HUKUM WARIS MENURUT UNDANG-UNDANG
MAKALAH
HUKUM WARIS MENURUT UNDANG-UNDANG
Mata kuliah : Hukum Perdata
Dosen Pengampu : Muhammad Shoim
logo
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia terjadi beberapa peristiwa-peristiwa penting
diantaranya adalah kelahiran, perkawianan dan kematian. Dengan adanya kelahiran
akan timbul adanya hubungan hukum seperti hubungannya dengan orang tua,
saudara serta krabat-krabat terdekat lainnya. Begitu pun dengan perkawianan,
timbulnya hukum akibat perkawianan diatur dalam undang-undang perkawian seperti
timbul adanya hak dan kewajiban antara suami dan istri. Sedangkan peristiwa
kematian juga merupakan peristiwa yang menimbulkan akibat hukum yaitu bagi
mereka yang ditinggalkan, seperti keluarga dan krabat-krabat terdekatnya.
Akibat hukum yang disebutkan terakhir inilah yang dikenal dengan hukum waris.
Dalam prakteknya di masyaraka hukum waris merupakan hukum yang rumit dan sering
menimbulkan perpecahan antar keluarga.
Hukum waris merupakan bagian dari hukum perdata. Dalam undang-undang hukum
perdata ketentuan pewarisan ini selain karena adanya hubungan kekeluargaan
(nasab) juga merupakan adanya wasiat dari orang yang meninggal kepada selain
ahli waris. Pembagian harta warisan berdasarkan undang-undang maupun menurut
wasiat sering menimbulkan perselisihan antar keluarga karena masing-masing
mereka merasa haknyalah yang lebih besar.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian hukum waris?
2.
Siapa ahli waris yang berhak menerima harta
warisan ?
3.
Apa syarat-syarat dalam warisan?
4.
Bagaimana warisan anak yang lahir diluar nikah?
5.
Legitieme portie oleh para ahli?
6.
Bagaimana prosedur pembagian harta warisan?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian hukum waris.
2. Untuk
mengetahui Siapa ahli waris yang berhak menerima harta warisan
3. Untuk
mengetahui Apa syarat-syarat dalam warisan
4. Untuk
mengetahui Bagaimana warisan anak yang lahir diluar nikah
5.
Untuk mengetahui Legitieme portie oleh para
ahli
6.
Untuk mengetahui Bagaimana prosedur pembagian
harta warisan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Waris
Menurut BW
Secara bahasa warisan berasal dari bahasa arab
al-Mirats yang artinya, berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain
atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Secara istilah warisan segala sesuatu
(harta) peninggalan yang di tinggalkan pewaris kepada ahli waris. Adapun
kekayaan yang dimaksud dalam rumusan diatas adalah sejumlah harta kekayaan yang
ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa aktiva dan pasiva.[1]
Hukum waris menurut BW
adalah aturan hukum yang mengatur tentang perpindahan hak kepemilikan harta
kekayaanya itu, merupakan keseluruhan hak-hak dan kewajiban, dari orang yang
mewariskan terhadap ahli warisnya dan menentukan siapa-siapa saja yang berhak
menerimanya.[2]
Hukum waris dapat pula di definisikan, seperangkat norma atau aturan yang
mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara
mereka dengan mereka maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.[3]
Sedangkan A.Pitlo
mendefinisikan hukum waris sebagai
berikut: “hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum
mengenai harta kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai perpindahan
kekayaan yang di tinggalkan oleh si mayit dan akibat dari perpindahan ini bagi
orang-orang yang memperolehnya,baik dalam kubungan antara mereka dengan mereka,
ataupun hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.[4]
Jadi mawaris berarti menggantikan kedudukan orang yang
meninggal mengenai hubungan-hubungan hukum harta kekayaan yang d tinggalkan
oleh yang meninggal kemudian dipindah tangnkan kepada para ahli waris si mayit.[5]
B. Ahli
Waris yang Berhak Menerima Harta Warisan
