HUKUM PERORANGAN / PRIBADI
MAKALAH
Mata kuliah : Hukum Perdata
Dosen Pengampu : Muhammad Shoim
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Istilah hukum [tentang] orang berasal dari
terjemahan kata Personenrecht (Belanda) atau Personal Law
(Inggris). Pengertian hukum orang menurut Subekti, adalah peraturan tentang
manusia sebagai subjek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk
memiliki hak dan kewajiban untuk bertindak sendiri, melaksanakan hak-haknya itu
serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan itu. Pengertian ini merujuk hukum
orang dari aspek ruang lingkupnya, yang meliputi subjek hukum, kecakapan hukum,
dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Tetapi apabila dikaji secara mendalam
definisi tersebut kurang lengkap karena dalam hukum orang diatur juga tentang
domisili dan catatan sipil. Sementara menurut Algra, yang diartikan hukum orang
(Personenrecht) adalah keseluruhan peraturan hukum mengenai keadaan [hoedanigheden]
dan wewenang [bevoegdhehen] seseorang. Adapun Salim H.S., mendefinisikan
hukum orang sebagai keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang
subjek hukum dan wewenangnya, kecakapannya, domisili, dan catatan sipil. Dalam
definisi ini terkandung dua cakupan yaitu wewenang subjek hukum dan ruang
lingkup pengaturan hukum orang. Wewenang hakikatnya merupakan hak dan kekuasaan
dari seseorang untuk melakukan perbuatan hukum. Wewenang seseorang dalam hukum
dapat diklasifikasi menjadi dua macam, yaitu (1) Wewenang untuk mempunyai hak [rechtbevoegdheid],
dan (2) Wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Subjek Hukum?
2. Bagaimanakah kewenangan berhak dan kecakapan
berbuat seseorang?
3. Apa akibat dari ketidakcakapan seseorang?
4. Apa pengertian dan pentingnya domisili?
5. Apa pengertian catatan sipil dan apa kegunaan
akta yang dibuat dari catatan sipil?
6. Bagaimana cara mendapatkan kewarganegaraan?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan bagaimana pengertin subjek
hukum
2. Untuk menjelaskan kewenangan berhak dan
kecakapan berbuat seseorang
3. Untuk memberitahukan akibat dari
ketidakcakapan
4. Untuk memberitahukan pengertian dan pentingnya
domisili
5. Untuk menjelaskan pengertian catatan sipil dan
kegunaan akta
6. Untuk memberitahukan bagaimana cara mendapatkan
kewarganegaraan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Subjek Hukum
Istilah subjek hukum berasal dari
terjemahan bahasa Belanda rechtsubject atau law of subject (Inggris). Secara
umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, yaitu manusia
dan badan hukum.
Menurut Chaidir Ali, menyatakan
bahwa subjek hukum adalah manusia yang berkepribadian hukum, dan segala sesuatu
yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu oleh hukum diakui
sebagai pendukung hak dan kewajiban. [2]
Menurut Algra, menyatakan subjek
hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban, jadi mempunyai
wewenang hukum [rechtsbrvoegheid].
Subjek hukum memiliki kedudukan dan
peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan
karena subjek hukum tersebut yang dapat mempunyai wewenang hukum.
Menurut ketentuan hukum, dikenal dua
macam subjek hukum, yaitu manusia dan badan hukum :
1) Konsepsi Manusia sebagai Subjek Hukum
Manusia dalam eksistensinya dapat dipandang dalam dua
pengertian, (1) Manusia sebagai makhluk biologis, yang artinya ialah gejala
dalam alam, gejala biologikal, yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindra
dan mempunyai budaya. Dan (2) Manusia sebagai makhluk yuridis, adalah gejala
dalam hidup masyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang
atau persoon.
