Hukum Keluarga



Hukum Keluarga





MAKALAH

HUKUM KELUARGA

Mata kuliah : Hukum Perdata

Dosen Pengampu : Muhammad Shoim






logo




FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2019



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Suatu keluarga akan terbentuk setelah adanya ikatan perkawinan. Adapun perkawinan secara umum dipahami sebagai ikatan lahir batin antara sepasang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membina suatu rumah tangga yang bahagia. Sehingga dalam arti sempit, keluarga adalah sepasang suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, akan tetapi tidak mempunyai anak pun dapat digolongkan sebagai keluarga kecil.

Dengan terbentuknya sebuah keluarga, maka akan secara otomatis melahirkan sebuah hukum di dalamnya, yang dinamakan hukum keluarga. Di mana hukum ini berisi sebuah aturan-aturan yang dibebankan kepada semua anggota keluarga.

Hukum keluarga termasuk pada ranah hukum perdata, karena mengatur hubungan antara individu dengan individu lainnya, dalam hal ini anggota keluarga. Hukum keluarga sangat penting untuk dipelajari, karena secara kodrat setiap individu dilahirkan untuk meneruskan keturunan dengan cara membina sebuah keluarga.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian hukum keluarga?

2.      Bagaimana kekuasaan orang tua?

3.      Apa saja tugas wali dan sebutkan macam macam wali?

4.      Apakah yang dimaksud pengampuan dan sub-subnya?

5.      Apa pengertian adobsi dan hokum-hukumnya ?

6.      Bagaimana penjelasan tentang keadaan tidak hadir?



C.    Tujuan

Pembahasan pada makalah ini yang mana isinya membahas tentang asas-asas hukum kekeluargaan bertujuan supaya kita mengetahui bagaimana seluk beluk dari pada hukum kekeluargaan di Indonesia ini, mengaca pada kasus-kasus yang sering terjadi didalam negeri Indonesia ini, terutama pada kalangan artis di Indonesia ini, seperti kasus perceraian yang begitu marak sekali pada segala bentuk media informasi ataupun media cetak




BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Keluarga.

Istilah hukumkeluarga berasal dari terjemahan Familierecht  (Belanda) atau law of familie (Inggris). Dalam konsep Ali Afandi, hukum keluarga diartikan sebagaikeseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir)[1].

Ada dua hal penting dari konsep Ali Afandi tersebut, bahwa hukum keluarga mengatur hubungan yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan. Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dengan istri (suaminya)[2].

Adapun menurut Abdul Kadir Muhammad (2010: 69), pengertian keluarga dapat dibedakan menjadi dua.

a.       Dalam arti sempit : keluarga adalah kesatuan masyarakat kecil yang terdiri atas suami, istri dan anak yang berdiam pada suatu tempattinggal. Keluarga dalam arti sempit juga disebut keluarga inti.

b.      Dalam arti luas : keluarga yang terdiri atas suami, istri, anak, orang tua, mertua, adik dan kakak dan adik atau kakak ipar. Keluarga dalam arti luas ini dapat dijumpai dalam masyarakat indomesia. Motivasi terjadinya keluarga dalam arti luas ini bersandar atas soal ekonomi yang berprinsip seperti slogan orang jawa “makan tidak makan asalkan berkumpul dalam satu kelompok”.

Pada dasanya sumber hukum keluarga dapar dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum keluarga tertulis dan sumber hukum perdata  tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tidak tertulis merupakan norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang serta ditaati oleh sebagian besar masyarakat atau suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sedangkan sumber hukum keluarga tertulis berasal dari berbagai peraturan perundang-udangan, yurisprudensi, dan perjanjian (traktat).



B.     Kekuasaan orang tua

Kekuasaan orang tua berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari pengesahaan sia anak dan berakhirnya pada waktu anak tersebut menjadi dewasa atau kawin atau putusnya perkawinan orang tuanya. pasal 240 memuat ketentuan bahwa setelah adanya keputusan perpisahan meja dan ranjang. Hakim harus memutuskan siapa diantara orang tua harus melekukan kekuasaan orang tua terhadap anak. Di dalam hal ini bisa juga kekuasaan orang tua dilakukan si ibu. Mengenai pengertian Jadi belum dewasa perlu duperhatikan pasal-ppasal seperti berikut :

Pasal 330 : Orang yang belum dewasa adalah orang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. jka ia pernah kawin, dan ia masih belum mencapai umur 21 tahun ia tidak kembali dalam kedudukannya sebagai orang belum dewasa.



