Hukum Keluarga
MAKALAH
HUKUM KELUARGA
Mata kuliah : Hukum Perdata
Dosen Pengampu : Muhammad Shoim
logo
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Suatu keluarga
akan terbentuk setelah adanya ikatan perkawinan. Adapun perkawinan secara umum
dipahami sebagai ikatan lahir batin antara sepasang pria dan wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membina suatu rumah tangga yang bahagia. Sehingga
dalam arti sempit, keluarga adalah sepasang suami istri dan anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan itu, akan tetapi tidak mempunyai anak pun dapat
digolongkan sebagai keluarga kecil.
Dengan
terbentuknya sebuah keluarga, maka akan secara otomatis melahirkan sebuah hukum
di dalamnya, yang dinamakan hukum keluarga. Di mana hukum ini berisi sebuah
aturan-aturan yang dibebankan kepada semua anggota keluarga.
Hukum keluarga
termasuk pada ranah hukum perdata, karena mengatur hubungan antara individu
dengan individu lainnya, dalam hal ini anggota keluarga. Hukum keluarga sangat
penting untuk dipelajari, karena secara kodrat setiap individu dilahirkan untuk
meneruskan keturunan dengan cara membina sebuah keluarga.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian hukum keluarga?
2.
Bagaimana
kekuasaan orang tua?
3.
Apa
saja tugas wali dan sebutkan macam macam wali?
4.
Apakah
yang dimaksud pengampuan dan sub-subnya?
5.
Apa
pengertian adobsi dan hokum-hukumnya ?
6.
Bagaimana
penjelasan tentang keadaan tidak hadir?
C.
Tujuan
Pembahasan pada
makalah ini yang mana isinya membahas tentang asas-asas hukum kekeluargaan
bertujuan supaya kita mengetahui bagaimana seluk beluk dari pada hukum
kekeluargaan di Indonesia ini, mengaca pada kasus-kasus yang sering terjadi
didalam negeri Indonesia ini, terutama pada kalangan artis di Indonesia ini,
seperti kasus perceraian yang begitu marak sekali pada segala bentuk media
informasi ataupun media cetak
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Keluarga.
Istilah
hukumkeluarga berasal dari terjemahan Familierecht (Belanda) atau law of familie (Inggris).
Dalam konsep Ali Afandi, hukum keluarga diartikan sebagaikeseluruhan ketentuan
yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan
kekeluargan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,perwalian,
pengampuan, keadaan tak hadir)[1].
Ada dua hal
penting dari konsep Ali Afandi tersebut, bahwa hukum keluarga mengatur hubungan
yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa
orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena
perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara
seorang dengan keluarga sedarah dengan istri (suaminya)[2].
Adapun menurut
Abdul Kadir Muhammad (2010: 69), pengertian keluarga dapat dibedakan menjadi
dua.
a.
Dalam
arti sempit : keluarga adalah kesatuan masyarakat kecil yang terdiri atas
suami, istri dan anak yang berdiam pada suatu tempattinggal. Keluarga dalam
arti sempit juga disebut keluarga inti.
b.
Dalam
arti luas : keluarga yang terdiri atas suami, istri, anak, orang tua, mertua,
adik dan kakak dan adik atau kakak ipar. Keluarga dalam arti luas ini dapat
dijumpai dalam masyarakat indomesia. Motivasi terjadinya keluarga dalam arti
luas ini bersandar atas soal ekonomi yang berprinsip seperti slogan orang jawa
“makan tidak makan asalkan berkumpul dalam satu kelompok”.
Pada dasanya sumber hukum keluarga dapar dibedakan menjadi dua
macam, yaitu sumber hukum keluarga tertulis dan sumber hukum perdata tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tidak
tertulis merupakan norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang serta ditaati
oleh sebagian besar masyarakat atau suku bangsa yang hidup di wilayah
Indonesia. Sedangkan sumber hukum keluarga tertulis berasal dari berbagai
peraturan perundang-udangan, yurisprudensi, dan perjanjian (traktat).
B.
