
Islam, hukum keluarga ini meliputi : pernikahan, waris, wasiat, wakaf dzurri
(keluarga), dan hibah di kalangan keluarga. Kaidah-kaidah yang khusus di bidang
ini antara lain: Hukum asal pada masalah seks adalah haram, Tidak ada hak bagi
suami terhadap isterinya kecuali dalam batas-batas pernikahan dan tidak ada hak
bagi isteri terhadap suaminya kecuali dalam batas-batas perintah syariah yang
berhubungan dengan pernikahan, Setiap dua orang wanita apabila salah satunya
ditakdirkan (dianggap) sebagai laki-laki dan diharamkan untuk nikah di antara
keduanya, maka kedua wanita haram untuk dimadu, Akad nikah tidak rusak dengan
rusaknya mahar, Setiap anggota tubuh yang haram dilihat, maka lebih-lebih haram
pula dirabanya, Wali yang muslim tidak boleh menikahkan wanita yang kafir, Barangsiapa
yang menggantungkan talak kepada suatu sifat, maka talak tidak jatuh tanpa
terwujudnya sifat tadi, Setiap perceraian karena talak atau fasakh sesudah
campur, maka wajib ‘iddah, Setiap orang yang mewarisi sesuatu, maka dia
mewarisi pula hak-haknya (yang bersifat harta), Tidak ada hak kepemilikan harta
bagi ahli waris setelah dilunasinya utang, Tidak sah wasiat dengan keseluruhan
harta dan Setiap orang Islam yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, maka
hartanya diserahkan kepada Bait al-Ma.
- Kritik dan Saran
Demikianlah
makalah ini kami buat semoga bermanfaat dan berguna, dalam penulisan makalah
ini banyak kesalahan karena kurangnya pengetahuan penulis dan kurangnya referensi
untuk itu kami sebagai penulis memohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli. 2006.Ilmu Fiqih
: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: kencana.
A. Djazuli. 2010.
Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah
-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana.
Abdullah Ali Husain, Al-Muqaranah Al-Tasyriiyyah (Dar Al-Salam,
1421 H/2000 M)
[1]
Djazuli, Ilmu Fiqih : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
Jakarta: kencana, 2006, hlm. 169.
[2] A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah -masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 122.
[3]
Abdullah Ali Husain, Al-Muqaranah Al-Tasyriiyyah (Dar Al-Salam, 1421 H/2000 M)
[4] A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam. . . hlm. 123.
[5] A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam. . . hlm. 125.
[6] A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam. . . hlm. 127.
2 Komentar
Weh... Gawekno nggo aku
BalasHapuswani piro ????
BalasHapus