Hukum Perkawinan
HUKUM PERKAWINAN
Mata kuliah :
Hukum Perdata
Dosen Pengampu
: Muhammad Shoim
logo
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2019
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu peristiwa dalam kehidupan seseorang yang
memengaruhi status hukum orang yang bersangkutan. Menurut R.Subekti,
“perkawinan” ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama.
Scholten dalam S.Prawirohardjoj mendefinisikan perkawinan adalah suatu
hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama
dengan kekal,yang diakui oleh negara.[1]
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar
pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata
dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya
intim dan seksual. Perkawinan umumnnya dimulai dan diresmikan dengan upacara
pernikahan.umunya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Tergantung budaya setempat bentuk perkawinan bisa berbeda-beda dan tujuannya
bisa berbeda-beda juga. Tapi umumnya perkawinan itu eksklusif dan mengenal
konsep perselingkuhan sebagai pelanggaran terhadap perkawinan.perkawinan
umumnya dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga. Umunya perkawinan
harus diresmikan dengan pernikahan[2]. Untuk itu dalam makalah
ini akan dibahas tentang apa saja yang menyangkut dengan hukum perkawinan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
arti, syarat, pencegahan dan pembatalan perkawinan?
2.
Apa
hak dan kewajiban suami-istri dan anak?
3.
Apa
perjanjian perkawinan?
4.
Apa
akibat perkawinan terhadap harta kekayaan?
5.
Apa
sebab putusnya perkawinan dan akibat hukumnya?
C.
Tujuan
1.
Untuk
memenuhi tugas kelompok hukum perdata
2.
Untuk
mengetahui arti, syarat, pencegahan dan pembatalan perkawinan
3.
Untuk
mengetahui hak dan kewajiban suami-istri
dan anak
4.
Untuk
mengetahui tentang perjanjian perkawinan
5.
Untuk
mengetahui apa saja akibat perkawinan terhadap harta kekayaan
6.
Unntuk
mengetahui apa saja sebab putusnya perkawinan dan akibat hukumnya
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Arti, Syarat, Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
1.
Arti
Perkawinan
Perkawinan
dalam bahasa Inggris disebut marriage, dalam bahasa Belanda, yaitu huwelijk,bahasa
Jermana yaitu heirat, sedangkan bahasa Rusia disebut dengan epak
telah dirumuskan dalam Pasal 12 ayat 1 The Family Code of the Russian
Federation Nomor 223 Tahun 1995, yang berbunyi:
“to enter
into a marriage, the voluntary consent of the man and of the woman entering
into it, and their reaching the marriageable age, shall be necessary”
Dalam kontruksi
ini, perkawinan dikonsepkan sebagai kesepakatan sukarela. Kesepakatan itu
dibuat epakatan itu dibuat kesepakatan itu dibuat antara laki-laki dan
perempuan untuk memasuklaki-laki dan perempuan untuk memasuki perkawinan dan
untuk mencapai maksud, dan mereka harus cukup umur.[3]
2.
Syarat
Perkawinan
Syarat sahnya suatu perkawinan dinyatakan secara tegas dalam pasal
2 ayat (1) UUP yaitu, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agana dankum masing-masing agana dan kepercayaanya itu.”
Berdasarkan penyataan tersebut, maka dapat dikatakan tidak ada suatu perkawinan
yang sah tanpa didahului dengan pelaksanaan perkawinan berdasarkan agama
mereka. Sebagai tindak lanjut dari
sahnya perkawinan berdasarkan agama, undang-undang menghendaki keabsahan itu
dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, berdasarkan syarat
materiil umum dan syarat materiil khusus.
3.
Pencegahan
dan Pembatalan Perkawinan
a.