Kekuasaan orang tua
Kekuasaan orang tua berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari
pengesahaan sia anak dan berakhirnya pada waktu anak tersebut menjadi dewasa
atau kawin atau putusnya perkawinan orang tuanya. pasal 240 memuat ketentuan
bahwa setelah adanya keputusan perpisahan meja dan ranjang. Hakim harus
memutuskan siapa diantara orang tua harus melekukan kekuasaan orang tua
terhadap anak. Di dalam hal ini bisa juga kekuasaan orang tua dilakukan si ibu.
Mengenai pengertian Jadi belum dewasa perlu duperhatikan pasal-ppasal seperti
berikut :
Pasal 330 : Orang yang belum dewasa adalah orang yang belum
mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. jka ia pernah kawin, dan ia
masih belum mencapai umur 21 tahun ia tidak kembali dalam kedudukannya sebagai
orang belum dewasa.
Jadi inti dari uraian di atas adalah :
1.
Belum
mencapai umur 21 tahun
2.
Belum kawin.
·
Prinsip kekuasaan orang tua menurut KUH Perdata
a.
Kekuasaan
orang tua hanya ada, selama pernikahan antara kedua orang tua anak tersebut
berlangsung.
b.
Kekuasaan
orang tua berada ditangan bapak dan ibu, tapi pelaksananya berada ditangan
bapak
c.
Kekuasaa
orang tua berada ditangan bapak dan ibu, selama mereka menjalankan kewajiban
sebagai orang tua dengan baik (ada kemungkinan dipecat atau dibebaskan)
·
Kekuasaan orang tua meliputi pribadi dan harta anak
1.
Mengenai pribadi anak
a.
Orang
tua wajib memelihara dan memberi pendidikan kepada anak yang dibawah umur.
b.
Orang
tua berhak minta kepada PN agar anaknya berkelakuan buruk dimasukan dalam
lembaga negara (pasala 302 jo. Pasal 304 KUHPdt)
2.
Mengenai harta anak
a.
Pengerusan
harta anak di tangan orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua. Pengerusan
ini mengakibatkan orang tua mewakili anak dalam setiap tindakan (anak tak
cakap).
b.
Bapak
atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua berhak atas nikmat hasil (vruchtgenot) dari harta anak, bila
kekuasaannya dibebaskan, hak tersebut berakhir.
·
Berakhirnya kekuasaan orang tua
a.
Anak
yang bersangkutan meninggal
b.
Anak
yang bersangkutan telah dewasa
c.
Pernikahan
kedua orang tua selasai
d.
Kedua
orang tua dibebaskan
e.
Kedua
orang tua dipecat
f.
Salah
satu orang tua di pecat dan yang lain dibebaskan
·
Pembebasan kekuasaan orang tua
Menurut KUHPdt, orang tua dapat dibebaskan dari kekuasaanya
berdasarkan alsan bahwa ia tidak cakap atau mampu melakukan kewajiban untuk
memelihara dan mendidik anaknya.
·
Pemecatan kekuasaan orang tua
Pemecatan dilakukan oleh negara bila orang tua itu tidak patut (onwardig) dan tidak mau (onwilig) memenuhi kewajibannya sebagau
pemelihara anak. R. Subekti (1990 : 216) menyebutkan alasan pemecatan antara
lain bahwa ia menyalahgunakan kekuasaan atau sangat melalaikan kewajibanya
sebagai orang tua, berkelakuan buruk atau dihukum penjara selama dua tahun atau
lebih. Akibat hukum pemecatan adalah sebagai berikut :
a.
Apabila
orang tua dipecat naka demi hukum kekuasaan orang tua dilaksanakan oleh orang
tua yang lain, kecuali orang tua yang lain itu dipecat atau di bebaskannya
juga,
b.
Apabila
bapak dipecat, sedangkan ibu tetap dalam satu tempat tinggal dengan bapak, ibu
dapat minta dibebaskan dari kekuasaan orang tua.
Dalam keadaan yang demikian, maka kekuasaan orang tua berakir dan
hakim mengangkat wali datif, sedangkam kewajiban orang tua terhadap anaknya
mengenai pendidikan dan pemeliharaanya tetap berlangsungan.