Sanak
keluarga sedarah berdasarkan kodrat alam dan sanak keluarga sedarah yang
mempunyai tempat dalam hukum waris karena kematian. Sanak keluarga berdasarkan
kodrat alam mempunyai keddukan yang agak terbelakang dibandingkan dengan sanak
keluarga yang sah.[6]
Apabila perkawinan bubar karena
perceraian, maka bekas suami atau bekas istri tidak mewarisi. Pada saat kemtian
mereka itu suami atau istri lagi. Oelh karena pemisahan meja atau tempat tidur,
membiarkan perkawinan itu utuh, maka itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa atas
perkawinan karena kematian. Dalam KUHP yang baru, suami atau istri yang tidak
berpisah meja atau tempat tidur , tiak termasuk ahli waris karena
kematian.(pas. 4.2. 2 ayat 1a).[7]
Kesanggupan atau anak sulung, tidak
mempunyai pengaruh apa-apa atas perolehan karena kematian. Semua anak dari si
mati sama drajatnya. Ini dapat mengakibatkan bahwa kekayaan itu akan
terpecah-belah yang secara ekonomis tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ada
beberapa perundang-ungangan yang mengalihkan hal ini. Disana diberikan hak
utama kepada anak yang oleh kesanggupannya paling ccok untuk menerim ini. [8]
Apabila seorang yang meninggal tidak
membuat wasiat, tidak meninggalkan suami atau istri, tiadk meninggalkan sanak
keluarga sedarah dalam derajat yang
dipanggil oleh undang-undangsebagai ahli waris, maka harta peninggalan itu
mnjadi milik Negara. Undang-undang mengatakan bahwa barang-barang itu jatuh
kepada Negara. [9]
C. Syarat-Syarat Dalam Warisan
Untuk
memperoleh warisan, mestilah dipenuhi dua syarat.[10]
1.
Mesti ada seseorang yang meninggal
Hanya pewarisanlah yang menimbulkan
pewarisan. Karenanya adalah penting artinya untuk menetapkan dengan teliti saat
meninggal itu. Biasanya yang dianggap sebagai yang menentukan adalah detak
jantung yang sudak berhenti berdenyut.
Saat meninggl dunia itu penting
artinya dibanyak tempat dalam hukum waris. Yang paling penting dalam hal ini
adalah yang tecantum dalam huruf b:
orang yang memperoleh mestilah masih hidup pada saat pewarisnya meningggal
dunia.
2.
untuk memperolehnya mestilah orang yang masih hidup pada
saat pewaris meninggal dunia.
Untuk dapat bertindak sebagai ahli
waris mestilah orang itu sudah ada ketika pada saat harta peninggalan itu
terbuka. Aturan ini diberikan di sini bagi ahli waris karena kematian.
D.
Warisan Anak
Yang Lahir Diluar Nikah
Didala undang-undang dikenal adanya anak diluar
kawin yang dalam kondisi tertentu mereka dapat enuntut harta earisan. Jelasnya
ahli waris golongan I, II, III dan IV tidak ada. Maka dalam keadaan demikian
anak diluar kawin dapat menuntut harta warisan. Kedudukan ini ditetapkan dalam
pasal 873 KUH perdata yakni:[11]
“jika salah seorang keluarga sedarah tersebut
diata s meninggal dunia dengan tak
meninggalkan sanak saudara dalam derajat yang mengijinkan pewarisan, maupun
suami atau istri yang hudup terlama, maak si anak di luar nikah adalah berhak
menuntut seluruh warisan untk diri sendiri dengan mengesampingkan Negara.
Jika anak di luar kawin tadi meninggal duni
dengan tidak meninggalan keturunan, suami atau istri yang hidup terlamamaupun pula
bapak atau ibu, dan akhirnya saudara laki-laki atau perempuan atau keturunan
mereka, maka warisannya dengan mngesampingkan Negara. Untuk diwariskan oleh
para keluarga sedarah yang terdekat dari bapak atau ibunya yang telah
mengakuinya, dan sekiranya mereka
berdualah yang mengakuinya maka setengah bagian adalah untuk para keluarga
sedarah yanf terdekat yang terdapat garis bapak, sedangkan setengah bagian
lainnya untuk keluarha sejenis dalam garis ibu.[12]
Undang-undang
mengatur secara rinci mengenai peralihan barang-barang kepada anak diluar kawin
dari orangtuanya dengan beberapa ketentuan hukum sebagai berikut:
A.
