kaidah fiqhiyah dalam ibadah mahdhah









PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang



Banyak ka idah fikih yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungannya lebih sed ikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang-cabang fikih tertentu dan disebut al-qawaid al fiqhiyyah al-khashshah atau juga disebut al-dhabith oleh sebagian ulama. Sebagai landasan aktivitas umat islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-maksud ajaran islam (maqasid al-Syari’ah) secara lebih menyeluruh, keberadaan qawaid Fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting. Baik di mata para ahli ushul maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id Fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu ijtihad atau pembaruan pemikiran dalam masalah ibadah, muamalah, dan skala prioritas. Manfaat keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari teks dan jiwa nash asalnya yaitu al-Qur’an dan al-Hadis yang digeneralisasi dengan sangat teliti oleh para ulama terdahulu dengan memperhatikan berbagai kasus fiqh yang pernah terjadi, sehingga hasilnya kini mudah diterapkan kepada masyarakat luas.



B.       Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian dari Ibadah Mahdah?

2.      Apa saja kaidah-kaidah dalan kaidah khusus ibahah mahdhah ini?



C.       Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk dijadikan sebuah refereni bacaan dan bahan pembelajaran mengenai kaidah-kaidah khusus dalam hal ibadah mahdhah







A.      Pengertian Ibadah Mahdhah



Ibadah secara etimologis berasal dari bahasa arab yaitu عبد- يعبد -عبادة yang artinya melayani, patuh, tunduk.

Sedangkan menurut terminologis ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah swt, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.[1]

Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya yaitu Ibadah Mahdhah dan Ibadah Ghairu Mahdah.[2]

Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetapkan Allah swt akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah: Wudhu, Tayammum, Mandi hadats, Shalat, Shiyam (Puasa), Haji, Umrah. Jadi tidak bisa seseorang melakukan ibadah mahdhah dengan tata caranya sendiri tidak menurut tata aturan yang ada.

Sedangkan ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah swt. misalnya ibadah ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya.

            Kaidah fikih pada bidang ini memiliki ciri khas tersendiri yang pada prinsipnya Allah tidak bisa disembah kecuali dengan cara-cara yang telah ditentakan. Selain itu, dibidang ini harus dilakukan dengan cara hati-hati (al ihtiyath), karena hubungan muslim dengan Allah memberikan kepuasan bathin, dan kepuasan batin itu hanya bisa dicapai dengan melakukan ibadah secara benar, baik dan hati-hati.[3]



B.       Al-Qawaid al-fiqhiyah al-Khassah al-Mutaalliqat fil al-Ibadah

Kaidah-kaidah yang menyangkut terkait dalam bidang ibadhah mahdhah cukup banyak, diantaranya adalah:



1.    Kaidah 1

الأصل في العبادة التوقيف والإتباع

Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntunan syari’ah.[4]



Maksud kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdhah, harus ada dalil dan mengikuti tuntunan. Selain itu, ada juga yang menggunakan kaidah:

الأصل في العبادة البطلان حتى يقوم الدليل على الأمر

Hukum asal dalam ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.

Kedua kaidah ini mengandung substansi yang sama, yaitu apabila kita melaksanakan ibadah mahdhah harus jelas dalilnya, baik dari alquran maupun hadis Nabi saw. Ibadah Mahdhah itu tidak sah apabila tanpa dalil yang memerintahkannya atau menganjurkannya.[5]

Ibnu Taimiyyah dengan ungkapan yang senada maknanya mengunggkapkan dengan kata-kata:

أن العبادة التي أوجبها الله لا يثبت الأمر إلا بالشرع

“Ibadah yang diwajibkan Allah swt, tidak bisa dipastikan perintahnya kecuali atas tuntutan (dalil) syara’.[6]



2.    Kaidah 2

طهارة الأحداث لا تتوقّت

Suci dari hadas tidak ada batas waktu.[7]

Maksud dari kaidah ini adalah apabila seseorang telah suci dari hadas besar dan atau kecil, maka dia tetap dalam keadaan suci sampai ia yakin batalnya baik dari hadas besar atau kecil.