·
Kewajiban yang timbal balik untuk memelihara orang tua dan anak
a.
Anak-anak
berkewajiban memelihara orang tua dan keluarga sedarah garis lurus ke atas dan
sebaliknya, tetapi anak-anak tidak dapat menuntut suatu kedudukan lebih dari
layak
b.
Kewajiban
ini juga dibebankan kepada menantu terhadap mertua dan sebaliknya, dengan
batas-batas seperti disebutkan dalam pasal 322 KUHPdt
Keadaan ini hanya berlaku ketika tidak mampu.
·
Menurut undang-undang perkawinan (uup)
Pasal 47 dapat dijumpai aturan kekuasaan orang tua yang menyatakan
bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum melaksanakan perkawinan
ada dibawah kekuasaan orang tuannya, selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya. UU ini menetapkan bahwa orang tua memiliki anak tersebut mengenai
perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.
Tehadap harta anak, orang tua dibatasi kekuasaanya berupa tidak
diperbolehkan memindahkan hak hak atu menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki si anak, kecuali bila kepentingan anak menghendaki.
C.
Perwalian
Anak yang belum mencapai
umur 18 [delapan belas] tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang
tidak berada di bawah kekuasaan orang tua,
berada di bawah kekuasaan wali. Pewalian itu mengenai pribadi anak yang
bersangkutan maupun harta bendanya [pasal 30 UU perkawinan][3].
Yang dimaksud perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan
pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak
berada di tanah kekuasaan orang tua.Jadi dengan demikian anak yang orang tuanya
telah bercerai ataun jika salah satu dari mereka atau semua meninggal dunia,
berada dibawah perwalian. Terhadap anak di luar kawin, maka kaerena tidak ada
kekuasaan orang tua anak itu selalu di bawah perwalian.
·
Menurut UUP
Syarat sebagai wali ditentukan dalam pasal 51 UUP, yaitu:
a.
Wali
dapat ditunjuk oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua,
sebelum ia meninggal dengan suart wasiat atau lisan di hadapan dua orang saksi,
b.
Wali
diambil dari keluarga anak yang bersangkutan atau orang lain yang sudah dewasa
berfikir sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik,
c.
Wali
wajib mengurus anak dan hartanya secara baik dan menghormati anak dan
kepercayaan itu,
d.
Wali
wajib membuat daftar benda anak dan mencatat semua perubahan-perubahannya,
e.
Wali
bertanggung jawab atas harta anak serta kerugian karna kelalainya,
f.
Wali
dilarang mengalihkan lisan menggadaikan harta anak =, kecuali kepentingan anak
yang menghendaki, pelanggaran ini berakibatan kekuasaan wali dicabut (pasal 47
jo. Pasal 53 UUP)
·
Menurut KUH Perdata
1.
Macam-macam wali
a.
Perwalian
menut uu (legitieme voogdij) Pasal
345 KUHPdt, antara lain:
Ø Perwalian orang tua yang hidup terlama
Ø Perwalian orang tua yang telah dewasa atas anak yang diakui
Ø Perwalian kurator atas anak-anak sah dari kurandus
b.
Perwalian
menurut wasiat (testamentaire voogdij),
Pasal 355 KUHPdt
c.
Perwalian
diangkat oleh hakim (datieve voogdij)
Pada
dasarnya setiap orang wajib menerima pengangkatan jadi wali, kecuali :
Ø Mereka yang menderita sakit ingatan
Ø Orang-orang yang masih dibawah umur
Ø Orang-orang yang berada dibawah pengampunan
Ø Orang-orang yang dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian
Ø Presiden, wakil mpresiden, anggota, sekretaris, wakil sekretaris,
kasir pemegang buku dan agen BHP (kecuali diangkat menjadi wali atas anaknya
sendiri) pasal 379 KUHPdt
d.
Perwalian
badan hukum (gestichten voogdij)
Pasal 365 KUHPdt
2.