Jadi inti dari uraian di atas adalah :

1.      Belum mencapai umur 21 tahun

2.       Belum kawin.



·         Prinsip kekuasaan orang tua menurut KUH Perdata

a.      Kekuasaan orang tua hanya ada, selama pernikahan antara kedua orang tua anak tersebut berlangsung.

b.      Kekuasaan orang tua berada ditangan bapak dan ibu, tapi pelaksananya berada ditangan bapak

c.       Kekuasaa orang tua berada ditangan bapak dan ibu, selama mereka menjalankan kewajiban sebagai orang tua dengan baik (ada kemungkinan dipecat atau dibebaskan)



·         Kekuasaan orang tua meliputi pribadi dan harta anak

1.      Mengenai pribadi anak

a.       Orang tua wajib memelihara dan memberi pendidikan kepada anak yang dibawah umur.

b.      Orang tua berhak minta kepada PN agar anaknya berkelakuan buruk dimasukan dalam lembaga negara (pasala 302 jo. Pasal 304 KUHPdt)



2.      Mengenai harta anak

a.       Pengerusan harta anak di tangan orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua. Pengerusan ini mengakibatkan orang tua mewakili anak dalam setiap tindakan (anak tak cakap).

b.      Bapak atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua berhak atas nikmat hasil (vruchtgenot) dari harta anak, bila kekuasaannya dibebaskan, hak tersebut berakhir.



·         Berakhirnya kekuasaan orang tua

a.       Anak yang bersangkutan meninggal

b.      Anak yang bersangkutan telah dewasa

c.       Pernikahan kedua orang tua selasai

d.      Kedua orang tua dibebaskan

e.       Kedua orang tua dipecat

f.       Salah satu orang tua di pecat dan yang lain dibebaskan



·         Pembebasan kekuasaan orang tua

Menurut KUHPdt, orang tua dapat dibebaskan dari kekuasaanya berdasarkan alsan bahwa ia tidak cakap atau mampu melakukan kewajiban untuk memelihara dan mendidik anaknya.

·         Pemecatan kekuasaan orang tua

Pemecatan dilakukan oleh negara bila orang tua itu tidak patut (onwardig) dan tidak mau (onwilig) memenuhi kewajibannya sebagau pemelihara anak. R. Subekti (1990 : 216) menyebutkan alasan pemecatan antara lain bahwa ia menyalahgunakan kekuasaan atau sangat melalaikan kewajibanya sebagai orang tua, berkelakuan buruk atau dihukum penjara selama dua tahun atau lebih. Akibat hukum pemecatan adalah sebagai berikut :

a.       Apabila orang tua dipecat naka demi hukum kekuasaan orang tua dilaksanakan oleh orang tua yang lain, kecuali orang tua yang lain itu dipecat atau di bebaskannya juga,

b.      Apabila bapak dipecat, sedangkan ibu tetap dalam satu tempat tinggal dengan bapak, ibu dapat minta dibebaskan dari kekuasaan orang tua.

Dalam keadaan yang demikian, maka kekuasaan orang tua berakir dan hakim mengangkat wali datif, sedangkam kewajiban orang tua terhadap anaknya mengenai pendidikan dan pemeliharaanya tetap berlangsungan.

·         Kewajiban yang timbal balik untuk memelihara orang tua dan anak

a.       Anak-anak berkewajiban memelihara orang tua dan keluarga sedarah garis lurus ke atas dan sebaliknya, tetapi anak-anak tidak dapat menuntut suatu kedudukan lebih dari layak

b.      Kewajiban ini juga dibebankan kepada menantu terhadap mertua dan sebaliknya, dengan batas-batas seperti disebutkan dalam pasal 322 KUHPdt

Keadaan ini hanya berlaku ketika tidak mampu.

·         Menurut undang-undang perkawinan (uup)

Pasal 47 dapat dijumpai aturan kekuasaan orang tua yang menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum melaksanakan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuannya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. UU ini menetapkan bahwa orang tua memiliki anak tersebut mengenai perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.