3.    Kaidah 3

التّلبس بالعبادة وجب إتمامها

Percampuran dalam ibadah mewajibkan menyempurnakannya.[8]

Yang dimaksud percampuran (al-talabus) adalah ada dua macam kemungkinan, yaitu menyempurnakan ibadah atau berpindah kepada keringanan (rukhsah). Al-talabus ini menyebabkan keserupaan, kebingungan, dan kesulitan. Kaidah di atas menjelaskan bahwa dalam keadaan demikian wajib menyempurnakannya.[9]

Contohnya: apabila seseorang telah berniat untuk melaksanakan puasa Ramdhan, kemudian pada siang harinya di mendadak harus bepergian jauh; apakah dia harus menyelesaikan puasanya ataukah dia harus membatalkannya dengan alasan bepergian? Berdasarkan kepada kaidah di atas, orang tersebut harus menyempurnakan puasanya, tidak boleh membatalkan puasanya. Apabila kita kembalikan kasus tersebut kepada kaidah asasi, “al-masyaqqah tajlib al-taysir” atau “al-dharar yuzal”, maka yang menyebabkan bolehnya membatalkan puasa adanya kesulitan atau kemudharata, seperti sakit atau bepergian jauh yang membawa kesulitan atau kemudharatan. Oleh karena itu, apabila dalam bepergian tidak menyulitkan dan tidak memudharatkan, maka dia harus menyempurnakan puasanya, sesuai dengan kaidah diatas.[10]



4.    Kaidah 4

لا قياس في العبادة غير معقل المعنى

“Tidak bisa digunakan analogi (qiyas) dalam ibadah yang tidak bisa dipahami maksudnya”[11]

Sudah barang tentu kaidah tersebut tidak akan disepakati oleh seluruh ulama, karena masalah penggunaan qiyas sendiri tidak di sepakati. Yang menyepakati adanya qiyas pun, dalam menggunakannya, ada yang menerapkannya secara luas, seperti pada umumnya mazhab Hanafi. Ada pula yang menggunakan seperlunya.[12]

Kaidah tersebut di atas membatasi penggunaan analogi dalam ibadah, hanya untuk kasus-kasus yang bisa dipahami maknanya atau illat hukumnya. Untuk kasus-kasus yang tidak bisa dipahami illat hukumnya, tidak bisa dianlogikan. Contohnya, cara shalat gerhana matahari atau gerhana bulan tidak bisa diketahui illat hukumnya. Oleh karena itu, ulama Syafi’iyyah dan Malikiyah melaksanakannya sebagai ta’bbudi. Kasus lainnya adalah tentang zakat tanaman yang bersifat ta’aqquli, artinya bisa dipahami maksudnya. Meskipun mazhab Syafi’i, zakat tanaman yang wajib dikeluarkan adalah yang menjadi makanan pokok anak negeri. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, zakat tanaman yang wajib dikeluarkan adalah tanaman yang bisa berkembang dan menghasilkan.[13]

5.    Kaidah 5

تقديم العبادة قبل وجود سببها لا يصحّ

“Tidaklah sah mendahulukan ibadah sebelum ada sebabnya”



Contoh dari kaidah ini adalah tidak sah shalat, haji, puasa Ramadhan sebelum datang waktunya. Kekecualiannya apabila ada cara-cara lain yang ditentukan karena ada kesulitan atau keadaan darurat, seperti jama’ taqdim, misalnya melakukan shalat ashar pada waktu zhuhur.[14]



6.    Kaidah 6

كل بقعة صحت فيها النافلة على الإطلاق صحت فيها الفريضة

“Setiap tempat yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak, sah pula digunakan shalat fardhu”.



Contohnya, sah shalat sunnah di Ka’bah, di Hijr Ismail, atau di Makam Ibrahim, maka sah pula untuk digunakan shalat fardhu.



7.    Kaidah 7

الإيثار في القرب مكروه وفي غيرها محبوب

“Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selainnya adalah disenangi”.