Tugas wali
Memelihara dan mendidik anak menurut kemampuannya serta mewakili
semua tindakan perdata. Apabila kelakuan anak buruk, wali dapat meminta kepada
hakim agar anak itu dimasukan dalam lembaga negara. Walau tidakan anak diwakili
oleh wali, tetapi ada pengecualian artinya masih dapat dilakukan anak itu
sendiri, yaitu mengakui anak luar nikah, membuat surat wasiat, atau bertindak
sebagai pemegang kekuasa.
3.
Kewajiban wali
1.
Memberiritahu
kepada BHP, membuat catatan harta sia ank, memberi jaminan kepengurusan
2.
Menanam
uang kepunya si anak, menerima warisan sia anak, memberi pertanggung jawaban
kepada BHP.
4.
Perwalian berakhir
Anak
telah dewasa, anak meninggal, anak luar nikah yang diakui, disahkan kembalinya
kekuasaan orang tua, pemecatan atau pembebasan sebagai wali dan kematian wali
D. Pegampuan
Pengampuan
adalah keadaan orang yang telah dewasa yang disebabkan sifat-sifat pribadinya
dianggap tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri atau kepentingan orang
lain yang menjadi tanggungannya, sehingga pengurusan itu harus diserahkan
kepada seseorang yang akan bertindak sebagai wakil menurut undang-undang dari
orang yang tidak cakap tersebut. Orang yang telah dewasa yang dianggap tidak
cakap tersebut disebut kurandus, sedangkan orang yang bertindak sebagai wakil
dari kurandus disebut pengampu (kurator).
Orang-orang
yang ditempatkan di bawah pengampuan yaitu :
1.
Orang
dungu
2.
Orang
hilang ingatan
3.
Orang
boros
Orang-orang yang mengajukan pengampuan, ialah:
- Bagi orang dungu adala pihak yang merasa tidak mampu untuk mengurus kepentingannya sendiri;
- Bagi orang yang sakit ingatan adalah setiap anggota keluarga sedarah dan istri atau suami, dan jaksa dalam hal curandus tidak mempunyai istri atau suami ataupun keluarga sedarah di wilayah Indonesia;
- Bagi orang yang boros adalah setiap anggota keluarga sedarah dan sanak keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keempat dan/istri atau suaminya.
Permintaan untuk menaruh seorang di bawah pengampuan, harus diajukan
kepada pengadilan negeri dengan menguraikan peristiwa- peristiwa yang
menguatkan persangkaan tentang adanya alasan- alasan untuk menaruh orang di
bawah pengawasan, dengan disertai bukti- bukti dan saksi-saksi yang dapat
diperiksa oleh hakim. Pengadilan akan mendengar saksi-saksi, begitupun berhak anggota-anggota
keluarga dari orang yang dimintakan pengampuan dan akhirnya orang tersebut akan
diperiksa. Jikalau hak, menganggap perlu, ia berwenang untuk selama pemeriksaan
jalan, mengangkat seorang pengawas sementara guna mengurus kepentingan orang
itu.
Putusan pengadilan yang menyatakan bahwa orang itu ditaruh di bawah
curatele, harus diumumkan dalam Berita Negara. Orang yang ditaruh di bawah
pengampuan berhak memperoleh kekuatan tetap, pengadilan negeri akan mengangkat
seorang pengampu atau kurator. Terhadap seorang yang sudah kawin sebagai
pengampu harus diangkat suami atau isterinya, kecuali jika ada hal-hal yang
penting yang tidak mengizinkan pengangkatan itu. Dalam putusan hakim selalu
ditetapkan, bahwa pengawasan atas curatele itu diserahkan pada BHP.
Kedudukan seorang yang telah ditaruh di bawah pengampuan sama seperti
seorang yang belum dewasa, tidak dapat lagi melakukan perbuatan- perbuatan
hukum secara sah. Akan tetapi seorang yang ditaruh di bawah pengampuan atas
alasan boros, menurut undang-undang masih dapat membuat wasiat dan juga masih
dapat melakukan perkawinan serta membuat perjanjian perkawinan, meskipun untuk
perkawinan ini ia selalu harus mendapat izin dan bantuan kurator serta BHP.