Tehadap harta anak, orang tua dibatasi kekuasaanya berupa tidak diperbolehkan memindahkan hak hak atu menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki si anak, kecuali bila kepentingan anak menghendaki.



C.    Perwalian

Anak yang  belum mencapai umur 18 [delapan belas] tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua,  berada di bawah kekuasaan wali. Pewalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya [pasal 30 UU perkawinan][3].

Yang dimaksud perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di tanah kekuasaan orang tua.Jadi dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai ataun jika salah satu dari mereka atau semua meninggal dunia, berada dibawah perwalian. Terhadap anak di luar kawin, maka kaerena tidak ada kekuasaan orang tua anak itu selalu di bawah perwalian.

·         Menurut UUP

Syarat sebagai wali ditentukan dalam pasal 51 UUP, yaitu:

a.       Wali dapat ditunjuk oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal dengan suart wasiat atau lisan di hadapan dua orang saksi,

b.      Wali diambil dari keluarga anak yang bersangkutan atau orang lain yang sudah dewasa berfikir sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik,

c.       Wali wajib mengurus anak dan hartanya secara baik dan menghormati anak dan kepercayaan itu,

d.      Wali wajib membuat daftar benda anak dan mencatat semua perubahan-perubahannya,

e.       Wali bertanggung jawab atas harta anak serta kerugian karna kelalainya,

f.       Wali dilarang mengalihkan lisan menggadaikan harta anak =, kecuali kepentingan anak yang menghendaki, pelanggaran ini berakibatan kekuasaan wali dicabut (pasal 47 jo. Pasal 53 UUP)



·         Menurut KUH Perdata

1.      Macam-macam wali

a.       Perwalian menut uu (legitieme voogdij) Pasal 345 KUHPdt, antara lain:

Ø  Perwalian orang tua yang hidup terlama

Ø  Perwalian orang tua yang telah dewasa atas anak yang diakui

Ø  Perwalian kurator atas anak-anak sah dari kurandus

b.      Perwalian menurut wasiat (testamentaire voogdij), Pasal 355 KUHPdt

c.       Perwalian diangkat oleh hakim (datieve voogdij)

Pada dasarnya setiap orang wajib menerima pengangkatan jadi wali, kecuali :

Ø  Mereka yang menderita sakit ingatan

Ø  Orang-orang yang masih dibawah umur

Ø  Orang-orang yang berada dibawah pengampunan

Ø  Orang-orang yang dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian

Ø  Presiden, wakil mpresiden, anggota, sekretaris, wakil sekretaris, kasir pemegang buku dan agen BHP (kecuali diangkat menjadi wali atas anaknya sendiri) pasal 379  KUHPdt

d.      Perwalian badan hukum (gestichten voogdij) Pasal 365 KUHPdt



2.      Tugas wali

Memelihara dan mendidik anak menurut kemampuannya serta mewakili semua tindakan perdata. Apabila kelakuan anak buruk, wali dapat meminta kepada hakim agar anak itu dimasukan dalam lembaga negara. Walau tidakan anak diwakili oleh wali, tetapi ada pengecualian artinya masih dapat dilakukan anak itu sendiri, yaitu mengakui anak luar nikah, membuat surat wasiat, atau bertindak sebagai pemegang kekuasa.

3.      Kewajiban wali

1.      Memberiritahu kepada BHP, membuat catatan harta sia ank, memberi jaminan kepengurusan

2.      Menanam uang kepunya si anak, menerima warisan sia anak, memberi pertanggung jawaban kepada BHP.



4.      Perwalian berakhir

Anak telah dewasa, anak meninggal, anak luar nikah yang diakui, disahkan kembalinya kekuasaan orang tua, pemecatan atau pembebasan sebagai wali dan kematian wali



D.    Pegampuan

Pengampuan adalah keadaan orang yang telah dewasa yang disebabkan sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri atau kepentingan orang lain yang menjadi tanggungannya, sehingga pengurusan itu harus diserahkan kepada seseorang yang akan bertindak sebagai wakil menurut undang-undang dari orang yang tidak cakap tersebut. Orang yang telah dewasa yang dianggap tidak cakap tersebut disebut kurandus, sedangkan orang yang bertindak sebagai wakil dari kurandus disebut pengampu (kurator).

