Hukum Pembuktian
MAKALAH
HUKUM PEMBUKTIAN
Mata kuliah : Hukum Perdata
Dosen Pengampu : Muhammad Shoim
logo
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembuktian adalah tahap
yang memiliki peranan penting bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Proses
pembuktian dalam proses persidangan dapat dikatakan sebagai sentral dari proses
pemeriksaan di pengadilan. Pembuktian menjadi sentral karena dalil-dalil para
pihak diuji melalui tahap pembuktian guna menemukan hukum yang akan diterapkan
maupun ditemukan dalam suatu perkara tertentu.
Pembuktian bersifat historis yang
artinya pembuktian ini mencoba menetapkan peristiwa apa yang telah terjadi
dimasa lampau yang pada saat ini dianggap sebagai suatu kebenaran, peristiwa yang
harus dibuktikan adalah peristiwa yang relevan, karena peristiwa yang irrelevan
tidak perlu dibuktikan. Pada intinya yang harus dibuktikan dalam tahap
pembuktian ini adalah peristiwa – peristiwa yang menuju pada kebenaran yang
relevan menurut hukum.
Tujuan dari pembuktian adalah untuk menetapkan hubungan hukum antara
kedua belah pihak yang berperkara dipengadilan untuk dapat memberi kepastian
dan keyakinan kepada hakim atas dalil yang disertai alat bukti yang diajukan di
pengadilan, pada tahap ini hakim dapat mempertimbangkan putusan perkara yang
dapat memberikan suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian hukum dan
keadilan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pembuktian dalam Hukum
Perdata?
2.
Bagaimana Sifat dari Pembuktian
?
3.
Apa Saja Teori Pembuktian ?
4.
Apa Saja Alat – alat Pembuktian
?
5.
Daluwarsa ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembuktian dalam Hukum Perdata
Pembuktian adalah penyajian
alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para pihak yang beperkara kepada
hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil
tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh
dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan[1].
Menurut Prof. Dr. Supomo pembuktian mempunyai arti luas dan terbatas. Dalam
arti luas, pembuktian berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat –
syarat bukti yang sah, sedangkan dalam arti terbatas pembuktian itu hanya
diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat.
Dari pengertian menurut Prof.
Dr. Supomo di atas, pembuktian dalam arti luas tersebut menghasilkan
konsekuensi untuk memperkuat keyakiban hakim semaksimal mungkin.
Hakim dalam memeriksa perkara
harus berdasarkan pembuktian, dengan tujuan untuk meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil – dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan atau untuk
memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat – syarat bukti yang sah. Dengan
demikian, pembuktian dengan segala sesuatu atau alat bukti yang dapat
menampakkan kebenaran di sidang perdilan dalam suatu perkara.
Pembuktian merupakan sesuatu
yang sangat penting, sebab pembuktian merupakan atau menentukan jalannya suatu
perkara dalam sidang. Yang harus dibuktikan adalah apa yang dikemukakan oleh
penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah, tidak perlu
dibuktikan[2], karena
beban pembuktian yang tidak disangkal oleh pihak lawan pada umumnya kebenaran
dan keabsahannya terhadap suatu hak dan kejadian telah diakui oleh para pihak
yang bersengketa, sehingga pembuktiannya tidak dipermasalahkan.[3] Dan
yang harus dibuktikan adalah sesuatu yang belum jelas, seperti ada sesuatu
benda berada di tangan seseorang, tiba – tiba datang seseorang yang mengaku
barang itu kepunyaannya. Dalam hal ini orang yang tiba – tiba mengaku, bahwa
barang itu kepunyaanya, maka ia harus membuktikan bahwa barang itu benar
kepunyaannya, sebab barang yang menjadi sangketa tadi belum jelas kepunyaanya.
Bila dapat membuktikan bahwa ia sebagai pemiliknya, maka barulah ia berhak
memiliki barang itu.[4]
B. Sifat Pembuktian
Baik dalam perkara pidana
apalagi dalam perkara perdata, pembuktian suatu perkara tidak bersifat logis.
