Hukum Perikatan dan Perjanjian

Hukum Perikatan dan Perjanjian



MAKALAH
HUKUM PERIKATAN DAN PERJANJIAN
Mata kuliah : Hukum Perdata
Dosen Pengampu : Muhammad Shoim



logo




FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2019

BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang tidak sadar bahwa setiap harinya mereka melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu barang atau menggunakan jasa angkutan umum, perjanjian sewa-menyewa hal-hal tersebut merupakan suatu perikatan. Perikatan di Indonesia diatur pada buku ke III KUHPerdata(BW). Dalam hukum perdata banyak sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
1.2    Rumusan Masalah
1.                  Apa pengertian dari perikatan dan perjanjian?
2.                  Apa saja macam-macam perikatan?
3.                  Apa yang dimaksud sistem terbuka dan asas konsensualitas dalam perjanjian?
4.                  Bagaimana syarat-syarat sah perjanjian?
5.                  Bagaimana lahir dan hapusnya sebuah perikatan?
6.                  Apa yang dimaksud resiko, wanpretasi dan akibatnya?
1.3    Tujuan Masalah                                     
1.                  Untuk  mengetahui pengertian dari perikatan dan perjanjian.
2.                  Untuk mengetahui macam-macam perikatan.
3.                  Untuk mengetahui sistem terbuka dan asas konsensualitas dalam perjanjian.
4.                  Untuk mengetahui syarat-syarat sah perjanjian.
5.                  Untuk mengetahui Bagaimana lahir dan hapusnya sebuah perikatan.
6.                  Untuk mengetahui resiko, wanpretasi dan akibatnya.



BAB II
PEMBAHASAN

1.1        Pengertian dari Perikatan dan Perjanjian
Pengertian perikatan
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuantan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property); dalam bidang hukium keluarga (family law); dalam bidang hukum waris (law of succession); dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Perikatan yang meliputi beberapa bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas.
             Perikatan yang terdapat dalam bidang masing-masing hukum tersebut di atas dapat dikemukakan contohnya sebagai berikut:
(a)    Dalam bidang hukum harta kekayaan, misalnya perikatan jual beli, sewa menyewa, wakil tampa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran tampa hutang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain dan sebagainya;
(b)   Dalam bidang hukum keluarga, misalnya perikatan karena perkawinan, karena lahirnya anak, dan sebagainya;
(c)    Dalam bidang hukum waris, misalnya perikatan untuk mewarisi karena kematian pewaris, membaya hutang pewaris, dan sebagainya;
(d)   Dalam bidang hukum pribadi, misalnyha perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya, dan sebagainya.[1]

Pengertian perjanjian
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perjajanjian kita melihat pasal 1313 KUHPdt. Menurut ketentuan pasal ini, “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lalinnya”. Ketentuan pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan , karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan  tersebut adalah seperti diuraian berikut ini.
(a)    Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini di ketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.
(b)   Kata perbuatan mencakup juga tampa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tampa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus seharusnya dipakai kata “persetujuan”.
(c)    Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku ketiga KUHPdt sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
(d)   Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikat kan diri itu tidak jelas untuk apa.