Orang-orang yang ditempatkan di bawah pengampuan yaitu :

1.      Orang dungu

2.      Orang hilang ingatan

3.      Orang boros

Orang-orang yang mengajukan pengampuan, ialah:

  1. Bagi orang dungu adala pihak yang merasa tidak mampu untuk mengurus kepentingannya sendiri;
  2. Bagi orang yang sakit ingatan adalah setiap anggota keluarga sedarah dan istri atau suami, dan jaksa dalam hal curandus tidak mempunyai istri atau suami ataupun keluarga sedarah di wilayah Indonesia;
  3. Bagi orang yang boros adalah setiap anggota keluarga sedarah dan sanak keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keempat dan/istri atau suaminya.

Permintaan untuk menaruh seorang di bawah pengampuan, harus diajukan kepada pengadilan negeri dengan menguraikan peristiwa- peristiwa yang menguatkan persangkaan tentang adanya alasan- alasan untuk menaruh orang di bawah pengawasan, dengan disertai bukti- bukti dan saksi-saksi yang dapat diperiksa oleh hakim. Pengadilan akan mendengar saksi-saksi, begitupun berhak anggota-anggota keluarga dari orang yang dimintakan pengampuan dan akhirnya orang tersebut akan diperiksa. Jikalau hak, menganggap perlu, ia berwenang untuk selama pemeriksaan jalan, mengangkat seorang pengawas sementara guna mengurus kepentingan orang itu.

Putusan pengadilan yang menyatakan bahwa orang itu ditaruh di bawah curatele, harus diumumkan dalam Berita Negara. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan berhak memperoleh kekuatan tetap, pengadilan negeri akan mengangkat seorang pengampu atau kurator. Terhadap seorang yang sudah kawin sebagai pengampu harus diangkat suami atau isterinya, kecuali jika ada hal-hal yang penting yang tidak mengizinkan pengangkatan itu. Dalam putusan hakim selalu ditetapkan, bahwa pengawasan atas curatele itu diserahkan pada BHP.

Kedudukan seorang yang telah ditaruh di bawah pengampuan sama seperti seorang yang belum dewasa, tidak dapat lagi melakukan perbuatan- perbuatan hukum secara sah. Akan tetapi seorang yang ditaruh di bawah pengampuan atas alasan boros, menurut undang-undang masih dapat membuat wasiat dan juga masih dapat melakukan perkawinan serta membuat perjanjian perkawinan, meskipun untuk perkawinan ini ia selalu harus mendapat izin dan bantuan kurator serta BHP. Bahwa seorang yang ditaruh di bawah pengampuan atas alasan sakit ingatan tidak dapat membuat suatu testamen dan juga tidak dapat melakukan perkawinan karena untuk perbuatan-perbuatan tersebut, diperlukan pikiran yang sehat dan kemauan yang bebas.

Pengampuan mulai berlaku sejak hari keputusan atau ketetapan pengadilan yang diucapkan. Dengan diletakkannya seseorang di bawah pengampuan, maka orang tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan orang yang belum cukup umur, dalam arti dinyatakan menjadi tidak cakap berbuat hukum dan semua perbuatan yang dilakukannya dapat dinyatakan batal. Bagi orang yang berada dibawah pengampuan karena keborosan, maka ketidakcakapannya berbuat hanya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan hukum dalam bidang harta kekayaan saja. Sedangkan untuk perbuatan-perbuatan hukum lainnya, misalnya perkawinan, itu tetap sah. Terhadap seorang yang berada di bawah pengampuan karena dungu maka ia sama dengan orang yang sakit ingatan.

Seseorang yang sakit ingatan jika melakukan perbuatan hukum sebelum ia dinyatakan di bawah pengampuan, dengan sendirinya perbuatannya dapat pula dimintakan pembatalan. Meskipun demikian masih ada perkecualiannya, yaitu jika yang bersangkutan melakukan perbuatan melanggar hukum (onrecht matige daad, maka tetap bertanggung gugat, artinya ia harus membayar ganti rugi yang ditimbulkan oleh semua kesalahannya itu.