Sehubungan dengan itu perlu dipahami uraian berikut.
1.
Hukum pembuktian dalam perkara
tidak selogis pembuktian ilmu pasti
Dalam ilmu hukum, tidak pernah
ditemukan dan diperoleh maupun dihasilkan pembuktian logis sebagaimana pasti
dan logisnya pembuktian yang dihasilkan ilmu pasti, karena dalam bidang ini
dapat dibuat metode pembuktian yang seksama ke arah hasil yang mutlak. Dengan
mempergunakan metode penjumlahan dan menjadikan batu kerikil sebagai sarana,
dapat dibuktikan dengan pasti dan absolut 2 + 2 = 4 begitu juga dengan metode
perkalian dapat dibuktikan dengan pasti dan seksama 2 x 2 = 4.
Tidak demikian halnya
pembuktian perkara. Meskipun telah ditetapkan metode beban wajib bukti, batas
minimal pembuktian, syarat formil dan materiil maupun alat bukti yang sah
dipergunakan membuktikan fakta atau peristiwa hukum, namun demikian:
·
Tidak pernah, bahkan tidak
mungkin dihasilkan pembuktian yang sempurna dan logis apalagi pasti;
·
Pembuktian perkara menurut
hukum pada prinsipnya selalu mengandung ketidak pastian relatif.
Bagaimanapun sempurnanya dan
kuatnya bukti yang diperoleh dalam persidangan sesuai alat bukti yang sah
menurut hukum, tidak mungkin diperoleh hasil kebenaran yang diyakini 100%.
Sekiranyapun yang diwujudkan berdasarkan alat bukti merupakan kebenaran yang
mendekati 100%, namundi dalam kebenaran tersebut masih selalu terkandung
keraguan terpencil (remote doubtness). Misalnya, berdasarkan tanda
penerimaan pembayaran yang ditanda tangani penjual, boleh dikatakan sudah
berhasil dibuktikan 100% kebenaran pembayaran yang dilakukan pembeli. Tetapi
apabila penjual menyangkal tanda tangan yang tertera di dalamnya bukan tanda
tangannya, dalam kebenaran itu terkandung keraguan terpencil atas kemutlakan kebenaran
tersebut.
Dari penjelasan di atas, hakim
tidak boleh menuntut pembuktian yang logis dan pasti dari para pihak yang
berperkara sebagaimana halnya pembuktian berdasarkan ilmu pasti.
2.
Kebenaran yang diwujudkan
bersifat kemasyarakatan
Bukti – bukti yang harus
disampaikan bukan berisi fakta yang logis, absolut, dan pasti, tetapi cukup
fakta yang mengandung kebenaran yang diterima akal sehat (Common sense)
artinya, kebenaran fakta yang dikemukakan selaras denagn kebenaran menurut
kesadaran masyarakat.
Misalnya
dengan adanya tanda terima pembayaran yang ditanda tangani penjual, dapat
diterima akal sehat bahwa pembeli telah melunasi pembayaran harga. Fakta
demikian selain dapat diterima akal sehat, juga dianggap selaras dengan
kebenran menurut kesadaran masyarakat, bahwa tanda terima pembayaran merupakan
bukti pelunasan. Memang kebenaran yang dikemukakan dalam contoh diatas, tidak
absolut dan pasti. Masih tetap ada keraguan, bahwa surat tanda terima itu
mungkin hasil rekayasa. Oleh karena itu, tepat apa yang diperingatkan H.R (Ho
ge Raad) 5 November 1937, N.J 1937,250, bahwa sejak semula sudah disadari
tentang masalah kejujuran para pihak dan sanksi dalam mengutarakan kebenaran
fakta. Dalam menyampaikan dan mengutarakan kebenaran selalu ada kemungkina
melekat penjelasan:
·
Yang bersifat duga – dugaan
·
Bisa juga bermotivasi
kebohongan, dan
·
Bahkan mengandung kepalsuan
Dengan demikian dalam
pembuktian kebenaran yang berlangsung dalam proses persidangan, kemungkinan
besar selalu melekat kebenaran berdasarkan dugaan, kebohongan, kepalsuan. Namun
hal itu harus diterima hakim sepanjang dugaan, kebohongan, dan kepalsuan itu
tidak dapat dibuktikan pihak lawan dalam persidangan.[5]
C. Teori Pembuktian Perdata
Teori hukum pembuktian
mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di
pengadilan diperlukan beberapa syarat – syarat sebagai berikut:
1.