Apabila
anak diluar kawin telah pernah mewaris barang-barang dari orangtuanya, padahal
anak diluar kawin tadi sudah me- ninggal dunia, maka barang-barang tersebut
dikembalikan ke- pada keturunan yang syah dari kedua orangtua tadi dengan
syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Barang-barang
tersebut masih tetap dalam ujudnya
2.
Anak diluar kawin tidak meninggalkan
keturunan.
3.
Anak
diluar kawin tidak meninggalkan suami istri.
Disamping itu ada ketentuan lain yang menyangkut suatu tuntutan
untuk pengembalian sesuatu barang yang telah dialihkan kepada pihak lain dengan
transaksi jual beli, akan te tapi pem- bayarannya belum dilaksanakan. Adapun
barang-barang lain selain yang diperoleh dari (orangtua anak diluar kawin),
makasuuk barang-barang yang ditunjuk oleh undang-undang dapat di waris oleh : [13]
1.
Saudara/saudara-saudara
laki-laki/perempuan dari anak di- luar kawin.
2.
Para
keturunan yang syah dari anak diluar kawin.
B. Undang-undang menetapkan bahwa terdapat beberapa orang yang dapat
mewaris harta peninggalan dari anak diluar kawin apabila ia sudah menenggal
maka:
1.
Keluarga
terdekat dari orangtua (bapak/ibu) yang telahan apabila ia sudah meninggal,
yakni: mengakuinya.
2.
Apabila
pengakuan anak tersebut dilakukan oleh keduate nya (bapak dan ibu) sekaligus,
maka harta warisan itu di bagi dua; satu bagian untuk para keluarga sedarah
terdekat dalam garis bapak dan selebihnya garis ibu [14]
Ketentuan tersebut di atas berlaku efektif apabila anak diluar
kawin yang telah meninggal tadi berada dalam posisi sebaga berikut:
1.
Anak
tidak meninggalkan keturunan.
2.
Anak
diluar kawin tidak meninggalkan suami/istri yang hidup terlama dengannya.
3.
Anak
diluar kawin tidak meninggalkan ayah, ibu atau ayah dan ibu.[15]
E.
Legitieme
Portie
Sebagaimana telah diterangkan, para ahliwaris dalam garis lencang
baik ke bawah maupun ke atas, berhak atas suatu "Megi- tieme portie,"
yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan
oleh orang yang meninggalkan wa- risan. Dengan kata lain mereka itu tidak dapat
"onterfd." Hak atas legitieme portie, barulah timbul bila seseorang
dalam suatu keadaan sungguh-sungtuh tampil ke muka sebagai ahliwaris me- nurut
undang-undang. Misalnya saja, jika si meninggal mem- punyai anak-anak atau
cucu-cucu, maka orang tua tidak tanıpil ke muka sebagai ahliwaris.
Karenanya" juga tidak berhak atas suatu legitieme portie. Seorang yang
berhak atas suatu legitieme portie dinamakan "legitimaris." Ia dapat
minta pembatalan tiap testament yang melanggar haknya tersebui. la berhak pula
untuk menuntut supaya diadakan pengurangan ("inkorting") terhadap
segala macam pemberian warisan, baik yang berupa erfstelling maupun yang berupa
legaat, atau segala pemberian yang bersifat schenking yang mengurangi haknya.[16]
Peraturan tentang undang-undang portie ini oleh undang-undang,
undang-undang tentang persetujuan untuk seseorang membuat wasiat atau bukti
sesuai kehendak hati- nya sendiri. Karena itu pasal-pasal tentang legitieme
portie ini di- dalam bagian tentang hak mewarisi menurut wasiat (testamentair
erfrecht). [17]
Pemah dipersoalkan, apakah seorang anggota keluarga yang dicabut
hak-haknya sebagai ahliwaris, tetapi berhak atas legitieme portie, memiliki
hak-hak dari seorang ahliwaris atau- kah ia hanya menawarkan perantaraan alat
bantu atau harta seharga bagiannya dalam warisan yang oleh undang-undang di
tetapkan sebagai ligitieme portie itu, tapi sekarang boleh di-katakan bah wa
tidak ada orang lagi yang menyangkal itu orang sah punya hak-hak diizinkan
sebagai ahli-waris.[18]
Di sini perlu diterangkan, termasuk suami atau isteri, sebelum ia
menurut undang-undang sekarang ini telah dipersamakan dengan seorang anak
mengenai hak-haknya untuk mewarisi, tidak termasuk golongan orang yang berhak
atas legitieme portie, sehingga ia dapat dihabiskan untuknya haknya sama sekali
untuk menerima warisan. Jadi seorang saudara, yang merupakan ahli ahli yang
kedua, bukan seorang legitimaris, Karenanya ia dapat juga menggantikan haknya
untuk mewarisi, meskipun demikian ia muncul ke muka sebagai ahliwaris karena
tidak memiliki ahliwaris dari golongan pertama.[19]
F.