Pengampuan akan berakhir dengan 2 (dua) macam cara, yaitu:

1.       Secara Absolut, karena orang yang berada di bawah pengampuan meninggal dunia dan adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa sebab-sebab di bawah pengampuan telah hapus.

2.      Secara Relatif, karena :

-          pengampu menanginggal dunia;

-          pengampu dipecat atau dibebastugaskan;

-          suami diangkat sebagai pengampu yang dahulunya berstatus sebagai orang yang berada dibawah pengampu(dahulu berada di bawah pengampu karena alas an-alasan tertentu)

Dengan berakhirnya pengampuan, maka berakhirnya tugas dan kewajiban pengampu. Menurut ketentuan Pasal 141 KUH Perdata bahwa berakhirnya pengampuan harus diumumkan sesuai dengan formalitas yang harus dipenuhi seperti pada waktu permulaan pengampuan. Di samping itu bahwa ketentuan- ketentuan berakhirnya perwalian seluruhnya mutatis mutandis berlaku pula berakhirnya pengampuan (Pasal 452 ayat (2) KUH Perdata). [4]

E.     Adopsi

1.      Pengaturan Mengenai Lembaga Pengangkatan Anak Dalam Sistem Hukum Indonesia

1.      Hukum Adat 

Sistem hukum Indonesia bersumber pada hukum adat. Dalam hukum adat dikenal adanya pengangkatan anak,Sebagaimana hukum adat pada umumnya di Nusantara jarang terdokumentasi secara tertulis, tetapi hidup dalam ingatan kolektif masyarakatnya. Sebagai contoh salah satu bagian dari hukum keluarga mengenai pengangkatan anak. Mengangkat anak disebut “mupu anak” (Banten Utara & Cirebon), “mulung” atau “ngukut anak” (suku Sunda umumnya) dan “mungut anak” (Jakarta). Orang tua angkat umumnya bertanggung jawab terhadap anak yang diangkatnya sedangkan orang tua kandung lepas tanggung jawabnya setelah pengangkatan itu. Cara pengangkatan pun sangat sederhana biasanya hanya keluarga yang menyerahkan dan yang mengangkat, tetapi tetangga akan segera mengetahuinya. Adapula yang dihadiri para kerabat dari kedua belah pihak. Pengangkatan yang menggunakan surat ditemukan hanya di dua tempat yaitu di Meester Cornelis (Jatinegara) yang disahkan asisten wedana dan Lengkong-Bandung yang disaksikan Kepala Desa.

Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adalah terang dan tunai. Terang ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti perbuatan hukum itu dilakukan di hadapan dan diumumkan didepan orang banyak, dengan resmi secara formal, dan telah dianggap semua orang mengetahuinya. Sedangkan kata tunai, berarti perbuatan itu akan selesai seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditarik kembali.

Dilihat dari aspek hukum, pengangkatan anak menurut adat tersebut, memiliki segi persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum barat, yaitu masuknya anak angkat kedalam keluarga orangtua yang mengangkatnya, dan terputusnya hubungan keluarga dengan keluarga atau orangtua kandung anak angkat. Perbedaannya didalam hukum dat diisyaratkannya suatu imbalan sebagai pengganti kepada orangtua kandung anak angkat -- biasanya berupa benda-benda yang dikeramatkan atau dipandang memiliki kekuatan megis.

Dilihat dari segi motivasi pengangkatan anak, dalam hukum adat lebih ditekankan pada kekhawatiran (calon orangtua angkat) akan kepunahan, maka calon orangtua angkat (keluarga yang tidak mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kekuasaan kekerabatannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang diangkat itu kemudian menduduki seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya dan ia terlepas dari golongan sanak saudaranya semula.

Islam telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi atau pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.

2.      Hukum Islam

Tabanni secara harfiah diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah anaknya.

Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang luas rezekinya, namun belum dikaruniai anak. Maka itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mampu, agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.

Hanya saja, ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam. Banyak dalil yang mendasarinya.

Jadi, Adopsi yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, tidak menjadikan anak yang diangkat mempunyai hubungan dengan orangtua angkat seperti hubungan yang terdapat dalam hubungan darah.

3.      Hukum Perdata Barat 

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) tidak ditemukan suatu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat. BW hanya mengatur tentang pengkuan anak diluar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam Buku I Bab 12 bagian ketiga BW, tepatnya pada Pasal 280 sampai 289 yang substansinya mengatur tentang pengakuan terhadap anak-anak diluar kawin.