Menurut Chaidir Ali, mengartikan manusia adalah makhluk
yang berwujud dan rohani, yang berpikir dan berasa, yang berbuat dan menilai,
berpengetahuan dan berwatak, sehingga menempatkan dirinya berbeda dengan
makhluk lainnya.[3]
Menurut hukum modern, seperti hukum yang berlaku sekarang
di Indonesia, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi. Artinya diakui
sebagai orang atau persoon. Karena itu setiap manusia diakui sebagai subjek
hukum (rechtspersoonlijkheid), yaitu pendukung hak dan kewajiban.
Manusia sebagai rechtspersoonlijkheid dimulai sejak lahir
dan baru berakhir apabila mati atau meninggal dunia. Pengecualian mulainya
subjek hukum dalam BW disebutkan dalam Pasal 2 yang menentukan sebagai berikut
:
(1) “Anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak
menghendakinya”
(2) “Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak
pernah ada”[4]
Ketentuan yang termuat dalam Pasal 2 BW diatas ini sering
disebut “rechtsfictie”.
2) Badan Hukum
Badan hukum adalah orang (badan-badan atau
perkumpulan-perkumpulan) yang ditetapkan oleh hukum merupakan subjek di dalam
hukum, yang berarti pula dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana
halnya dengan manusia (memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas
hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka
hakim). Dengan demikian badan hukum singkatnya diperlukan sepenuhnya sebagai
layaknya seorang manusia.
Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki
kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan
pengurusnya, dapat digugat dan menggugat dimuka hukum. Sebagaimana halnya
subjek hukum manusia, badan hukum ini pun dapat mempunyai hak dan
kewajiban-kewajiban, serta dapat pula mengadakan hubungan-hubungan hukum
(rechtsbetrekking/rechtsverhouding), baik antara badan hukum yang satu dengan
badan hukum yang lain, maupun antara badan hukum dengan orang
(natuurlijkpersoon). Karena itu badan hukum dapat mengadakan
perjanjian-perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, dan segala macam
perbuatan di lapangan harta kekayaan.
Badan-badan atau perkumpulan tersebut dinamakan badan
hukum (rechtspersoon), yang berarti orang yang diciptakan oleh hukum. Hal ini
berarti pula bahwa badan hukum adalah orang (badan-badan atau
perkumpulan-perkumpulan) yang ditetapkan oleh hukum merupakan subjek di dalam
hukum, yang berarti pula dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana
halnya dengan manusia (memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum
dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hakim).
Dengan demikian badan hukum tersebut singkatnya diperlakukan sepenuhnya sebagai
layaknya seorang manusia.[5]
Denagn demikian “badan hukum” ini adalah pendukung hak dan
kewajiban yang tidak berjiwa, sebagai lawan pendukung hak dan kewajiban yang
berjiwa yakni manusia. Dan sebagai subjek hukum yang tidak berjiwa maka, badan
hukum tidak dapat dan tidak mungkin berecimpung dilapangan keluarga seperti
mengadakan perkawinan, melahirkan anak, dsb.
Adanya badan hukum disamping manusia, adalah suatu
realitas yang timbul sebagai suatu kebutuhan hukum dalam pergaulan di
tengah-tengah masyarakat. Sebab, manusia selain mempunyai kepentingan
perseorangan (individu) juga mempunyai kepentingan bersama dan tujuan bersama
yang harus diperjuangkan bersama pula. Karena itu mereka berkumpul
mempersatukan diri dengan membentuk suatu organisasi dan memilih pengurusnya
untuk mewakili mereka. Mereka juga memasukkan harta-kekayaan mereka menjadi
milik bersama, dan menetapkan peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku
dikalangan mereka anggota organisasi itu. Dalam pergaulan hukum, semua
orang-orang yang mempunyai kepentingan perlu sebagai “kesatuan yang baru” yang
mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban anggota-anggotanya serta dapat
bertindak hukum sendiri.