  Atas dasar alasan-alasan yang dikemukan di atas, maka perlu di rumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka “perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengingatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. Hukum yang mengatur tentang perjanjian ini disebut hukum perjanjian (law of contract). Perumusan ini erat hubungannya dengan pembicaraan tentang syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPdt yang akan dibicarakan kemudian.
   Dalam definisi yang dikemukan di atas , secara jelas terdapat konsensus antara pihak-pihak. Pihak yang satu setuju dan pihak yang lainnya juga setuju untuk melaksanakan sesuatu, kendatipun pelaksanaan itu datang dari satu pihak, misalnya dalam perjanjian pemberian hadiah (hibah). Dengan perbuatan memberi hadiah itu, pihak yang diberi hadiah setuju untuk menerimanya, jadi ada konsensus yang saling mengikat.
    Apabila diperhatikan perumusan perjanjian tersebut di atas tadi, tersimpulah unsur-unsur perjanjian itu seperti berikut ini:
(a)    Ada pihak-pihak,sedikit-sedikitnya dua orang
(b)   Ada persetujuan antara pihak-pihak itu
(c)    Ada tujuan yang akan dilaksanakan
(d)   Ada prestasi yang akandilaksanakan
(e)    Ada bentuk tertentu , lisan atau tulisan
(f)    Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian [2]
2.2    Macam-Macam Perikatan
a.       Perikatan Bersyarat
Perikatan yang timbul dari perjanjian dapat berupa perikatan murni dan perikatan bersyarat. Perikatan murni adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya tidak digantungkan pada suatu syarat (condition). Perikatan bersyarat (conditional obligation) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadinya, baik dengan menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa semacam iyu maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (pasal 1253 KUHPdt). Dari ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa ada dua perikatan yaitu perikatan dengan syarat tangguh dan perikatan dengan syarat batal.
1)      Perikatan dengan syarat tangguh. Apabila syarat “peristiwa” yang dimaksudkan itu terjadi, maka perikata dilaksanakan (pasal 1263 KUHPdt).
2)      Perikatan dengan syarat batal. Disini justru perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila “peristiwa” yang dimaksudkan itu terjadi (pasal 1365 KUHPdt).
b.      Perikatan dengan Ketetapan Waktu
Maksud syarat ketepatan waktu ialah pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada waktu yang ditetapkan. Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah tetap.
c.       Perikatan Manasuka
Dalam perikatan manasuka (alternative obligation) obyek prestasinya adalah dua macam barang. Dikatakan mana suka karena debitur boleh memenuhi prestasinya dengan memilih salah satu dari dua barang yang dijadikan objek perikatan. Tetapi debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima sebagian barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan, ia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih itu ada pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditur (pasal 1272 dan 1273 KUHPdt).
d.      Perikatan Tanggung Menanggung
Dalam perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng (solidary obligation) dapat terjadi seorang debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditur, atau seorang kreditur berhadapan dengan beberapa orang debitur. Apabila pihak kreditur terdiri dari beberapa orang, ini disebut tanggung menanggung aktif. Dalam hal ini setiap kreditur berhak atas pemenuhan prestasi seluruh hutang dan jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitur dibebaskan dari hutangnya dan perikatan dihapus (pasal 1278 KUHPdt).
Apabila pihak debitur terdiri dari beberapa orang, ini disebut tanggung menanggung yang pasif. Setiap debitur berkewajiban untuk memenuhi prestasi seluruh hutang dan jika sudah dipenuhi oleh seorang debitur saja, membebaskan debitur-debitur lainnya dari tuntutan kreditur dan perikatannya hapus (pasal 1280 KUHPdt).
e.       Perikatan yang Dapat dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat atau tidak dapat dibagi (divisible and indivisible apabila barang yang menjadi objek prestasi dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagipula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakekat dari prestasi tersebut. Jadi sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu berdasarkan pada :
1)      Sifat barang yang menjadi objek perikatan
2)      Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
f.       Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan semacam ini memuat suatu ancaman hukuman terhadap debitur apabila ia lalai, tidak memenuhi kewajibannya. Syarat ancaman hukuman ini (penal clause) bermaksud untuk memberikan suatu kepastian atas pelaksanaan isi perjanjian seperti yang telahditetapkan dalam perjanjian yang telah dibuat pihak-pihak itu.
g.      Perikatan Wajar