Diperkenankan oleh undang –
undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
2.
Alat bukti tersebut dapat
dipercaya keabsahannya (misalnya, tidak palsu)
3.
Alat bukti tersebut memang
diperlukan untuk membuktikan suatu fakta
4.
Alat bukti tersebut mempunyai
relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan
Dalam hukum acara perdata, terdapat beberapa teori
pembuktian yang dikenal yaitu:
1.
Teori hukum subyektif (teori
hak)
Dalam teori ini menetapkan bahwa barang siapa yang
mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus
membuktikannya.
2.
Teori hukum obyektif
Teori ini mengajarkan bahwa seorang hakim harus
melaksanakan peraturan hukum atas fakta – fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan
kepadanya.
3.
Teori hukum acara dan teori
kelayakan
Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama, yakni
hakim seyogyanya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian.[6]
Terdapat 3 (
tiga ) buah teori bagi hakim di dalam menilai alat bukti yang diajukan oleh
para pihak :
1. Teori pembuktian bebas
Teori ini menghendaki kebebasan
yang seluas-luasnya bagi hakim, di dalam menilai alat bukti. Hakim tidak
terikat oleh suatu ketentuan hukum, atau setidak-tidaknya ikatan-ikatan oleh
ketentuan hukum harus dibatasi seminimum mungkin. Menghendaki kebebasan yang
luas berarti menaruh kepercayaan atas hakim untuk bersikap penuh rasa tanggung
jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan tidak terpengaruh
oleh apapun dan oleh siapapun.
2.
Teori
pembuktian negatif
Teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang
bersifat negatif. Ketentuan tersebut membatasi hakim dengan larangan untuk
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim dilarang
dengan pengecualian. ( Pasal 306 RBg/169 HIR, Pasal 1905 KUHPerdata )
Pasal 306
RBg/169 HIR:
“Keterangan
seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat
dipercayai di dalam hukum.“
Pasal 1905
KUHPerdata:
“Keterangan
seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh
dipercaya.“[7]
3.
Teori pembuktian positif
Disamping adanya larangan, teori ini
menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi
dengan syarat. ( Pasal 285 RBg/165 HIR, Pasal 1870 KUHPerdata )41
Pasal 285 RBg/165 HIR :
“Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan
undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat
surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya
dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang
tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu
sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar
diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta
tersebut.“
Pasal 1870 KUHPerdata :
“Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli
warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.”[8]
D.
Alat – alat Pembuktian
Alat bukti (bewijsmiddel) bermacam – macam bentuk dan jenis, yang
mampu memberi keterangan dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di
pengadilan. Alat bukti mana dianjurkan para pihak untuk membenarkan dalil
gugatan atau dalil bantahan. Alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak
mana yang paling sempurna pembuktiannya.[9]
Macam – macam alat bukti diatur dalam pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg, dan
Pasal 1866 BW yang mana pada intinya adalah sebagai berikut:
1.
Alat bukti dengan surat atau tulisan
2.
Alat bukti dengan saksi
3.
Alat bukti dengan persangkaan – persangkaan
4.
Alat bukti pengakuan
5.
Alat bukti sumpah.[10]
Untuk lebih jelasnya tentang macam – macam alat bukti dalam hukum acara perdata
akan dibahas lebih lanjut satu persatu sebagaimana disebutkan dibawah ini:
1.
Alat bukti dengan surat atau tulisan
Alat bukti berupa surat atau tertulis ini dapat berupa surat yang dibuat
secara tertulis baik oleh para pihak yang berperkara secara dibawah tangan atau
dibuat oleh pihak lain yang karena jabatannya mempunyai hak untuk itu.[11]
Alat bukti tulisan atau surat dibagi menjadi 2 macam, yaitu akta dan tulisan –
tulisan lain bukan akta.
a.