B. Kewenangan Berhak dan Kecakapan Berbuat
(1) Kewenangan Berhak
Hukum
perdata memandang bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama. Baik itu
manusia yang sudah dewasa ataupun manusia yang masih belum dewasa, maka
hak-haknya tetaplah sama. Berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan
kewajiban dalam hukum perdata adalah apabila ia meninggal dunia.
Dalam
kenyataan setiap manusia atau setiap individu itu mempunyai atau mampu
bertanggungjawab atas segala perbuatan yang dilakukan. Kewenangan berhak adalah
mengandung pengertian kewenangan setiap manusia pribadi yang berlangsung terus
menerus hingga akhir hayatnya. Kewenangan berhak setiap manusia tidak dapat
ditiadakan oleh suatu ketentuan hukum apapun.
(2) Kecakapan Berbuat
Pada dasarnya, setiap manusia memliki kewenangan berhak,
yakni kewenangan berhak untuk dilakukan (dikenai) atau melakukan apa saja
sesuai dengan ketentuan aturan. Hanya saja kewenangan berbuat atau kewenangan bertindak
adalah kewenangan yang tidak harus dilakukan oleh setiap manusia. Sebab hal ini
dibatasi oleh beberapa faktor. Setiap manusia yang
mempunyai kewenangan berhak belum tentu mempunyai kewenangan berbuat atau
bertindak.
Contohnya adalah, adat Jawa yang mengatakan seseorang yang sudah mandiri
dikatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sebaiknya dikatakan belum
dewasa apabila orang tersebut belum mandiri dan belum berkeluarga.
Undang-Undang Dasar 1945
melalui pasal 2 aturan peralihan menyatakan bahwa: Ketentuan produk kolonial
masih dapat diberlakukan sebelum dibentuk undang-undang yang baru. Sampai
sekarang belum ada undang-undang baru yang meneruskan pengertian dewasa dan
belum dewasa. Oleh harena itu ketentuan dewasa dan belum dewasa produk kolonial
masih berlaku. Misalnya: - Pasal 330 BW, untuk golongan eropa. Stablad 1924 No.
556, untuk golongan orang timur asing.
Contoh kongkrit yang
lain adalah dengan keluarnya Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
maka konsep dewasa dan tidak dewasa menjadi berubah. Di dalam UU tersebut
disebutkan, bahwa ijin orang tua bagi: Orang yang akan melangsungkan perkawinan
jika belum mencapai umur 20 tahun. Dan bagi wanita yang akan melangsungkan
perkawinan. Anak yang belum berusia 18 tahun, belum pernah kawin, dan berada di
bawah kekuasaan orang tua. Anak yang belum mencapai usia 18 tahun, belum pernah
kawin dan tidak berada di bawah skekuasaan orang tua, tetapi berada di bawah kekuasaan wali.
Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan “tidak
cakap” untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
a. Orang-orang yang belum dewasa, yaitu orang
yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan
[Pasal 1330 BW jo. Pasal 47 Undang-undang No.1 Tahun 1974]
b. Orang yang telah dewasa [berumur 21 tahun ke
atas] tetapi berada dibawah pengawasan atau pengampuan (curatele) dengan alasan
:
·
Kurang atau
tidak sehat ingatannya (orang-orang yang terganggu jiwanya)
·
Pemboros; dan
·
Kurang cerdas
pikirannya dan sebab-musabab lainnya yang pada dasarnya menyebabkan yang
bersangkutan tidak mampu untuk mengurus segala kepentingan sendiri. (Pasal 1330
BW jo. Pasal 443 BW)
c. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk
melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang yang dinyatakan
pailit (Pasal 1330 BW jo. Undang-Undang Kepailiran); dan
d. Seorang perempuan yang bersuami, dalam
melakukan tindakan hukum harus disertai atau diwakili suaminya.[6]
Jadi, orang-orang yang cakap melakukan
perbuatan hukum (rechts bekwaamheid) adalah orang yang dewasa dan sehat akal
pikirannya serta tidak dilarang oleh sesuatu peraturan perundang-undangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.[7]
C. Akibat Ketidakcakapan
Kewenangan dan kecakapan, keduanya merupakan hal yang
serupa. Kewenagan dan kecakapan menjadi penting ketika dihadapkan pada sahnya
subyek hukum dalam melakukan perbuatan hukum tertentu. Orang yang cakap (wenang
melakukan perbuatan hukum ) menurut UU adalah :
I
Orang yang dewasa ( diatas 18 tahun) atau pernah
melangsungkan perkawinan
II Tidak
dibawah pengampuan, yaitu orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila,
pemboros, dll.