Undang-undang sendiri tidak menentukan apa yang dimaksud dengan perikatan wajar (natural obligation). Dalam undang-undang hanya dijumpai dalam pasal 1359 ayat 2 KUHPdt. Karena itu tidak ada kata sepakat antara para penulis hukum mengenai sifat dan akibat hukum dari perikatan wajar, kcuali mengenai satu hal yaitu sifat “tidak ada ggatan hukum” guna memaksa pemenuhannya.[3]
2.3    Sistem Terbuka dan Asas Konsensualitas dalam Perjanjian
Asas kebebasan berkontrak
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting, sebab merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran dari hak manusia. Kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang secara embrional lahir di zaman yunani, yang menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk memperoleh apayang dikehendakinya, dalam Hukum Perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak” dan hal ini menurut teori laissez fair, dianggap sebagai the invisible hand, karenanya pemerintah tidkak boleh mengadakan intervensi(Badrulzaman, 1995: 110), paham indivisualisme memberi peluang yang luas bagi golongan yang lemah. Dengan kata lain, pihak yang kuat menentukan kedudukan yang lemah.
Pada akhir abad XIX akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai memudar. Paham ini mulai tidak mencerminkan keadilan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, tetapi diberi arti relatif dan dikaitkan dengan kepentingan umum. Mulailah perjanjian diawasi pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum dan menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan Hukum Perjanjian oleh pemerintah, sehingga terjadi penggeseran Ukum Perjanjian ke bidang Hukum Publik.
Walaupun sebelumnya semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, akan tetapi ketentuan ini tidak dapat diberlakukan secara mutlak. Dikatakan demikian karena asas ini dikecualikan dalam hal-hal berikut.
a.     Adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeue).
b.    Berlakunya ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata yang menyebutka bahwa: “Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dinyatakan di dalamnya, tetapi juga  untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.[4]
Unsur kebebasan berkontrak(freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a). Membuat atau tidak membuat kontrak; b). Mengadakan kontrak dengan siapapun; c). Menentukan isi kontrak, pelaksanaan, dan persyaratannya; d). Menentukan bentuknya kontrak, yaitu tertulis atau lisan.
Namun, kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum(undang-undang), kesusilaan(pornografi,pornoaksi,dll) dan ketertiban umum (misalnya kontrak membuat provokasi kerusuhan).[5]
Menurut Johannes Gunawan, bahwa asas kebebasan berkontrak ini meliputi:
1)    Kebebasan setiap orang untuk memutuskan apakah ia membuat kontrak atau tidak membuat kontrak.
2)    Kebebasan para pihak untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu kontrak.
3)    Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk kontrak.
4)    Kebebasan para pihak untuk menentukan isi kontrak.
5)    Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan kontrak. Dalam kontrak standar, cara pembuatannya telah ditntukan oleh salah satu pihak.
Asas konsensualisme (cosensualism)
Asas ini menentukan perjanjian dan dikenal baik dalam sistem hukum Civil law maupun Common Law. Dalam KUH Perdata asas ini disebutkan pada pasal 1320 yang mengandung arti “kemauan atau will” para pihak untuk saling berpartisipasi mengikatkan diri (Badrulzaman, 1995:109).
Lebih lanjut dikatakan, kemauan itu membangkitkan kepercayaan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu akan dipenuhi. Asas konsensualisme mempunyai nilai etis yang bersumber dari moral. Manusia terhormat akn memelihara janjinnya, (Egen dalam Badrulzaman, 1995:109).
Menurut Gotius yang menjadi dasar konsensus dalam Hukum Kodrat menyatakan sebagai pacta sunt servanda (janji itu mengikat), dikatakan lebih lanjut promissorsoruth implendorumobligatio (kita  harus memenuhi janji kita). Falsafah inilah dapat digambarkan dalam pantun Melayu “kerbau dipegang talinya, manusia dipegang janjinya”.
Selain dari itu, asas konsensualisme menekankan suatu janji lahir pada detik terjadinya konsensus (kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak) mengenai hal-hal pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Apabila perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis maka bukti tercapainya konsensus adalah saat ditandatanganinya perjanjian itu oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Namun demikian, tidak semua perikatan tunduk dengan asas ini, karena terhadapnya ada pengecualian yakni terhadap perjanjian formal (hibah, perdamaian, dan lain-lain) serta perjanjian riil (pinjam pakai, pinjam-meminjam, dan lain-lain).[6]