Akta
Yang dimaksud
dengan akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan
bukti tentang suatu peristiwa dan ditanda tangani oleh pembuatnya.[12]
Akta dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu:
(1)
Akta Otentik
Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu
menurut keuntungan undang – undang. Perkataan dibuat oleh di atas
mengandung pengertian bahwa yang membuat akta itu adalah pejabat yang
bersangkutan. Sedangkan dibuat di hadapan artinya yang membuat akta itu
adalah para pihak sendiri tetapi disaksikan oleh pejabat tersebut.
Dengan demikian
akta otentik itu ada 2 macam, yaitu :
·
Akta yang dibuat oleh pejabat yang sering disebut dengan akta pejabat (
acte ambtelijk); dan
·
Akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat yang sering disebut dengan akta
partai (acte partij)
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, camat,
panitera, panitera perkara, pegawai pencatat perkawinan, dan sebagainya.[13]
(2)
Akta di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan adalah suatu surat tertulis yang dibuat sendiri oleh
para pihak atas kesepakatan kedua belah pihak yang disaksikan oleh para saksi.[14]
ABT dirumuskan
dalam Pasal 1874 KUH Perdata, Pasal 286 RBG. Menurut pasal di atas, ABT:
·
Tulisan atau akta yang ditanda tangani di bawah tangan.
·
Tidak dibuat dan ditanda tangani di hadapan pejabat yang berwenang (pejabat
umum), tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak,
·
Secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh atau
di hadapan pejabat, meliputi: surat – surat, register – register, surat – surat
urusan rumah tangga, lain – lain tulisan yang dibuat tanpa permintaan pejabat
umum.
·
Ssecara khusus ada ABT yang bersifat partai yang dibuat oleh paaling
sedikit dua pihak.[15]
b.
Tulisan – tulisan lain bukan akta
Tulisan lain bukan akta ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan
bukti tentang suatu peristiwa dan atau tidak ditanda tangani oleh pembuatnya.
HIR dab RBg maupun BW tidak ada yang mengatur tenteng kekuatan pembuktian
daripada tulisan – tulisan yang bukan akta ini.
Para sarjana mengatakan bahwa kekuatan pembuktian tulisan – tulisan yang
bukan akta adalah sebagai alat bukti bebas, artinya hakim mempunyai kebebasan
untuk mempercayai atau tidak mempercayai tulisan – tulisan yang bukan akta
tersebut.[16]
Bukti berupa surat biasa umumnya pembuatannya dilakukan secara sepihak.
Misalnya: surat tanda terima pembayaran (kuitansi), surat penyerahan barang
(tanda terima penyerahan barang), wesel, pembukuan, surat menyurat yang ada
hubungannya dengan bisnis, polis asuransi, dan sebagainya. Di dalam praktik
persidangan di pengadilan umunya hanyalah dijadikan alat bukti penunjang yang
sifatnya insidentil dan bukan merupakan alat bukti yang pokok.[17]
2.
Alat bukti dengan saksi
Kesaksian adalah kepastian yang
diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disangketakan
dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah
satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan. Keterangan yang
diberikan harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri,
sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berpikir tidaklah
merupakan kesaksian.[18]
Namun ada beberapa orang yang
tidak dapat didengar sebagai saksi, sebagai mana diatur dalam Pasal 145, 146
HIR/172, 174 RBg/1909,1910 BW. Orang – orang yang tidak dapat didengar sebagai
saksi adalah:
a.
Keluarga sedarah atau keluarga
karena perkawinan menurut keturunan lurus dari salah satu pihak
b.
Suami atau istri dari salah
satu pihak meskipun sudah bercerai
c.
Anak – anak yang belum berusia
15 tahun
d.
Orang – orang yang gila
meskipun kadang – kadang ingatannya terang atau sehat.[19]
3.