Lembaga pengakuan anak diluar kawin, tidak sama dengan lembaga pengangkatan anak. Dilihat dari segi orang yang berkepentingan, pengakuan anak diluar kawin hanya dapat dilakukan oleh orang laki-laki saja khususnya ayah biologis dari anak yang akan diakui. Sedangkan dalam lembaga pengangkatan anak tidak terbatas pada ayah biologisnya, tetapi orang perempuan atau lelaki lain yang sama sekali tidak ada hubungan biologis dengan anak itu dapat melakukan permohonan pengangkatan anak sepanjang memenuhi persyaratan hukum.

Mengingat kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak menunjukkan angka yang meningkat, naka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad yang isinya mengatur secara khusus tentang lembaga pengangkatan anak tersebut guna melengkapi Hukum Perdata Barat (BW).

2.      Syarat pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007

Pengangkatan anak dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan adat kebiasaan artinya pengangkatan anak dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Pengangkatan anak berdasarkan peratura perundang-undangan mencakup pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dilakukan melalui penetapan pengadilan. 

Berdasarkan Pasal 12 PP No. 54 Tahun 2007, syarat-syarat pengangkatan anak meliputi:

1.      Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:

a.       belum berusia 18 (delapan belas) tahun;

b.      merupakan anak terlantar atau ditelantarkan

c.       berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan

d.      memerlukan perlindungan khusus.

2.       Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

a.       anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;

b.      anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun,sepanjang ada alasan mendesak; dan

c.       anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapanbelas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.

d.      Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:

e.       sehat jasmani dan rohani;

f.       berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;

g.      beragama sama dengan agama calon anak angkat;

h.      berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;

i.        berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;

j.        tidak merupakan pasangan sejenis;

k.      tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;

l.        dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;

m.    memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;

n.      membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

o.      adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;

p.      telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan

q.      memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.[5]



F.     Ketidakhadiran/ Orang yang Hilang

Ketidakhadiran adalah ketidak beradaan seseorang ditempat atau seseorang meninggalkan tempat dengan tidak memberikan kuasa pada seseorang untuk mengurus kepentingan-kepentingan harus diurus. Ada 3 (tiga) keadaan tidak hadir seseorang, yaitu :

1.      Pengambilan tindakan sementara, di mana jika ada alasan-alasan yang mendesak untuk mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya. Tindakan sementara ini dimintakan kepada Pengadilan Negeri oleh orang yang mempunyai kepentingan terhadap harta kekayaannya. Misalnya istrinya, para kreditur, sesama pemegang saham dan lain- lain, juga jaksa dapat memohon tindakan sementara tersebut. Dalam tindakan sementara ini hakim memerintahkan Balai Harta Peninggalan (BPH) untuk mengurus seluruh harta kekyaan serta kepentingan dari orang tak hadir.

2.      Kemungkinan sudah meninggal. Seseorang dapat diputuskan sudah meninggal jika:

a)      Tidak hadir 5 tahun, bila tidak meninggalkan surat kuasa (Pasal 467 KUH Perdata), dimulai pada hari ia pergi tidak ada kabar yang diterima dari orang tersebut atau sejak kabar terakhir diterima.

b)      Tidak hadir 10 tahun, bila surat kuasa ada tetapi sudah habis berlakunya (Pasal 470 KUH Perdata), dimulai pada hari ia pergi tidak ada kabar yang diterima dari orang tersebut atau sejak kabar terakhir diterima.

c)      Tidak hadir 1 tahun, bila orangnya termasuk awak atau penumpang kapal laut atau pesawat udara (Stbl. 1922 No. 455), dimulai sejak adanya kabar terakhir dan jika tidak ada kabar sejak hari berangkatnya.

d)     Tidak hadir 1 tahun, jika orangnya hilang pada suatu peristiwa fatal yang menimpa sebuah kapal laut atau pesawat udara (Stbl. 1922 No. 455), diperistiwa.

e)      Dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975, dikatakan bahwa apabila salah satu pihak meninggalkannya 2 tahun berturut-turut, pihak yang ditinggalkan boleh mengajukan perceraian.