Asas konsensualisme berarti kesepakatan (consensus). Asas ini berhubungan dengan saat lahirnya suatu kontrak, yang mengandung arti bahwa kontrak itu terjadi sejak detik tercapainyakata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok kontrak. Kontrak telah mengikat begitu ketika kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu kontrak. Contoh, jua beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otenti Notaris.[7]
2.4     Syarat-Syarat Sah Perjanjian
   perjanjian yang sah artinya yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga dia diakui oleh hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPdt, syarat-syarat sah perjanjian adalah:
a)      Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang  membuat perjanjian (consensus);
b)      Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity);
c)      Ada sesuatu hal tertentu (a certain subjek matter);
d)     Ada suatu sebab yang halal (legal cause)
Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang, memenuhi syarat menurut undang-undang diakui oleh hukum.
1.           Persetujuan kehendak
Yang dimaksud dengan persetujuan kehendak adalah kesepakatan , seia seketa antara pihak-pihak  mengenai pihak perjanjiaan yang dibuat itu.
Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan dari pihak manapun.dalam pengertian persetujuan kehendak itu juga tidak ada kehkilafan dan tidak ada penipuan (pasal 1321,1322, dan 1328 KUHPdt)
Menurut putusan mahkamah agung belanda (hoge raad) 6 mei 1926, persetujuan kehendak itu dapat ternyata dari tingkah laku berhubung dengan kebutuhan-kebutuhan lalu lintas masyarakat dan kepercayaan yang oleh karena itu ditimbulkan pada pihak lainya.
2.           Kecakapan pihak-pihak
   Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum 21 tahun. Menurut ketentuan pasal 1330 KUHPtd. Dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa orang yang ditaruh dibawah pengampun, dan wanita bersuami.
3.         Suatu hal tertentu
   Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan objek perjanjian.
Misalnya perjanjian jual beli beras untuk harga Rp.8,750, diasnggap tidak jelas, sebab  tidak ada penjelasan lbih lanjut tentang kualitas maupun kuantitas nya sehingga perjanjian itu dinyatakan tidak sah.
4.         Suatu sebab yang halal (cause)
   Kata “causa” berasal dari bahsa latin artinya “sebab”  sebab adalah suatu yang menyebab kan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian.
Tetapi yang dimaksud dengan cause yang halal  dalam pasal 1320 KUHPdt itu bukan lah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yg dicapai tujuan-tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak tertentu.misalnya dalam perjanjian jual beli, isi perjanjian ialah pihak yang satu menghendaki hak milik atas barang, dan pihak lainya menghendaki sejumlah uang, tujuan nya ialah hak milik berpindah dan sejumlah uang dalam perjanjian sewa mwnyewa, isi perjanjian ialah hak milik berpindah dan sejumlah uang diserahkan.
Dalam perjanjian sewa menyewa, isi perjanjian ialah pihak yang satu menginginkan kenikmatan atas suatu barang.sedangkan pihak lainya mengharapkan sebuah barang.
Tujuan nya ialah penguasa barang itu diserahkan dan sejumlah uang dibayar.dalam hal ini causa atau sebab itu halal.[8]
2.5 Lahir dan Hapusnya Sebuah Perikatan
Perikatan yang lahir dari undang-undang
    Buku III KUH perdata mengatur tentang perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang. Mengenai perikatan-perikatan ini berbeda dengan perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian atau persetujuan di mana yang disebutkan belakangan ini, pembentuk undang-undang memberikan aturan umumnya, antara lain seperti yang disebutkan dalam pasal 1320 KUH perdata tentang syarat sahnya perikatan.
   Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang diatur dalam pasal 1352 KUH perdata yang menyebutkan bahwa:
   “perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”.
    Terhadap perkataan “dari undang-undang” sebagai akibat perbuatan orang dapat ditemukan lagi subnya yang diatur dalam pasal 1353 KUH perdata yang berbunyi:
    “perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, terbit dari perbuatan halal atau perbuatan melawan hukum”.
     Berdasarkan dua ketentuan pasal tersebut, maka perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang jenisnya dapat disebutkan sebagain berikut.
1. perikatan lahir dari undang-undang saja (pasal 1352 KUH perdata).
2. perikatan lahir dari akibat perbuatan orang yang dalam hal ini dapat dibedakan lagi menjadi:
     a. perikatan yang lahir dari akibat perbuatan halal (pasal 1352 KUH perdata)
     b. perikatan yang lahir dari akibat perbuatan melanggar hukum (pasal 1353 KUH perdata)[9]
Hapusnya Perikatan
Menurut ketentuan pasal 1381 KUHPdt, ada sepuluh hapusnya perikatan. Dibawah ini akan diuraikan secara singkat setiap cara hapusnya perikatan tersebut.[10]
a.       Karena Pembayaran
b.      Karena Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti dengan Penyimpangan atau Penitipan