Alat bukti dengan persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan –
kesimpulan sementara terhadap terjadinya suatu peristiwa hukum berdasarkan
undang – undang dan keyakinan hakim yang belum terbukti tentang kebenarannya.[20]
Ada 2 macam persangkaan yaitu
persangkaan yang didasarkan atas undang – undang (preasumption yuris)
dan prasangka yang didasarkan atas suatu kesimpulan yang ditarik oleh hakim (preasumption
facti). Persangkaan yang didasarkan atas undang – undang ialah prasangkan
yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang – undang, dihubungkan dengan
perbuatan – perbuatan tertentu atau peristiwa – peristiwa tertentu. Sedangkan
prasangka yang didasarkan atas suatu kesimpulan yang ditarik oleh hakim adalah
suatu persangkaan – persangkaan yang didasarkan atas kenyataan – kenyataan yang
ada, yang dilihat oleh hakim dalam proses persidangan, sehingga tersusunlah
suatu kesimpulan persangkaan – persangkaan.[21]
4.
Alat bukti pengakuan
Pengakuan merupakan keterangan, baik tertulis
maupun lisan, yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang
dikemukakan pihak lawan.[22]
Pengakuan suatu pihak dapat
ditinjau dari 2 segi:
a.
Dari segi acara pelaksanaanya.
·
Pengakuan di muka hakim di
persidangan (gerechtelijke behententis)
Suatu pernyataan tegas oleh seorang di muka sidang
pengadilan, yang membenarkan seluruh dakwaan lawan, walau hanya satu atau lebih
dari satu, hah – hak atau hubungan yang didakwakan.
·
Pengakuan di luar persidangan
adalah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara
perdata di luar persidangan untuk membenarkan pernyataan – pernyataan yang
diberikan lawannya.[23]
b.
Dari segi pengakuan dalam ilmu
pengetahuan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
·
Pengakuan murni (aveupur et
simple) ialah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya
dengan tuntutan pihak lawan. Misalnya penggugat menyatakan bahwa tergugat telah
membeli rumah dari penggugat dengan harga Rp 5.000.000,00. tergugat tergugat
memberi jawaban bahwa ia membeli rumah penggugat dengan harga Rp 5.000.000,00.
·
Pengakuan dengan kualifikasi (gequaliceerde
bekentenis areu qualifie) ialah pengakuan yang disertai dengan
sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. Misalnya penggugat menyatakan bahwa
tergugat telah membeli rumah dari penggugat seharga Rp5.000.000,00. tergugat
mengaku telah membeli rumah dan penggugat tetapi bukan Rp5.000.000,00.
melainkan Rp3.000.000,00. Jadi pengakuan dengan kualifikasi adalah jawaban
tergugat yang sebagian pengakuan dan sebagian sangkalan.
·
Pengakuan dengan clausule
(geclausu leered behentenis, aveu complexe) adalah suatu pengakuan yang
disertai dengan keterangan tambahan yang fisatnya membebaskan. Misalnya
penggugat menyatakan bahwa tergugat telah membeli rumah penggugat seharga
Rp.5.000.000,00. tergugat mengakuai telah mengadakan perjanjian jual beli rumah
milik penggugat seharga Rp.5.000.000,00. Tetapi ditambahkannya bahwa harga
rumah telah dibayar lunas. Keterangan tambahan atau klausula umumnya seperti
pembayaran pembebasan, kompensasi.[24]
5.
Alat bukti dengan sumpah
Sumpah pada umumnya adalah
suatu pernyataan yang hidmat yang diucapkan pada waktu memberi keterangan
dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang
memberi keterangan yang tidak benar akan dihukum-Nya. Jadi pada hakikatnya
sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam
peradilan.[25]
Sumpah menurut pembagiannya
dibagi menjadi 3 jenis yaitu:
a.
Sumpah supletoir (pelengkap
atau tambahan) adalah suatu sumpah yang diberatkan oleh hakim atas
pendakwa atau terdakwa guna menyempurnakan bahan – bahan bukti tersebut,
ditambah denga sumpah tersebut, memperoleh daya bukti cukup untuk dijadikan
dasar putusan.[26]
b.