Kaidah ini banyak digunakan di kalangan ulama-ulama Syafi’iyyah. Contohnya, mengutamakan orang lain pada shaf (barisan) pertama dalam shalat adalah makruh. Mendahulukan orang lain dalam bersedekah daripada dirinya. Mendahukukan orang lain dalam menutup aurat dari pada dirinya sendiri. Akan tetapi, dalam shalat masalah-masalah keduniaan, mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri adalah disenangi. Misalnya, mendahulukan orang lain dalam membeli barang dagangan daripada dirinya sendiri.[15]



8.    Kaidah 8

الفضيلة المتعلقة بنفسه العبادة أولى من المتعلقة بمكانها

Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”.[16]



Pensyarah kitab al-Muhadzdzab berkata: segolongan dari golongan kami (Syafi’iyyah) menegaskan, bahwa kaidah ini adalah penting, dan kaidah ini dipahamkan dari perkataan ulama-ulama yang terdahulu diantarannya adalah: shalat Fardhu di masjid lebih utama dari shalat sendiri diluar masjid, tetapi shalat diluar masjid dengan berjamaah adalah lebih utama dari shalat sendiri dimasjid, karena jamaah adalah berkaitan dengan dzat nya ibadah, begitu juga dengan shalat sunnah dirumah lebih utama dari pada shalat dimasjid, karena shalat sunnah dirumah tidak ada unsur riya’ (ingin dilihat) dan menjadi keikhlasan kita beribadah kepada Allah swt, sebab ikhlas merupakan dari dzat nya ibadah.



9.    Kaidah 9

الأرض كلها مسجد إلا المقبرة والحمام

“Bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi.[17]



Maksud kaidah ini adalah boleh melakukan shalat di mana saja di muka bumi ini, sebab bumi ini suci kecuali apabila ada najis, seperti di kuburan atau dikamar mandi.



10.    Kaidah 10

الخوف يبيح قصر صفة الصّلاة

Kekhawatiran membolehkan qasar sholat”[18]

Seseorang yang khawatir dalam sebuah perjalanan, jika ia berhenti maka ia akan terlambat sampai ke tempat tujuan, maka ia diberbolahkan untuk menqoshor sholatnya.



11.    Kaidah 11



العبادة الوارد على وجوه متنوعة يجوز فعلها على جميع تلك الوجوه الواردة فيها



“Ibadah yang kedatangannya (ketentuannya) dalam bentuk yang berbeda-beda, boleh melakukannya dengan cara keseluruhan bentuk-bentuk tersebut”.[19]



Maksud kaidah ini adalah dalam beribadah seing ditemukan tidak hanya satu cara. Dalam hal ini, boleh memilih salah satu cara yang didawamkannya (konsisten melakukannya). Boleh pula dalam satu waktu dengan cara tertentu dan pada waktu lain dengan cara yang lain. Boleh pula menggabungkan cara-cara tersebut karena keseluruhannya mencontoh dari hadis Nabi saw.[20]

Contohnya seperti pada bacaan doa Takbirat al-Ihram. Ada bermacam-macam doa yang diriwayatkan. Berdasarkan kaidah ini, boleh dipilih salah satunya. Contoh lainnya seperti shalat ba’diyah jumat (shalat sunnah setelah shalat jumat), boleh dua rakaat dan boleh pula empat rakaat.



12.    Kaidah 12

الجزء المنفصل من الحيّ كميتته

“Bagian yang terpisah dari binatang yang hidup hukumnya seperti bagkai binatang tersebut”.[21]

Contoh dari kaidah ini adalah seperti telinga yang terpotang dan terpisah atau gigi yang lepas, hukumnya sama dengan bangkai yang najis dan haram untuk memakannya.