Bahwa seorang yang ditaruh di bawah pengampuan atas alasan sakit ingatan tidak
dapat membuat suatu testamen dan juga tidak dapat melakukan perkawinan karena
untuk perbuatan-perbuatan tersebut, diperlukan pikiran yang sehat dan kemauan
yang bebas.
Pengampuan mulai berlaku sejak hari keputusan atau ketetapan pengadilan
yang diucapkan. Dengan diletakkannya seseorang di bawah pengampuan, maka orang
tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan orang yang belum cukup umur,
dalam arti dinyatakan menjadi tidak cakap berbuat hukum dan semua perbuatan
yang dilakukannya dapat dinyatakan batal. Bagi orang yang berada dibawah
pengampuan karena keborosan, maka ketidakcakapannya berbuat hanya berkaitan
dengan perbuatan-perbuatan hukum dalam bidang harta kekayaan saja. Sedangkan
untuk perbuatan-perbuatan hukum lainnya, misalnya perkawinan, itu tetap sah.
Terhadap seorang yang berada di bawah pengampuan karena dungu maka ia sama
dengan orang yang sakit ingatan.
Seseorang yang sakit ingatan jika melakukan perbuatan hukum sebelum ia
dinyatakan di bawah pengampuan, dengan sendirinya perbuatannya dapat pula
dimintakan pembatalan. Meskipun demikian masih ada perkecualiannya, yaitu jika
yang bersangkutan melakukan perbuatan melanggar hukum (onrecht matige daad,
maka tetap bertanggung gugat, artinya ia harus membayar ganti rugi yang
ditimbulkan oleh semua kesalahannya itu.
Pengampuan akan berakhir dengan 2 (dua) macam cara, yaitu:
1. Secara Absolut, karena orang yang berada di
bawah pengampuan meninggal dunia dan adanya putusan pengadilan yang menyatakan
bahwa sebab-sebab di bawah pengampuan telah hapus.
2. Secara Relatif, karena
:
-
pengampu menanginggal dunia;
-
pengampu dipecat atau dibebastugaskan;
-
suami diangkat sebagai pengampu yang dahulunya berstatus sebagai orang
yang berada dibawah pengampu(dahulu berada di bawah pengampu karena alas
an-alasan tertentu)
Dengan berakhirnya pengampuan, maka berakhirnya tugas dan kewajiban
pengampu. Menurut ketentuan Pasal 141 KUH Perdata bahwa berakhirnya pengampuan
harus diumumkan sesuai dengan formalitas yang harus dipenuhi seperti pada waktu
permulaan pengampuan. Di samping itu bahwa ketentuan- ketentuan berakhirnya
perwalian seluruhnya mutatis mutandis berlaku pula berakhirnya pengampuan
(Pasal 452 ayat (2) KUH Perdata). [4]
E. Adopsi
1.
Pengaturan Mengenai Lembaga Pengangkatan Anak
Dalam Sistem Hukum Indonesia
1. Hukum Adat
Sistem hukum Indonesia
bersumber pada hukum adat. Dalam hukum adat dikenal adanya pengangkatan
anak,Sebagaimana hukum adat pada umumnya di Nusantara jarang terdokumentasi
secara tertulis, tetapi hidup dalam ingatan kolektif masyarakatnya. Sebagai
contoh salah satu bagian dari hukum keluarga mengenai pengangkatan anak.
Mengangkat anak disebut “mupu anak” (Banten Utara & Cirebon), “mulung” atau
“ngukut anak” (suku Sunda umumnya) dan “mungut anak” (Jakarta). Orang tua
angkat umumnya bertanggung jawab terhadap anak yang diangkatnya sedangkan orang
tua kandung lepas tanggung jawabnya setelah pengangkatan itu. Cara pengangkatan
pun sangat sederhana biasanya hanya keluarga yang menyerahkan dan yang
mengangkat, tetapi tetangga akan segera mengetahuinya. Adapula yang dihadiri
para kerabat dari kedua belah pihak. Pengangkatan yang menggunakan surat
ditemukan hanya di dua tempat yaitu di Meester Cornelis (Jatinegara) yang
disahkan asisten wedana dan Lengkong-Bandung yang disaksikan Kepala Desa.