Sumpah Penaksiran (Aestimatoir,
Schattingseed), diatur dalam Pasal 155 H1R (Pasal 182 RBg, Pasal 1940 KUH
Perdata), yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada
penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian. Syarat pembebanan sumpah
penaksiran adalah kesalahan pihak tergugat telah terbukti, namun jumlah
kerugian sulit ditentukan.
c.
Sumpah Pemutus (decisoir)
diatur dalam Pasal 156. 157, 177 H1R, yaitu sumpah yang oleh pihak yang satu
melalui perantaraan hakim diperintahkan kepada pihak lainnya untuk
menggantungkan pemutusan perkara tersebut. Pelaksanaan sumpah tersebut harus
sunguhsungguh dapat mengakhiri perkara, sehingga sumpah ini bersifat menentukan
(litis decisoir).[27]
E.
Daluwarsa
1.
Pengertia Daluarsa
Yang dimaksud daluarsa adalah
batas waktu akhir untuk memperoleh dan atau melepaskan sesuatu hak secara sah.
Batas waktu akhir untuk memperoleh dan melepaskan suatu hak adalah batasan waktu
terakhir untyk memperoleh dan atau melepaskan
suatu hak secara sah.
Adapun contoh batasan akhir
untuk memperoleh dan atau melepaskan sesuatu hak secara sah adalah sebagai
berikut:
a.
Memperoleh suatu hak
Misalnya:
A
digugat B dalam perkara perdata tentang utang piutang dengan jaminan 2 mobil
kijang inova dan 2 mobil avanza termasuk BPKBnya, 2 mobil kijang inova berasa
di B sedangkan 2 mobil avanza ditangan A. gugatan yang diajukan oleh B
kepengadilan negeri dengan asalan bahwa A telah terjadi wanprestasi. Dalam
persidangan setelah dipanggil dengan patut 2 kali berturut-turut tidak hadir
dan tidak mewakilkan kuasa hukumnya untuk mewakilinya. Selanjutnya, oleh
pengadilan negeri A diputus dengan puusan verstek dan diberikan tenggang waktu
14 hari terhitung sejak dikeluarkan putusan untuk mengajukan perlawanan tetapi
A mengajukan perlawanan atas pengadilan negeri pada saat panitera pengadilan
negeri mau mengadakan eksekusi terhadap barang jaminan utang piutang kepada A
yaitu setelah batas waktu 14 hari habis atau pada saat hari yang ke 15 setelah
dikeluarkan keputusan pengadilan negeri. Dalam perlawanannya A mengajukan
banding kepangadilan tinggi ditolak atau tidak diterima dengan alas an
pengajuan permohonan perlawanannya telah kadaluwarsa. Pengajuan permohonan
perlawanan terhadap putusan pengadilan negeri.
b.
Melepaskan suatu hak
Misalnya :
A
memenangkan undian berhadiah mobil yang diselenggarakan oleh salah satu bank
ternama. Panitia undian telah mengumumkan dalam surat kabar yang terbit harian,
dalam pengumuman tersebut dijelaskan bahwa apabila hadiah tidak diambil dalam 1
bulan terhitung sejak diumumkannya para pemenang undian disurat kabar maka
hadiah yang tidak diambil menjadi milik panitia. Dalam contoh ini apabila A
tidak mengambil hadiah mobil dalam tenggang waktu 1 bulan setelah dimuatnya
pengumuman pemenang undian, maka A telah melepaskan hanya untuk memiliki hadiah
mobil yang dimenangkannya dalam undian secara sah.
2.
Batas Kadaluarsa
a.
Menurut undang – undang
Batasan
waktu kadaluwarsa menurut Undang-undang adalah batas kadaluwarsa yang
penentuannya telah diatur didalam peraturan perundang-undangan.
Misalnya :
·
Untuk guru, pengajar, buruh, penguasaha hotel,
pengusaha rumah penginapan batas akhir waktu kadaluwarsa untuk mengajukan
tuntutan terhadap gaji atau uang jasa adalah setelah 1 tahun. Batas waktu kadaluwarsa tersebut berlaku baik untuk tuntutan hasil
kerja, pelayanan maupun uang jasa yang belum pernah terbayar (Pasal 1968 BW).
b.