c.       Karena Pembaharuan Hutang
d.      Karena Perjumpaan Hutang
e.       Karena Percampuran Hutang
f.       Karena Pembebasan Hutang
g.      Karena Musnahnya Barang yang Terhutang
h.      Karena Kebatalan atau Pembatalan
i.        Karena Berlakunya Syarat Batal
j.        Karena Lampau Waktu
2.6 Resiko, Wanpretasi dan Akibatnya.
Risiko
Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar salah satu pihak, yang menimpa benda yang dimaksud dalam kontrak. Jadi pokok pangkalnya risiko adalah “keadaan memaksa”. Sementara titik pangkalnya jika dalam wanprestasi adalah ganti rugi
Mengenai risiko, sebenarnya dapat disimak dalam pasal 1237 KUHPerdata yang menyatakan bahwa dalam hal adanya kontrak untuk memberikan suatu barang tertentu maka barang tertentu tersebut semenjak kontrak dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang (tanggungan=risiko)”. Dengan begitu, dalam kontrak untuk memberikan suatu barang tertentu jika barang ini sebelum diserahkan musnah karena suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, maka kerugian harus dipikul oleh si berpiutang, yaitu pihak penerima barang.[11]
Kata “risiko” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 844) berarti akibat kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Dalam Hukum Perikatan, risiko mempunyai pengertian yang khusus. Risiko adalah suatu ajaran tentang siapakah yang harus menanggung ganti rugi apabila debitur tidak memenuhi prestasi dalam keadaan memaksa (Badrulzaman, 2001: 30).
Sedangkan subekti (1984: 24), mengatakan Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan suatu pihak. Misalnya, barang yang diperjualbelikan musnah di perjalanan karena kapal laut yang mengangkutnya karam di tengah laut akibat serangan badai atau rumah yang sedang disewakan terbakar habis karena korsleting aliran listrik. Siapakah menurut hukum yang harus memikul kerugian tersebut? Inilah persoalan yang dalam istilah hukumnya dinamakan persoalan “risiko”.
Pihak yang menderita karena barang yang menjadi objek perjanjian ditimpa oleh kejadian yang tidak disengaja dan diwajibkan memikul kerugian itu tanpa adanya keharusan bagi pihak lawannya mengganti kerugian itu dinamakan pihak yang memikul risiko atas barang tersebut(Subekti, 1984: 24)
Dengan demikian, persoalan risiko berpangkal pada terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan suatu pihak, yang dikenal dengan sebutan “keadaan memaksa” (overmacht tau force majeure). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur persoalan risiko menyebar dalam berbagai ketentuannya.
a.    Risiko dalam Perjanjian Sepihak
Perjanjian Sepihak artinya suatu perjanjian yang prestasinya hanya ada pada salah satu pihak saja. Bagaimanakah ketentuan risiko dalam Perjanjian Sepihak? Pasal 1237 KUH Perdata mengatakan bahwa:
“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah tanggungan si berpiutang, jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak kelalaian kebendaan adalah atas tanggungannya”.
Ketentuan paal tersebut menetapkan risiko (ganti rugi) kepada pihak yang menyerahkan kebendaan (kreditur atau debitur).
b.    Risiko dalam Perjanjian Timbal Balik
Dalam KUH Perdata tidak ada aturan tentang risiko dalam perjanjian timbal balik. Menurut Badrulzaman (2001: 30), para ahli mencari solusi penyelesaian melalui asas “kepatutan” (biblijkheid). Menurrut asas kepatutan dalam perjanjian timbal balik, risiko ditanggung oleh pihak yang tidak melakukan prestasi.
Hal tersebut dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata berikut:
“Jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar salah pemiliknya, maka suatu persetujuan dianggap gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar”
Uraian di atas dapat lebih jelas dipahami melalui ilustrasi berikut: bahwa bila A mengadakan perjanjian tukar-menukar dengan B, dimana disepakati A menyerahkan sepeda motor, sedangkan B menyerahkan TV. Apabila kemudian A tidak dapat menyerahkan sepeda motornya karena sebelum menyerahkan sepeda motornya hilang dicuri orangmaka B tidak harus menyerahkan TV-nya kepada A. Ini artinya risiko dibebankan pada pundak pemilik barang dan hal ini seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian tukar-menukar antara A dan B.
c.    Ketentuan Risiko yang Berlawanan
Ketentuan risiko yang berlawanan dengan kedua pasal tersebut, diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata yang  menyatakan bahwa:
“Jika kebendaan itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tenggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya”.
Seorang yang baru menyetujui harga barang belum dikatakan sebagai pemilik (karena belum dilakukan penyerahan). Namun telah dibebani risiko kepada pembeli. Asas yang terkandung di dalam perjanjian tukar-menukar dan sewa-mmenyewa (telah disebutkan dimuka). Yang sama-sama dalam perjanjian timbal balik.[12]
Wanprestasi