Pencegahan
Perkawinan
Lembaga ini merupakan upayabuntuk menghalangi suatu perkawinan yang
akan dilangsungkan oleh calon suami istri yang tidak memenui syarat untuk
kawin. Waktu untuk melangsunngkan pencegahan, yaitu 10 hari sejak pengumuman
dilakukan. Hak untuk mencegah hanya diberikan kepada orang-orang yang
disebutkan dalam undang-undang Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu:
1)
Para
keluarga garis keturunan ke atas dan ke bawah
2)
Saudara
3)
Wali
nikah
4)
Pengampu
5)
Pihak-pihak
yang berkepentingan
Cara melakukan pencegahan perkawinan diatur dalam Pasal 17
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berikut.
1)
Orang
yang berhak melakukan pencegahan mengajukan permohonan pencegahan ke pengadilan
wilayah hukum akan dilangsungkan perkawinan.
2)
Orang
yang berhak tersebut juga harus memberitahukan kepada pegawai pencatatan nikah
dan pegawai inilah yang memberitahukan kepada calon suami istri.
3)
Hakim
yang menerima permohonan itu bisa menolak atau menerima.
b.
Pembatalan
Perkawinan
Pembatalan perkawinan adalah suatu upaya untuk membatalkan
perkawinan yang tidak memenuhi syarat untuk melagsungkan perkawinan. Perkawinan
yang dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan bilamana perkawinan itu dilangsungkan
tidak di muka pegawai pencatatan perkawinan atau tanpa wali nikah yang sah atau
tanpa dihadiri dua orang saksi.
Hak untuk membatalkan yang diberikan kepada suami atau istri
berdasarkan alasan tersebut gugur, bila mereka telah hidup bersama sebagai
suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai
pencatatan pekwinan yang tidak berwenang dan perkawinan haus diperbarui supaya
sah yang termuat dalam Pasal 26 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Orang-orang yang oleh undang-undang diberi hak untuk melakukan
pembatalan perkawinan ialah:
1)
Para
keluarga garis lurus keatas dari pihak suami atau istri
2)
Suami
atau istri
3)
Pejabat
yang berwenang
4)
Pihak
yang berkepentingan
Perkawinan
batal adalah suatu perkawinan yang dari sejak semula dianggap tidak ada, bila:
1)
Suami
kawin lagi,padahal telah mempunyai empat orang istri
2)
Suami
menikahi bekas istrinya yang telah dili’an, suami menikahi istrinya yang
pernah ia jatuhi tiga kali talak.
3)
Perkawinan
yang dilakukan antara dua orang yang ada hubungan darah semenda, susuan, dan
lain-lain.
Perkawinan yang
dapat di batalakan adalah suatu perkawinan yang telah berlangsung,, tetapi
salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan, bila:
1)
Suami
berpoligami tanpa izin pengadilan
2)
Perempuan
yang dikawini masih dalam masa iddah
3)
Perkawinan
melanggar batas usia
4)
Perempuan
yang dikawini masih terikat dengan perkawinan lain
5)
Perkawinan
tanpa wali atau wali tidak sah
6)
Perkawinan
yang dilakukan secara paksa
Suami
atau istr dapat mengajukan pembatalan perkawinan bila:
1)
Perkawinan
dilangsungkan di bawah ancaman
2)
Perkawinan
dilangsungkan karena penipuan
Apabila ancaman
telah berhenti atau pihak yang salah sangka menyadari keadaanya dan dalam waktu 6 bulan setelah itu
masih tetap hidup sebagai suami istri da tidak melakukan pembatalan, maka
haknya gugur. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap, dan berlaku sejak berlngsungnya perkawianan.
Batalnya perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan
orang tuanya. [4]
B.
Hak dan Kewajiban Suami, Istri dan Anak
1.
Hak
dan Kewajiban Suami-Istri
Hak dan
kewajiban antara suami-istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena adanya
perkawinan antara mereka. Hak dan kewajiban suami-istri diatur dalam pasal 30
sampai dengan pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Adapun mengenai
hak dan kewajiban suami istri dapat kita lihat dalam pasal 30 UU Perkawinan No.
1 tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut: “ suami-istri memiikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.”