Prinsip hukum adat dalam suatu
perbuatan hukum adalah terang dan tunai. Terang ialah suatu prinsip legalitas,
yang berarti perbuatan hukum itu dilakukan di hadapan dan diumumkan didepan
orang banyak, dengan resmi secara formal, dan telah dianggap semua orang
mengetahuinya. Sedangkan kata tunai, berarti perbuatan itu akan selesai
seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditarik kembali.
Dilihat
dari aspek hukum, pengangkatan anak menurut adat tersebut, memiliki segi
persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum barat, yaitu masuknya
anak angkat kedalam keluarga orangtua yang mengangkatnya, dan terputusnya
hubungan keluarga dengan keluarga atau orangtua kandung anak angkat.
Perbedaannya didalam hukum dat diisyaratkannya suatu imbalan sebagai pengganti
kepada orangtua kandung anak angkat -- biasanya berupa benda-benda yang
dikeramatkan atau dipandang memiliki kekuatan megis.
Dilihat
dari segi motivasi pengangkatan anak, dalam hukum adat lebih ditekankan pada
kekhawatiran (calon orangtua angkat) akan kepunahan, maka calon orangtua angkat
(keluarga yang tidak mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kekuasaan
kekerabatannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang diangkat itu
kemudian menduduki seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang
mengangkatnya dan ia terlepas dari golongan sanak saudaranya semula.
Islam
telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi atau
pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni
ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.
2.
Hukum Islam
Tabanni secara harfiah
diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan
seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang,
nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah
anaknya.
Adopsi dinilai sebagai
perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang luas rezekinya,
namun belum dikaruniai anak. Maka itu, sangat baik jika mengambil anak orang
lain yang kurang mampu, agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim
piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.
Hanya
saja, ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan
(nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan
syariat Islam. Banyak dalil yang mendasarinya.
Jadi,
Adopsi yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, tidak menjadikan anak yang
diangkat mempunyai hubungan dengan orangtua angkat seperti hubungan yang
terdapat dalam hubungan darah.
3. Hukum Perdata Barat
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW) tidak ditemukan suatu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau
anak angkat. BW hanya mengatur tentang pengkuan anak diluar kawin, yaitu
seperti yang diatur dalam Buku I Bab 12 bagian ketiga BW, tepatnya pada Pasal
280 sampai 289 yang substansinya mengatur tentang pengakuan terhadap anak-anak
diluar kawin.
Lembaga
pengakuan anak diluar kawin, tidak sama dengan lembaga pengangkatan anak.
Dilihat dari segi orang yang berkepentingan, pengakuan anak diluar kawin hanya
dapat dilakukan oleh orang laki-laki saja khususnya ayah biologis dari anak
yang akan diakui. Sedangkan dalam lembaga pengangkatan anak tidak terbatas pada
ayah biologisnya, tetapi orang perempuan atau lelaki lain yang sama sekali
tidak ada hubungan biologis dengan anak itu dapat melakukan permohonan
pengangkatan anak sepanjang memenuhi persyaratan hukum.
Mengingat
kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak menunjukkan angka yang
meningkat, naka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad yang
isinya mengatur secara khusus tentang lembaga pengangkatan anak tersebut guna
melengkapi Hukum Perdata Barat (BW).
2. Syarat pengangkatan anak
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
Pengangkatan anak dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat
dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan adat kebiasaan
artinya pengangkatan anak dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih
melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Pengangkatan anak
berdasarkan peratura perundang-undangan mencakup pengangkatan anak secara
langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak. Pengangkatan
anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dilakukan melalui penetapan
pengadilan.
Berdasarkan Pasal 12 PP No. 54 Tahun 2007, syarat-syarat
pengangkatan anak meliputi:
1. Syarat anak yang akan diangkat,
meliputi:
a. belum berusia 18 (delapan
belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau
ditelantarkan
c. berada dalam asuhan keluarga
atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.