istilah wanprestasi berasal dari bahasa belanda “wanprestatie” yang berarti prestasi buruk\cedra janji. Dalam bahasa inggris wanprestasi disebut breach of contrack, yang bermakna tidak dilaksanakanya kewajiban sebagai mana mestinya yang dibeban kan oleh kontrak.
Secara etimologi, wanprestasi adalah suatu hak kebendaan yang dikarnakan kelalaian atau kesalahan salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam kontrak, sedangkan pihak lain telah memberikan peringatan atau somasi terhadapnya terlebih dahulu.
Menurut M Yahya Harahap, pengertian wan[prestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.
Sedang kan menurut Sri Swedewi Masjoeri Sofyan, wanprestasi adalah tkewajiban tidak memenuhi suatu perutangan yang terdiri dari dua macam sifat.
Bentuk-bentuk dari warprestasi, adalah sebagai berikut:
a)         Tidak memenuhi prestasi sama sekali
b)         Memenuhi prestasi tapi tidak tepat pada waktunya
c)         Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru
Menurut subekti, wanprestasi ada empat macam yaitu:
                        I.          Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan nya
                     II.          Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan nya
                  III.          Melakukan apa yang dijan jikan tetapi terlambat
                  IV.          Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukan
Akibat hukum wanprestasi:
1)         Debitur diharuskan membayar ganti rugi (pasal 1243 KUHPDT)
2)         Kreditur dapat meminta pembatalan kontrak melalui pengadilan (pasal 1266 KUHPdt)
3)         Kreditur dapat meminta pemenuhan kontrak, atau pemenuhan kontrak disertai ganti rugi dan pembatalan kontrak dengan ganti rugi (pasal 1267 KUHPdt)
Berdasarkan ketentuan pasal 1243 KUHPdt, maka pengganti rugian dapat dituntut menurut undang-undang, yaitu berupa:
v  Biaya-biaya yang sesungguhnya telah dikeluarkan konstent
v  Kerugian sesungguhnya menimpa si piutang
v  Kehilangan keuntungan yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya siberhutang tidak lalai.[13]
Akibat perbuatan melawan hukum
 Disebutkan dalam pasal 1365 KUHPdt perdata  bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang membuat kerugian itu karna kesalahanya untuk menggantikan kerugian  tersebut.
Ketentuan pasal 1365 KUHPdt mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1)    Ada perubahan melawan unsur hukum
2)    Ada kesalahan
3)    Ada kerugian
4)    Ada hubungan sebab akibat
Penggantian kerugian sebagai pengganti dari adanya perbuatan melawan hukum    dapat berupa penggantian matewril atau inmateril. Lazimnya dalam praktek penggantian kerugian dihitung dengan uang   atau disertakan dengan uang. Jika mencermati ketentuan pasal 1365 KUHPdt secara imitative menganut asa hukum bahwa mengganti kerugian dalam hal mengganbti sebuah operbuatan melawan hukum pelaku.
Secara teoritis penggantian kerugian sebagai sebab akibat dari suatu perbuatan melawan hukum diklasifikasikan kedalam dua bagian, yaitu: kerugian yang bersifat actual  dan kerugian yang akan dating.kerugian yang bersifat actual adalah kerugian yg bersifat nyata atau fisik baik yang bersifat materil dan inmateril.kerugian masa mendatang ialah kerugian-kerugian yang dapat diperkirakan akan timbul dimasa mendatang akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pihak pelaku.
Ditinjau dari sumber hukum :
Wanprestasi menurut pasal 1243 KUHPdt timbul dari kontrak, menurut PMH menurut pasal 1365 kuh perdata timbul akibat perbuatan orang.
Ditinjau dari timbulnya hak menuntut:
Hak menuntut ganti rugi dalam wanterprestasi timbul dari pasal 1243 KUHPdt yang pada prinsip nya memerlukan pernyataan lalai, menurut PMH hak menuntut  ganti rugi karna pmh tidak perlu somasi.
Ditinjau dari tuntutan ganti rugi:
KUHPdt telah mengatur dangan jangka waktu perhitungan ganti rugi yang telah dituntut, menurut pmh KUHPdt tidak mengatur bagaimana bentuk ganti rugi dan rincian ganti rugi.
·       GANTI KERUGIAN
Dalam artian ganti kerugian persoalan yang masuk adalah apa yang dimaksud dengan ganti kerugian itu, bilamana ganti kerugian itu timbul, dan apa ukuranya ganti kerugian,serta bagaimana pengaturanya dalam undang-undang.
Yang dimaksud ganti kerugian ialah ganti kerugian yg timbul karena debitur melakukan wanprestasi karna halal.
Pasal 1247 KUHPdt:      
“debitur hanya mewajibkan membayar ganti kerugian yang nyata telah atau sedia nya harus dapat terduga dalam waktu perikatan dilahirkan”
Pasal 1248 KUHPdt:
“jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebab kan oleh tipu daya debitur. Pembayaran ganti rugi kerugian sekedar mengenai kerugian yang diberita oleh kreditur dan keuntungan yang hialnhg baginya.”
Dari letentuan dua pasal ini dapat diketahui bahwa ada dua pembatasan kerugian
·       Kerugian yang daopat diduga ketika membuat perikatan
·       Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi[14]


BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
   Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain nya yang berkewajiban memenhi tuntutan itu. Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Suatu perserikan baik yang lahirdari peranan undang-undang dan berakhir karna beberapa hal diantara nya karna pembayaran kompensasi pembayaran hutang dan lain-lain sementara itu harusnya suatu perjanjian berbeda dengan perikatan karena suatu perikatan dapat dhapus sedangkan persetuanya yang merupakan sumbernya masih ada.

3.2  Saran
    Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Hukum Perikatan dan Perjanjian. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata Kuliah Hukum Perdata.
    Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
    Kami pun dari Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu mohon maaf, sekaligus kami berharap saran dan kritik yang membangu dari para pembaca semua. Semoga makalah ini nantinya bermanfaat untuk kita semua.




DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir, Hukum perikatan, Bandung: Alumni, 1982
Setiawan, I Ketut Oka, Hukum Perikatan, Jakarta: Sinar Grafika, 2017
Az, Lukman Santoso, Hukum Perikatan Teori Hukum Dan Teknis Pembuatan Kontrak, Kerja Sama, Dan Bisnis, Malang: Setara Press, 2016



[1] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), Hal.5
[2] Ibid.hal 77-80
[3] Ibid.hal 44-57
[4] I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), Cet.2, Hal.45-46
[5] Lukman Santoso Az, Hukum Perikatan Teori Hukum Dan Teknis Pembuatan Kontrak, Kerja Sama, Dan Bisnis, (Malang: Setara Press, 2016), Hal.24-25
[6] I Ketut Oka Setiawan. op. cit hal.46
[7]  Lukman Santoso Az. op. cit hal 46
[8] Abdulkadir Muhammad. op. cit hal.88-94
[9] I Ketut Oka Setiawan. op. cit hal.88-89
[10] Abdulkadir Muhammad. op. cit hal.60-61
[11] Lukman Santoso Az. op. cit hal 77-78

[12] I Ketut Oka Setiawan. op. cit hal.34-37
[13]   Lukman Santoso Az. op. cit hal. 75-77

[14] Ibid.hal 80-82

Posting Komentar

0 Komentar