III Tidak
dilarang oleh UU, misal orang yang dinyatakan pailit oleh UU dilarang untuk melakukan
perbuatan hukum.
Pendewasaan adalah meniadakan keadaan belum dewasa
kepada seseorang agara dapat melakukan perbuatan hukum. Ada 2 macam pendewasaan
:
a) Penuh
(sempurna), anak dibawah umur memperoleh kedudukan sama dengan orang dewasa
dalam semua hal. Pendewasaan Penuh/sempurna (Pasal 420 s/d 425 KUHPer) :
·
Syaratnya yang bersangkutan telah mencapai umur 20
tahun
·
Permohonan diajukan kepada Presiden dan diberikan
setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung
·
Mempunyai kedudukan yang sama dengan orang dewasa
·
Tidak dapat ditarik kembali menjadi keadaan belum
dewasa.
b) Terbatas,
hanya disamakan dalam hal perbuatan hukum, namun tetap berada dibawah umur.
Ketentuan pendewasaan terbatas (Pasal 426-431 KUHPer) :
·
Syarat yang bersangkutan telah mencapai unur 18 tahun
·
Permohonan diajukan kepada Pengadilan Negeri
·
Hanya cakap untuk tindakan-tindakan hukum tertentu
·
Dapat ditarik kembali menjadi keadaan belum dewasa
Contoh : Membuat wasiat
D.
Pengertian dan Pentingnya Domisili
Tiap
orang menurut hukum, harus mempunyai tempat tinggal yang dapat dicari. Tempat
tersebut dinamakan domisili. Begitu juga badan hukum harus mempunyai tempat
tinggal atau kedududkan tertentu yang dapat dilihat dalam anggaran dasarnya.
Hal penting untuk menetapkan di mana seseorang harus kawin, di mana orang harus
diadili, pengadilan mana yang berkuasa terhadap orang itu, dan sebagainya.
Tempat
tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan hukum seseorang disebut juga
alamat rumah atau alamat kantor.[8]
Tempat tinggal mempumyai pengaruh tehadap kewenangan
hukum seseorang, karena di dalam beberapa undang-undang menyebutkan bahwa
tempat tinggal tertentu sebagai tempat dimana suatu perbuatan hukum harus
dilakukan. Jadi temoat tinggalah yang menentukan dimana
perbuatan hukum itu harus dilakukan. Misal Pasal 1393 ayat 2 KUH Perdata
mengenai tempat pembayaran harus dilakukan ditempat tinggal kreditur. Oleh
karena itu, maka perlu ditentukan tempat tinggal seseorang itu. Hal itu bisa
terjadi dalam hal ada orang bepergian terus menerus dan kenyataannya tidak mempunyai
tempat tinggal tertentu, dan adapula orang mempunyai beberapa tempat tinggal di
beberapa tempoat dan beberapa kota. Oleh karena itu perlu selain tempat tinggal
yang senyatanya, ditentukan tempat tinggal secara yuridis atau secara hukum.
Umumya tempat tinggal secara nyata, tetapi tidak senantiasa demiklian.