3.      Masa pewarisan definitif. Masa ini terjadi apabila lewat 30 tahun sejak tanggal tentang “mungkin sudah meninggal” atas keputusan hakim, atau setelah lewat 100 tahun setelah lahirnya si tak hadir. Akibat-akibat permulaan masa pewarisan definitif adalah

a.       Semua jaminan dibebaskan

b.      Para ahli waris dapat mempertahankan pembagian harta warisan sebagaimana telah dilakukan atau membuat pemisahan dan pembagian definitif.

c.       Hak menerima warisan secara terbatas berhenti dan para ahli waris dapat diwajibkan menerima warisan atau menolaknya.

Seandainya orang yang tidak hadir kembali setelah masa pewarisan definitif, ia ada hak untuk meminta kembali hartanya dalam keadaan sebagaimana adanya berikut harga dari harta yang tidak dipindatangankan, semuanya tanpa hasil dan pendapatannya (Pasal 486 KUH Perdata).

Ketidakhadiran sesorang untuk mgurus kepentingannya, maka atas permintaan orang yang berkepentingan ataupun atas permintaan jaksa, hakim untuk sementara dapat memerintahkan BHP untuk mengurus kepentingan- kepentingan orang yang bepergian tersebut. Jika kekayaan orang tersebut tidak begitu besar maka dapat diserahkan pada anggota keluarga yang ditunjuk oleh hakim.

Adapun kewajiban BHP, yaitu:

a.       Membuat pencatatan harta yang diurusnya

b.      Membuat daftar pencatatan harta, surat-surat lain uang kontan, kertas berharga dibawa ke kantor BHP

c.       Memperhatikan segala ketentuan untuk sesorang wali mengenai pengurusan harta seorang anak (Pasal 464 KUH Perdata)

d.      Tiap tahun memberi pertanggung jawaban pada jaksa dengan memperlihatkan surat-surat pengurusan dan efek-efek (Pasal 465 KUH Perdata)

BHP berhak atas upah yang besarnya sama dengan seorang wali dalam mngurus kepentingan orang yang tidak hadir (Pasal 411 KUH Perdata). [6]






BAB III

PENUTUP

A.    SIMPULAN

Dari bahasan diatas dapat diketahui bahwa keluarga dalam arti sempit adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri atas suami, istri, dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal, disebut juga keluarga inti. Dalam arti luas keluarga terdiri atas suami, istri, anak, orang tua, mertua, adik atau kakak, dan adik atau kakak ipar

Kekuasaan orang tua berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari pengesahan si anak dan berakhirnya pada waktu anak tersebut menjadi dewasa atau kawin atau putusnya perkawinan orang tuanya. Anak yang belum mencapai 18 tahun ata belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. Pengampuan merupakan keadaan di mana seorang yang sudah dewasa tetapi tidak bertindak sesuai ketidakmampuannya, maka harus diangkat seseorang untuk mewakili dan mengawasi orang tersebut. Keadaan tidak hadir disebut juga dengan hilang.



B.     SARAN

Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat dan menambah wawasan para pembaca. Kami mohon maaf apabila masih ada kesalahan dalam penulisan dan penyampaian yang masih kurang jelas atau dimengerti oleh pembaca. Sekian penutup dari kami sekian dan terimakasih.




DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Ali, 2000 Hukum Waris. Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian Menurut KUHPerdata, Jakarta: Bina Aksara

Triwulan, Tutik Titik . 2015. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana

Subekti. 1990. Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta: PT Intermasa

Yulia. 2015 buku ajar hokum perdata, Medan: CV. BiNeaEdukasi




[1]Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian Menurut KUHPerdata, Jakarta: Bina Aksara, hlm. 93.
[2]  Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, hlm. 73.
[3] Prof. R. Subekti, S.H. Hukum Keluarga dan Hukum Waris,Jakarta:PT Intermasa,1990, hlm.18.
[4] Dr. Yulia, SH., M.H. buku ajar hokum perdata, Medan: CV. BiNeaEdukasi:2015, hlm. 55
[5] http://iusyusephukum.blogspot.com/2013/06/adopsi-dalam-hukum.html
[6] Ibid, hlm. 56

Posting Komentar

0 Komentar