Dengan adanya
perkawinan suami istri itu di letakkan suatu kewajiban secara timbal balik,
dimana laki-laki sebagai suami memperoleh hak-hak tertentu beserta dengan
kewajibanya, begitu sebaliknya perempuan sebagai istri memperoleh hak-hak
tertentu beserta dengan kewajibanya.
Suami adalah
kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga, suami istri mempunyai hak
dan kewajiban yang sama dalam beberapa hal, hanya kelebihan suami atas istri
adalah hak untuk memimpin dan mengatur keluarga. Karena suami adalah kepala
rumah tangga, maka ia bertanggung jawab terhadap keselamatan keluarganya dan
kesejahteraan dari pada rumah tanggga. Oleh karena itu, istri harus patuh
kepada suami, mencintai suami dengan sepenuh jiwa, istri wajib mengakui bahwa
suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya oleh sebab itu istri harus
menghormatinya, didalam istri mematuhi suami haruslah berdasarkan tujuan dan
cara yang baik.
Adapun
kewajiban-kewajiban suami istri terdapat dalam pasal 34 Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menentukan:
(1)
Suami
wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan berumah
tangga sesuai dengan kemampuanya.
(2)
Istri
wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.
(3)
Jika
suami atau istri melalaikan kewajibanya masing-masing dapat menngajukan gugatan
kepada pengadilan.[5]
2.
Hak
dan Kewajiban Orang Tua dan Anak
Hak dan
kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalamm pasal 298 samapai dengan
307 KUHP. Selain itu, hak dan kewajiban antra orang tua dengan anak telah
diatur secara rinci didalam pasal 45 sampai dengan pasal 49 UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan. Hak dan kewajiban antara orang tus dengan anak, antara
lain:
a.
Orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-bainya. Kewajiban
orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.
b.
Anak
wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.[6]
c.
Anak
wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua.
d.
Anak
yang belum dewasa, belum pernah melangsunngkan perkawinan, ada dibawah
kekuasaan orang tua.
e.
Orang
tua mewakili anak di bawah dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar pengadilan.
f.
Orang
tua tidak di perbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap
yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak menghendakinya.[7]
C.
Perjanjian Perkawinan
Perjanjian kawin dibuat sebelum perkawinan dan berakibat setelah
perkawinan. Perjanjian kawin setelah perkawinan tidak dapat diubah degan cara
apapun. Anak yang belum dewasa tetapi memenuhi syarat untuk kawin dapat pula
membuat perjanjian kawin jika perkawinan dilakukan dengan izin kawin,
permintaan izin itulah haruslah dilengkapi dengan rencana perjanjian kawin.
Larangan dalam perjanjian kawin atara lain:
1.
Menghapuskan
kekuasaan suami sebagai kepala dalam perkawinan atau kekuasaanya sebagai ayah.
2.
Suami
akan memikul suatu bagian yang lebih besar dalam aktiva daripada bagianya denga
pasiva, maksud larangan ini adalah jangan sampai istri itu menguntungkan diri
untuk kerugian pihak ketiga.
3.
Hubungan
suami istri akan dikuasai oleh hukum negara asing.
Macam-macam
perjanjian kawin yang umum dikenal KUHP perdata, yakni sebagai berikut:
1.
Perjanjian
campuran untung rugi
2.
Perkawinan
percampuran penghasilan
Menurut UU No.1
Thun 1974, perjanjian kawin diatur daam pasal 29 dan anak kalimat ayat 2 pasal
35. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatatn perkawinan. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bila
melanggar hukum agama dan kesusilaan. Selama perkawinan, perjanjian tida dapat
di ubah, kecualii kedua pihak setuju untuk mengubahnya dan perubahan itu tidak
boleh merugikan pihak ketiga.
D.
Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan
Mengenai akibat perjanjian perkawinan yang berkenaan dengan harta kekayaan
terdapat perbedaan prinsipil antara ketentuan yang diatur dalam kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perkawinan. Dalam KUHP ditentukan
apabila tidak diadakan perjanjian, sejak perkawinan berlangsung “terjadi
penyatuan harta kekayaan” suami dan istri. Sebaliknya dalam Undang-Undang
perkawinan ditentukan apabila tidak diadakan perjanjian perkawinan, sejak
perkawinan dilangsungkan “harta kekayaan suami dan harta kekayaan istri tetap
dikuasai oleh masing-masing pihak.” Itu terdapat pada pasal 35 ayat 2
Undang-Undang Perkawinan.
Akibat hukum yang ditimbulkan oleh persatuan harta kekayaan
perkawinan adalah perbuatan hukum atas persatuan hanya sah apabila dilakukan
bersama-sama oleh suami dan istri, karena pemilik benda adalah kedua orang suami
istri secara bersama-sama. Misalnya suami dalam suatu perkawinan tanpa
perjanjian kawin membawa sebidang tanah yang sebelum perkawinan diselenggarakan
tanah tersebut telah disertifikatkan atas namaya.
1.
Menurut
KUHP
Jika sebelum
perkawina dilangsungkan calon suami istri tidak membuat perjanjian kawin atau
tentang pembatasan atau peniadaan persatuan harta kekayaan perkawinan, maka
dalam perkawinan tersebut terjadi persatuan bulat harta kekayaan perkawinan
yang terdapat dalam pasal 19 KUHP. Menurut pasal 120-121 KUHP, persatuan bulat
meliputi:
a.
Benda
bergerak dan benda tidak bergerak baik yang dimiliki sekarang maupun kemudian
hari
b.
Hasil,
penghasilan dan keuntungan yang diperoleh selama perkawinan.
c.
Utang-utang
suami atau istri sebelum dan sesudah perkawinan.
d.
Kerugian-kerugian
yang dialami selam perkawinan.
2.
Menurut
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 35-37
Undang-Undang perkawinan mengatur tentang harta kekayaan dalam perkawinan.
Menurut ketentuan pasal tersebut, harta kekayaan dalam perkawinan dibedakan
menjadi 2 macam, yaitu harta bersama yang diperoleh suami dan istri selama
dalam ikatan perkawinan dan harta bawaan yang dibawa oleh masing-masing suami
dan istri ketika terjadi perkawinan.[8]
E.
Putusnya Perkawinan dan Akibat Hukumnya
Putusnya
perkawinan diatur dalam pasal 199 KUHP dan pasal 38-41 UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan. Putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang
telah dibina oleh pasangan suami istri, yang disebabkan oleh beberapa hal,
seperti kematian, perceraian dan putusan pengadilan.
Didalam pasal
199 KUHP, putusnya atau bubarnya perkawinan dibedakan dibedakan menjadi empat
macam, yaitu:
a.
Kematian
salah satu pihak
b.
Tidak
hadirnya suami istri selama 10 tahun dan diikuti perkawinan baru
c.
Adanya
putusan hakim
d.
Perceraian.
Sementara itu
dalam pasal 38 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, putusnya
perkawinan diedakan menjadi tiga macam, yang meliputi:
a.
Kematian
b.
Perceraian
c.
Keputusan
pengadilan
Putusnya
perkawinan karena perceraian terjadi karena dua hal, yaitu talak atau
berdasarkan gugatan perceraian.
Talak adalah
ikrar suami dihadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan. Gugatan perceraian adalah perceraian yang disebabkan adanya gugatan
lebih dahulu oleh salah satu pihak, khususnya istri ke pengadilan. Talak dibagi
menjadi lima macam, yaitu:
a.
Talak
Raj’i, yaitu talak pertama atau kedua, dimana suami berhak rujuk selam istri
dalam masa iddah
b.
Talak
Bain Sughraa, adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru
dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah
c.
Talak
Bain Kubraa, adalah talak yang terjadi untuk yang kedua kaliya. Talak ini tidak
dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan lagi, kecuali pernikahan itu dilakukan
setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian
ba’dal al dhukhul dan habis masa iddahnya
d.