Prosedur
Pembagian Harta Warisan
Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian
harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk
menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil.
Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH
Perdata).
Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu
melalui pewarisan absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio
merupakan warisan yang didapatkan didapatkan berdasarkan Undang-undang. Dalam
hal ini sanak keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah
pihak yang berhak menerima warisan.
Mereka yang berhak menerima dibagi menjadi empat golongan,
yaitu anak, istri atau suami, adik atau kakak, dan kakek atau nenek. Pada
dasarnya, keempatnya adalah saudara terdekat dari pewaris (Lihat Boks 4
golongan pembagian waris).
Sedangkan
pewarisan secara testamentair/wasiat merupakan penunjukan ahli waris
berdasarkan surat wasiat. Dalam jalur ini, pemberi waris akan membuat surat
yang berisi pernyataan tentang apa yang akan dikehendakinya setelah pemberi
waris meninggal nanti. Ini semua termasuk persentase berapa harta yang akan
diterima oleh setiap ahli waris.
Empat
Golongan yang Berhak Menerima Warisan
A.
GOLONGAN I.
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan
pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan
warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian.
Diantaranya adalah Ayah, Ibu, Pewaris, Saudara dan Saudari
B.
GOLONGAN II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila
pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak
adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris. Dalam
contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara
kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian
orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian
C.
GOLONGAN III
Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung
sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik
dari garis ibu maupun ayah. Diantaranya adalah kakek dan nenek dari pewaris.
Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari
ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½
bagian untuk garis ibu.
D.
GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak
menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup.
Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan
derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan adanya aturan-aturan yang telah di nukilkan di dalam
KUH-Perdata mengenai hal waris, maka kita dapat menjadikannya sebagai acuan
untuk menyelesaikan segala bentuk sengketa waris yang terjadi.
Namun
bila KUH-Perdata tidak dapat menyelesaikan sengketa waris tersebut, maka dapat
di gunakan alternative lain yaitu dengan menggunakan referensi Hukum Islam
ataupun Hukum Adat.
Seperti yang telah di papar kan di atas, terdapat beberapa golongan
orang yang berhak mendapatkan waris (ahli waris). Dan setiap golongan menutup
golongan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Usman, Suparman. 1990. Ikhtisar Hukum
Waris Menurut
KUH Perdata
B.W. Jakarta: Darul Ulum Press
Pitlo. 1990. Hukum Waris: Menurut Undang-Undang Hukum
Perdata Belanda. Jakarta: Intermasa
Sudarsono. 1991. hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta:reineka
Cipta
Subekti. 2013. Hukum Perdata. Jakarta:Intermasa
[1]
Drs.H.Suparman
Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut KUH Perdata B.W, (Jakarta: Darul Ulum Press,1990). hal. 48.
[2]
Ibid. hlm. 49-50
[3]
Ibid.
[4]
MR. A. Pitlo, Hukum
Waris: Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, (Jakarta: Intermasa,
1990). hal. 1.
[5]
Ibid
[6]
Ibid. hlm . 18.
[7]
Ibid
[8]
Ibid
[9]
Ibid
[10]
Ibid. hlm 14.
[11]
Sudarsono, hukum Waris dan Sistem Bilateral, ( Jakarta:eineka Cipta, 1991),
hlm. 89.
[12]
Ibid. hlm 89
[13]
Ibid. hlm. 92
[14]
Ibid
[15]
Ibid
[16]
Subekti, Hukum Perdata, ( Jakarta:Intermasa, 2013), hlm 113
[17]
Ibid. hlm. 114.
[18]
Ibid
[19]
Ibid.
0 Komentar