Selain kaidah-kaidah tersebut masih banya kaidah-kaidah yang lebih rinci yang kadang-kadang hanya berlaku pada mazhab tertentu dan tidak berlaku pada mazhab yang lain. Atau penerapannya yang berbeda. Ada yang menerapkannya secara ketat dan ada pula yang memberikan kekecualian-kekecualian, seperti kaidah:



كُلُّ مَنْ وُجِبَ عَلَيْهِ شَيْءٌ فَ فَاتَ لَزِمَهُ قَضَاؤُه

"Setiap sesuatu yang diwajibkan kepada seseorang, kemudian dia lewatkan (tidak dilakukan), maka dia wajib meng-qadha-nya”.[22]

Ulama-ulama Syafi’iyah menggunakan kaidah ini secara ketat dalam setiap kewajiban, kecuali wanita yang meniggalkan shalat karena haid. Ulama-ulama lain memberikan banyak kekecualian seperti tidak ada qadha untuk shalat wajib, sebab shalat harus dilakuakan sesuai dengan kemampuan yang ada. Tetapi untuk kewajiban puasa Ramadhan, ulama sepakat ada qadha berdasar alquran surat al-Baqarah ayat 184-185.

Contoh kaidah yang digunakan dalam mazhab Maliki tetapi tidak dipakai pada mazhab yang lain, seperti:



كل ما يفسد العبادة عمدا يفسدها سهوا

“setiap yang merusak (membatalkan ibadah) karena sengaja, maka hal tersebut membatalkan pula karena lupa”.[23]

Kaidah ini sangat hati-hati dalam melakukan ibadah, sehingga apabila dilakukan dengan sengaja sama akibatnya dengan apabila dilakukan dengan tidak sengaja, yaitu sama-sama membatalkan atau merusak ibadah.

Contohnya seperti mengusap dzakar (alat kelamin) karena lupa adalah membatalkan wudhu karena apabila dilakukan dengan sengaja pun batal. Demikian pula halnya dalam mazhab Maliki, apabila orang lupa makan pada bulan Ramdhan, maka puasanya tidak sah, tetapi dia tidak berdosa. Hal ini berbeda dengan pendapat yang lain, bahwa lupa adalah salah satu unsur pemaaf dalam melakukan kewajiban.

Tampaknya yang lebih tepat dalam hal ini adalah kaidah:



مالا يمكن الإحتراز منه معفو عنه

Apa yang tidak mungkin dalam menjaganya, maka hal itu dimaafkan”.[24]

Jadi, unsur lupa termasuk yang dimaafkan, demikian pula ketidak sengajaan sepertia contoh diatas.



13.    Kaidah 13



لا تجب في عين واحدة زكاتان

Dalam satu jenis benda tidak wajib dua kali zakat”.[25]



Kaidah ini berhubungan dengan prinsip keadilan. Apabila seorang pedagang telah memenuhi syarat-syarat wajib zakat, maka yang dizakatinya adalah dari harta perdagangan. Demikian pula seorang petani yang telah memenuhi syarat zakat, maka zakatnya dari harta pertanian; seorang karyawan zakatnya dari penghasilan atau gajinya. Tetapi jika seorang pedagang dan memiliki perkebunanan luas serta memenuhi syarat-syarat wajib zakat, maka wajib menunaikan zakat dari keduanya. Karena perdagangan dan perkebunan berbeda jenisnya (zakat perdagangan dan perkebunan).[26]



14.    Kaidah 14.

من وجبت عليه فطرته وجبت عليه فطرة كل من تلزمه

Barang siapa yang diwajibkan kepadanya zakat fitrah, maka wajib pula baginya mengeluarkan zakat fitrah bagi orang yang di wajib menafkahinya[27]

Kidah ini mengaitkan kewajiban zakat fitrah kepada seseorang yang juga wajib baginya mengeluarkan zakat fitrah bagi orang-orang yang ada dalam tanggungannya, seperti anak-anaknya atau istrinya.[28]






PENUTUP

Simpulan

Ibadah berasal dar bahasa Arab yaitu عبد- يعبد -عبادة yang artinya melayani patuh, tunduk. Sedangkan menurut terminologis ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah swt, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.

Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya yaitu Ibadah Mahdhah dan Ibadah Ghairu Mahdah.

Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetapkan Allah swt akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah: Wudhu, Tayammum, Mandi hadats, Shalat, Shiyam (Puasa), Haji, Umrah. Jadi tidak bias seseorang melakukan ibadah mahdhah dengan tata caranya sendiri tidak menurut tata aturan yang ada. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah swt. misalnya ibadah ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya.



Berbicara dalam kaidah-kaidah fikih mengenai ibadah mahdhah sangat banyak, yang telah diuraikan oleh penulis diatas. Pada intinya ibadah itu harus didasari pada suatu dalil syara’ atau perintah untuk melaksanakan menganjurkan ibadah tersebut, diikuti dengan tata cara dan urutan yang telah ditentukan dan semua ibadah itu memiliki keringanan bagi mereka yang mempunyai masyaqqat atau kesulitan.




Daftar Pustaka



Alim, Muhammad. 2006. Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

al-Hanbali, Ibnu Rajab dan Abu Faraj Abd al-Rahman al-Bahdadi. al-Qawa’id fi al-Fiqh Taqrir al-Qawa’id wa Tahrir al-Fawa’id: Bait al-Afkar al-Dauliyah.

al-Maliki, Abd al-Wahab al-Baghdadi. al-Isyraf ala Masa’il al-Khilaf. Tunis: Mathba’ah al-Iradah

Al-Suyuti dan  Jalaluddin Abd al-Rahman. 1979. al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’I. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Djazuli. 2006. Kaidah-kaidah Fikih: Jakarta: Prenadaedia.

‘Ibadi, Mahmud. Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah. Jeddah:  al-Haramain.

Nuzaim, Ibnu dkk. 1983 H.  al-Asybah wa al-Nazhair.Damaskus: Dar al-Fikr.

Syukur, Amin. 2003. Pengantar Studi Islam.  Semarang: CV. Bima Sakti.

Taimiyah, Ibnu. 1322 H. al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiya: Riyad: Maktabah al-Rusyd.

















[1] Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, Semarang, CV. Bima Sakti,2003, h. 80.
[2] Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya,2006, h. 144.
[3] Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Prenadaedia, 2006), hlm. 114.
[4]  Ibnu Taimiyah, al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiya, (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1322 H). cet I, Juz II, hlm. 306
[5] Djazuli, Kaidah-kaidah Fikh, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm. 115.
[6] Ibid
[7] Abd al-Wahab al-Baghdadi al-Maliki, al-Isyraf ala Masa’il al-Khilaf, Tunis, Mathba’ah al-Iradah, tt. hlm. 263.

[8] Ibnu Rajab al-Hanbali, Abu Faraj Abd al-Rahman al-Bahdadi, al-Qawa’id fi al-Fiqh Taqrir al-Qawa’id wa Tahrir al-Fawa’id, tt. Bait al-Afkar al-Dauliyah, h. 53
[9] Djazuli. Op. cit. .. hlm. 116.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid. hlm. 117
[14] Ibid.
[15] Ibid. 118.
[16] Mahmud ‘Ibadi, Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Jeddah, al-Haramain, tt, h. 78.
[17] Ibnu Taimiyah, Op.cit.,Juz I, h. 77.
[18] Ibid.
[19] Ibnu Rajab al-Hanbali, Op.cit, h. 72-74.
[20] Djazuli, op.cit. ..hlm. 119.
[21] Ibnu Nuzaim, Al-Hanafi, Zayn al-‘Abidin Ibn Ibrahim, al-Asybah wa al-Nazhair, cet, 1, Damaskus, Dar al-Fikr, 1402 H/1983 M, h. 193.
[22] Al-Suyuti, Jalaluddin Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i, cet 1, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1399 H/1979 M, h. 429
[23] Abd al-Wahab al-Maliki, op.cit., h. 259.
[24] Ibid.
[25] Al-Subki, Op.cit., h. 225.
[26] Djazuli, op. cit… hlm. 121.
[27] Ibid. hlm. 122.
[28] Ibid.

Posting Komentar

0 Komentar