Menurut kesepakatan para pihak
Batas berlakunya kadaluarsa yang penentuannya diatur
dalam perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Misalnya:
1)
Perjanjian yang dibuat kedua belah pihak secara notariil di hadapan notaris
berupa akta autentik.
2)
Perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak atas dasar kesepakatan
bersama yang di saksikan oleh para saksi (yang pembuatan perjanjiannya tidak
dibuat di hadapan notaris) dalam praktik biasa disebut dengan akta dibawah
tangan.
3)
Penentuan sepihak yang dibuat secara tertulis oleh suatu lembaga atau
organisasi berupa brosur yang berlaku untuk umum dan telah disetujui oleh para
pihak yang berkepentingan. Misalnya :
·
Brosur
tentang masuk ke perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, yang mana dalam
brosur tersebut telah ditentukan biaya-biaya yang harus dipenuhi oleh para
calon mahasiswa/mahasiswi.
·
Brosur/tabel tentang jumlah hutang, bunga, dan
denda setiap keterlambatan pembayaran yang dikeluarkan oleh pihak bank, leasing
dan koperasi, yang mana perjanjian utang piutang ketentuan-ketentuannya telah
dibuat secara baku secara sepihak.
3. Cara Menghitung Kadaluwarsa
Menghitung kadaluwarsa umumnya dilakukan
berdasarkan hitungan hari, jika batas waktu untuk kadaluwarsa telah ditentukan
baik itu oleh undang-undang, kesepakatan bersama dan keputusan sepihak yang
dimuat baik dalam brosur maupun perjanjian yang dibuat baku oleh lembaga, maka
batas dari pada kadaluwarsa dihitung setelah batas akhir dari hari yang telah
ditentukan baik oleh undang-undang maupun kesepakatan bersama telah lewat.
4. Cara Mencegah Terjadinya Kadaluarsa
a.
Pihak pemilik sesuatu hak memberikan peringatan (teguran) kepada salah satu
pihak atau beberapa pihak yang telah menguasai hak kebendaannya.
b.
Mengajukan gugatan kepada pihak yang telah menguasai hak kebendaan.
c.
Pengakuan dari pemilik yang sebenarnya terhadap seuatu hak yang menjadi
miliknya disertai dengan alat bukti yang sah kepada pihak yang menguasai baik
secara lisan maupun tertulis.
d.
Pemberitahuan dari pihak pemilik kepada pihak yang menguasai hak dapat
dilakukan secara tertulis maupun lisan.
5.
Sebab – Sebab yang Menangguhkan Kadaluwarsa
a.
Orang-orang yang belum dewasa
b.
Orang-orang yang berada dibawah
pengampuan
c.
Orang-orang yang masih terikat
hubungan suami istri
d.
Utang piutang yang dapat ditagih dalam waktu tertentu dan waktu yang telah
ditentukan belum lewat
e.
Ahli waris dari orang yang sudah meninggal dunia misalnya janda (duda) dan
anak-anaknya( Pasal 1987-1991 KUHPdt ).[28]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas maka dapat diberikan beberapa kesimpulan bahwa macam-macam alat bukti dalam hukum acara perdata itu ada 6 yaitu
bukti tertulis atau surat, Bukti dengan saksi, Persangkaan, Pengakuan, Sumpah.
Dan dalam hukum pembuktian juga ada beberapa yang mengharuskan hakim ketika
menerima, memeriksa dan mengadili menyelesaikan perkara setiap perkara melihat
toeri-teori pembuktian.