Talak
Suny adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri
yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci itu
e.
Talak
Bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri
dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
Sementara itu,
yang dapat dijadikan alasan-alasan oleh suami atau istri untuk menjatuhkan
talak atau ugatan perceraian ke pengadilan, yang meliputi:
a.
Salah
satu berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebaginya
yang sukar disembuhkan.
b.
Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.
c.
Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang berat setelah
perkawinan berlangsung.
d.
Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain.
e.
Salah
satu piihak mendapat cact badan atau penyakit dengan aibat tidak menjalankan
kewajibanya sebagai suami istri.
f.
Antara
suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga.
g.
Suami
melanggar ta’lik ta’lak.
h.
Peralihan
agama atau murtad yang menyebabkan
ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Apabila salah
satu alasan terebut terpenuhi, maka dianggap cukup oleh hakim atau pengadilan
untuk mengabulkan permohonan talak atau gugatan cerai dari pihak suami istri.[9]
Putusnya
perkawinan karena kematian adalah berakhirnya perkawinan yang di sebabkan salah
satu pihak, yaitu suami atau istri meninggal dunia. Perkawinan putus karena
kematian sering disebut masyarakat dengan istilah “ cerai mati”. Jenis putusnya
perkawinan karena perkawinan ini tidak dibahas lebih lanjut karena akibatnya
timbul pewarisan dan hukum waris dibahas kesempatan yang lain.
Jika salah satu
pihak baik suami atau istri meninggal dunia dengan sendirinya perkawinan itu
terputus, pihak yang masih hidup diperbolehkan kawin lagi, apabila segala
persyaratan yang telah ditentukan oleh ketentuan yang berlaku dipenuhi
sebagaimana mestinya. UUPK tidak menyebutkan berapa lama jangka waktu untuk
menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalkan seseorang itu, melihat KUHPerdata
pasal 493 ada dinyatakan bahwa apabila selain terjadinya meninggalkan tempat
tinggal dengan sengaja, seorang diantara suami istri selam genap sepuluh tahun
tidak hadir di tempat tinggalnya, sedangkan kabar tentang hidup atau matinya
pun tidak pernah diperolehnya maka istri atau suami yang ditinggalkannya atas
izin dari pengadilan negeri tempat tinngal suami istri bersama berhak memanggil
pihak yang tidak hadir tadi dengan tiga kali panggilan umum berturut-turut
dengan cara seperti yang diatur dalam pasal 467 dan 468.
Dengan putusnya
perkawinan karena kematian maka terbukanya hak mewarisi antara suami dan istri,
suami memperoleh bagian dari harta warisan istrinya, tidak mungkin terhalang
oeh siapapun dan tidak pernh menghalangi ahli waris lain, akan tetapi bagian
suami bisa berbeda antara ada anak dari istri atau tidak ada anak. Jika
istrinya mempunyai anak maka suami mendapat bagian warisan ¼ dan bila istrinya
tidak mempunyai anak maka suami mendapat ½ dari harta warisan. Sedangkan istri
tidak pernah terhalang menndapat harta warisan dan tidak pernah menghalangi
orang lain untuk mendapat harta warisan akan tetapi bagian warisan istri bisa
berkurang menjadi 1/8 karena ada anak dari suami dan jika tidak ada anak dari
suaminya, maka istri mendapat ¼ . Apabila perkawian putus karena kematian pasal
39 (a) PP perkawian ketetapan ini berlaku bagi istri yang ditinngal mati
suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain halnya bial istri yang ditinggal dalam
keadaan hamil waktu tunggunya adalah sampai melahirkan.
Putusnya
perkawinan akibat Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim
atau tuntutan dari salah satu pihak dalam perkawinan. Tata cara mengajjukan
gugatan cerai beserta alasannya diatur dalam PP No.9 Tahun 1975 tentang
peraturan pelaksanaan undng-undang perkawinan.