2.
Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi:
a. anak belum berusia 6 (enam)
tahun, merupakan prioritas utama;
b. anak berusia 6 (enam) tahun
sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun,sepanjang ada alasan mendesak;
dan
c. anak berusia 12 (dua belas)
tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapanbelas) tahun, sepanjang anak
memerlukan perlindungan khusus.
d. Calon orang tua angkat harus
memenuhi syarat-syarat:
e. sehat jasmani dan rohani;
f. berumur paling rendah 30 (tiga
puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;
g. beragama sama dengan agama
calon anak angkat;
h. berkelakuan baik dan tidak
pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
i.
berstatus menikah paling singkat 5 (lima)
tahun;
j.
tidak merupakan pasangan sejenis;
k. tidak atau belum mempunyai anak
atau hanya memiliki satu orang anak;
l.
dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
m. memperoleh persetujuan anak dan
izin tertulis orang tua atau wali anak;
n. membuat pernyataan tertulis
bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak,
kesejahteraan dan perlindungan anak;
o. adanya laporan sosial dari
pekerja sosial setempat;
p. telah mengasuh calon anak
angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan
q. memperoleh izin Menteri
dan/atau kepala instansi sosial.[5]
F. Ketidakhadiran/ Orang
yang Hilang
Ketidakhadiran
adalah ketidak beradaan seseorang ditempat atau seseorang meninggalkan tempat
dengan tidak memberikan kuasa pada seseorang untuk mengurus
kepentingan-kepentingan harus diurus. Ada 3 (tiga) keadaan tidak hadir
seseorang, yaitu :
1.
Pengambilan
tindakan sementara, di mana jika ada alasan-alasan yang mendesak untuk mengurus
seluruh atau sebagian harta kekayaannya. Tindakan sementara ini dimintakan
kepada Pengadilan Negeri oleh orang yang mempunyai kepentingan terhadap harta
kekayaannya. Misalnya istrinya, para kreditur, sesama pemegang saham dan lain-
lain, juga jaksa dapat memohon tindakan sementara tersebut. Dalam tindakan
sementara ini hakim memerintahkan Balai Harta Peninggalan (BPH) untuk mengurus
seluruh harta kekyaan serta kepentingan dari orang tak hadir.
2. Kemungkinan sudah meninggal. Seseorang dapat
diputuskan sudah meninggal jika:
a) Tidak hadir 5 tahun, bila tidak meninggalkan surat
kuasa (Pasal 467 KUH Perdata), dimulai pada hari ia pergi tidak ada kabar yang
diterima dari orang tersebut atau sejak kabar terakhir diterima.
b) Tidak hadir 10 tahun, bila surat kuasa ada tetapi sudah
habis berlakunya (Pasal 470 KUH Perdata), dimulai pada hari ia pergi tidak ada
kabar yang diterima dari orang tersebut atau sejak kabar terakhir diterima.
c) Tidak hadir 1 tahun, bila orangnya termasuk awak atau
penumpang kapal laut atau pesawat udara (Stbl. 1922 No. 455), dimulai sejak
adanya kabar terakhir dan jika tidak ada kabar sejak hari berangkatnya.
d) Tidak hadir 1 tahun, jika orangnya hilang pada suatu
peristiwa fatal yang menimpa sebuah kapal laut atau pesawat udara (Stbl. 1922
No. 455), diperistiwa.
e) Dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975, dikatakan
bahwa apabila salah satu pihak meninggalkannya 2 tahun berturut-turut, pihak
yang ditinggalkan boleh mengajukan perceraian.
3. Masa pewarisan definitif. Masa ini terjadi apabila
lewat 30 tahun sejak tanggal tentang “mungkin sudah meninggal” atas keputusan
hakim, atau setelah lewat 100 tahun setelah lahirnya si tak hadir.
Akibat-akibat permulaan masa pewarisan definitif adalah
a.
Semua
jaminan dibebaskan
b.