Hukum pembuktian merupakan salah
satu bagian dari beberapa materi yang ada pada hukum acara. Dalam hal ini,
terdapat berbagai macam pula hukum acara yang dianut oleh negara kita. Di
antaranya adalah Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Tata
Usaha Negara. Dengan adanya beberapa jenis hukum acara yang berbeda-beda
tersebut tentu hukum pembuktian mempunyai spesifikasi dan karektiristik
tersendiri dalam bidang hukum masing-masing. Mulai dari dasar hukum pembuktian,
sistem dan teorinya, kepada siapa beban pembuktian diberikan dan bagaimana
hakim pada masing-masing bidang hukum tersebut menilai alat-alat bukti yang
diajukan. Dalam pembuktian juga membahas terkait dengan Daluwarsa Dalam KUH
Perdata pasal 1946 Daluwarsa yang merupakan suatu alat untuk memperoleh sesuatu
atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
atas syarat-syarat yang ditentukan dalam UU.
DAFTAR PUSTAKA
Effendie, Bahtiar. Dkk. 1999. Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata. Bandung : Citra
Aditya Bakti.
Mardani. 2017. Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah. Jakarta : Sinar Grafika.
Sarwono. 2016. Hukum Acara Perdata Teori
dan Praktik. Jakarta Timur : Sinar Grafika.
Harahap, Yahya. 2017. Hukum Acara Perdata. Jakarta
: Sinar Grafika.
Sasangka, Hari. 2005. Hukum Pembuktian
dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa & Praktisi. Bandung : CV Mandar
Maju.
Syahrani, Rinduan. 2000. Buku Materi Dasar
Hukum Acara Perdata. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Juanda, Enju. 2016 “Kekuatan Alat Bukti dalam
Perkara Perdata Menurut Hukum Positif Imdonesia”. Jurnal Ilmiah. Vol.4. No.1.
[1]
Bahtiar Effendie, dkk, Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian Dalam
Perkara Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 50.
[2]
Mardani, Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah, Jakarta : Sinar Grafika,
2017) hlm. 106.
[3]
Sarwono, Hukum Acara Perdata
Teori dan Praktik, (Jakarta Timur : Sinar Grafika, 2016), hlm. 237.
[4]
Mardani, Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah, ( Jakarta : Sinar Grafika,
2017), hlm. 107.
[6]
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian
dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa & Praktisi, (Bandung:CV Mandar
Maju, 2005), hlm. 21.
[10]
Sarwono, Hukum Acara Perdata
Teori dan Praktik, (Jakarta Timur : Sinar Grafika, 2016), hlm. 241.
[12]
Rinduan Syahrani, Buku Materi
Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 83.
[14]
Sarwono, Hukum Acara Perdata
Teori dan Praktik, (Jakarta Timur : Sinar Grafika, 2016), hlm.247.
[16] Rinduan Syahrani, Buku Materi Dasar
Hukum Acara Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 89.
[17]
Sarwono, Hukum Acara Perdata
Teori dan Praktik, (Jakarta Timur : Sinar Grafika, 2016), hlm. 250.
[18]
Mardani, Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah, ( Jakarta : Sinar Grafika,
2017), hlm.111.
[19] Rinduan Syahrani, Buku Materi Dasar
Hukum Acara Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.93.
[20]
Sarwono, Hukum Acara Perdata
Teori dan Praktik, (Jakarta Timur : Sinar Grafika, 2016), hlm. 267.
[21]
Mardani, Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah, ( Jakarta : Sinar Grafika,
2017), hlm.112.
[22]
Rinduan Syahrani, Buku Materi
Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.101.
[23]
Mardani, Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah, ( Jakarta : Sinar Grafika,
2017), hlm.113.
[24]
Enju Juanda, “Kekuatan Alat Bukti
dalam Perkara Perdata Menurut Hukum Positif Imdonesia”, Jurnal Ilmiah, Vol.4,
No.1, hlm.40.
[25]
Rinduan Syahrani, Buku Materi
Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.107.
[26]
Mardani, Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah, ( Jakarta : Sinar Grafika,
2017), hlm.115.
[27]
Enju Juanda, “Kekuatan Alat Bukti
dalam Perkara Perdata Menurut Hukum Positif Imdonesia”, Jurnal Ilmiah, Vol.4,
No.1, hlm.43-44.
[28] Sarwono,
Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta Timur : Sinar Grafika,
2016), hlm.289.
0 Komentar