Putusnya
perkawinan atas keputusan pengadilan adalah berakhirnya perkawinan yang
didasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Putusnya perkawinan atas keputusan pengadilan juga bisa terjadi karena adanya
permohonan dari salah satu pihak suami atau istri atau para anggota keluarga.
Putusan pengadilan sangat penting karena hakim sesuai dengan kewenangan
memiliki apa yang dikonsepsikan sebagai rule
of recognition yaitu kaidah yang menetapkan kaidah perilaku mana yang
didalam masyarakat hukum tertentu harus dipatuhi.
Putusan
pengadilan menurut UUPK adalah sumber hukum terpenting setelah peraturan
perundang-undangan, dalam hal ini UUPK dan peraturran pelaksanaannya yang
memuat ketentuan imperatif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan keedua belah pihak, ini berarti bahwa tidak ada perceraian
jika tidak ada putusan pengadilan. Sebaliknya tidak ada putusan pengadilan jika
tidak ada perkara perceraian.
Akibat hukum
dari perceraian terhadap kedudukan, hak, dan kewajiban mantan suami atau istri
yang diatur dalam hukum islam,telah dipositivisasi dalam KHI, khususnya pasal
149 yang memuat ketentuan imperatif bahwa apabila perkawinan putus karna talak
maka bekas suami wajib melakukan hal berikut:
1.
Memberikan
mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali
bekas istri tersebut qobla aldukhul.
2.
Melunasi
nafkah, mas kawin dan kiswah kepada bekas istri selama iddah kecuali bekas
istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil
3.
Melunasi
mahar yang msih terutang seluruh, dan separuhnya apabila qobla aldukhul.
4.
Memberikan
hadhanah untuuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Perkawinan merupakan suatu peristiwa dalam kehidupan seseorang yang
memengaruhi status hukum orang yang bersangkuta, perkawinan
adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk
hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat
yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual, dengan
putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak mewarisi antara suami
dan istri, suami memperoleh bagian dari harta warisan istrinya, tidak mungkin
terhalang oeh siapapun dan tidak pernh menghalangi ahli waris lain, akan tetapi
bagian suami bisa berbeda antara ada anak dari istri atau tidak ada anak.
Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga,
suami istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam beberapa hal, hanya
kelebihan suami atas istri adalah hak untuk memimpin dan mengatur keluarga.
B.
SARAN
Penulis
menyadari bahwa makalah yang kami buat banyak sekali kesalahan, baik dalam
penulisan maupun dari pembahasan materi dan sangat jauh dari kata sempurna,
maka dari itu penulis mengharap ktitik dan saranya kepada pembaca supaya
menjadi lebih baik lagi dalam pembuatan makalah kedepanya.
DAFTAR PUSTAKA
HS,Salim,dkk.2014.
perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Setiawan, I
ketut Oka. Hukum Perorangan dan Kebendaan. Jakarta Timur: Sinar Grafika
Tim Visi
Yustisia. KUH Perdata. Jakarta Selatan: 2015
Mamahit,Laurensius,
“ Hak dan Kewajiban Suami Istri Akibat Perkawinan Campuran Ditinjau Dari
Hukum Positif Indonesia”, (Vol.I, No.1, Januari-Maret/2013)
[1]
I Ketut Oka
Setiawan, hukum perorangan dan kebendaan, (Jakarta Timur: Sinar Grafika,
2016) hlm. 42
[5]
Laurensius
Mamahit, “ Hak dan Kewajiban Suami Istri Akibat Perkawinan Campuran Ditinjau
Dari Hukum Positif Indonesia”, (Vol.I, No.1, Januari-Maret/2013), hlm.19
[6]
Pasal 307 dan 309 KUHP
[10]
“Tinjauan Umum
Tentang Putusnya Perkawinan”, https://repository.usu.ac.id, diakses pada
18 Maret 2019
0 Komentar