Para ahli
waris dapat mempertahankan pembagian harta warisan sebagaimana telah dilakukan
atau membuat pemisahan dan pembagian definitif.
c.
Hak menerima
warisan secara terbatas berhenti dan para ahli waris dapat diwajibkan menerima
warisan atau menolaknya.
Seandainya
orang yang tidak hadir kembali setelah masa pewarisan definitif, ia ada hak
untuk meminta kembali hartanya dalam keadaan sebagaimana adanya berikut harga
dari harta yang tidak dipindatangankan, semuanya tanpa hasil dan pendapatannya
(Pasal 486 KUH Perdata).
Ketidakhadiran
sesorang untuk mgurus kepentingannya, maka atas permintaan orang yang
berkepentingan ataupun atas permintaan jaksa, hakim untuk sementara dapat
memerintahkan BHP untuk mengurus kepentingan- kepentingan orang yang bepergian
tersebut. Jika kekayaan orang tersebut tidak begitu besar maka dapat diserahkan
pada anggota keluarga yang ditunjuk oleh hakim.
Adapun
kewajiban BHP, yaitu:
a.
Membuat
pencatatan harta yang diurusnya
b.
Membuat
daftar pencatatan harta, surat-surat lain uang kontan, kertas berharga dibawa
ke kantor BHP
c.
Memperhatikan
segala ketentuan untuk sesorang wali mengenai pengurusan harta seorang anak
(Pasal 464 KUH Perdata)
d.
Tiap tahun
memberi pertanggung jawaban pada jaksa dengan memperlihatkan surat-surat
pengurusan dan efek-efek (Pasal 465 KUH Perdata)
BHP berhak
atas upah yang besarnya sama dengan seorang wali dalam mngurus kepentingan
orang yang tidak hadir (Pasal 411 KUH Perdata). [6]
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Dari bahasan diatas dapat diketahui bahwa keluarga
dalam arti sempit adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri atas suami,
istri, dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal, disebut juga keluarga
inti. Dalam arti luas keluarga terdiri atas suami, istri, anak, orang tua,
mertua, adik atau kakak, dan adik atau kakak ipar
Kekuasaan orang tua berlaku sejak lahirnya anak atau
sejak hari pengesahan si anak dan berakhirnya pada waktu anak tersebut menjadi
dewasa atau kawin atau putusnya perkawinan orang tuanya. Anak yang belum
mencapai 18 tahun ata belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada
di bawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. Pengampuan
merupakan keadaan di mana seorang yang sudah dewasa tetapi tidak bertindak
sesuai ketidakmampuannya, maka harus diangkat seseorang untuk mewakili dan
mengawasi orang tersebut. Keadaan tidak hadir disebut juga dengan hilang.
B.
SARAN
Demikianlah
makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat dan menambah wawasan para
pembaca. Kami mohon maaf apabila masih ada kesalahan dalam penulisan dan
penyampaian yang masih kurang jelas atau dimengerti oleh pembaca. Sekian
penutup dari kami sekian dan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Ali,
2000 Hukum Waris. Hukum Keluarga dan
Hukum Pembuktian Menurut KUHPerdata, Jakarta: Bina Aksara
Triwulan, Tutik
Titik . 2015. Hukum Perdata Dalam Sistem
Hukum Nasional, Jakarta: Kencana
Subekti. 1990. Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta:
PT Intermasa
Yulia. 2015 buku
ajar hokum perdata, Medan: CV. BiNeaEdukasi
[1]Ali
Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan
Hukum Pembuktian Menurut KUHPerdata, Jakarta: Bina Aksara, hlm. 93.
[2]
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional,
Jakarta: Kencana, hlm. 73.
[3]
Prof. R. Subekti, S.H. Hukum Keluarga dan
Hukum Waris,Jakarta:PT Intermasa,1990, hlm.18.
[4]
Dr. Yulia, SH., M.H. buku ajar hokum perdata, Medan: CV.
BiNeaEdukasi:2015, hlm. 55
[5]
http://iusyusephukum.blogspot.com/2013/06/adopsi-dalam-hukum.html
[6]
Ibid, hlm. 56
0 Komentar