Didalam hukum tempat tinggak mempunyai arti, yaitu tempat
dimana seeorang dianggap selalu hadir dalam dalam kaitannya dengan pelaksanaan
hak dan memenuhi kewajubannya., meskipun senyatanya dia tidak ada disitu. Di
dalam KUH Perdata yang dimaksud tempat timggal itu seringkali rumahya atau
kadang-kadang kotanya.
Domisili
mempunyai pengaruh terhadap kewenangan hukum seseorang, sebab dalam beberapa
ketentuan undang-undang menentukan: tempat tinggal tertentu sebagai tempat
dimana suatu perbuatan hukum harus dilakukan. Jadi domisili merupakan tempat
dimana yang bersangkutan setiap waktu dianggap selalu ada. Karena dianggap,
maka tidak selalu sama dengan kenyataannya. Jadi domisili bukan fakta, tetapi
suatu pengertian hukum. Domisili diadakan demi kepastian hukum (vide Pasal 118
HIR, Pasal 1393 (2) KUH Perdata).
Beberapa Patokan
Pada
umumnya domisili seseorang adalah sama dengan tempat tinggalnya. Orang yang
meninggalkan tempat kediaman,memikul resiko, bahwa ia dianggap ada walaupun
dalam kenyataannya ia tidak berada di tempat tinggalnya. Dalam KUH Perdata yang
dimaksud tempat tinggal seringkali rukah atau kadang-kadang kotanya. Domisili
ditentukan oleh beberapa patokan (vide Pasal 17, 18, 19 KUH Perdata). Yang
penting adalah unsur kehendak untuk tinggal di suatu tempat (pasal 17 KUH
Perdata) disebut animus manendi bukan
kenyataan dimana ia benar-benar berada. Pasal 19 KUH Perdata bukti maksud untuk
bertempat tinggal di suatu tempat tertentu.
Pada
asanya, setiap orang/ manusia mempunyai satu tempat tinggal, demikian juga
badan hukum mempunyai tempat kedudukan (zetel)
tempat kedudukan badan hukum secara umum tidak diatur dalam undang-undang,
tetapi menurut yurisprudensi dan doktrin, tempat kedudukan (zetel) nya adalah di tempat dimana pengurusnya menetap.[9]
E.
Pengertian Catatan Sipil dan Kegunaan Akta yang dibuat
Catatan Sipil
a. Pengertian
Catatan
sipil ada sejak Revolusi Prancis. Sebelumnya hanya dapat dijumpai dalam
Register untuk Kelahiran, Perkawinan, kematian dan sebagainya, yang
diselenggarakan oleh pihak gereja. Ketentuan yang dicatat oleh pihak gereja itu
sangat tidak lengkap, seringkali sukar dapat ditemukan kembali dan tidak
senantiasa dapat diminta oleh orang-orang yang berkepentingan. Code Civil diteladani oleh BW Nederland mengadakan peraturan tentang Burgerlijk Stand.
Catatan
sipil (Burgerlijk Stand) adalah suatu
lembaga yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencatat peridtiwa hukum
penting yang dialami oleh warga negara dalam kehidupan pribadinya dari sejak
lahir sampai dengan kematiannya. Peristiwa hukum penting yang dimaksud adalah
peristiwa hukum oerdata yang meliputi kelahiran, perkawinan, perceraian, dan
kematian.
Catatan
sipil meliputi kegiatan pencatatan peristiwa hukum yang berlaku umum (untuk
semua WNI) secara struktural berada di da;am linhkungan Departemen Dalam Negri.
Adapun
yang berlaku khusus (hanya untuk mereka yang beragama Islam) secara struktural
berada dalam lingkungan Departemen Agama. Untuk menyelenggarakan tugas
pencatatan sipil umum mempunyai kantor di setiap kabupaten atau kota, sedangkan
catatan sipil khusus di setiap kantor Departemen Agama kabupaten atau kota.[10]
b.
Kegunaan Akta Catatan Sipil
Kegunaan akta catatan sipil sudah
tentu bagi pihak yang bersangkutan, adalah orang yang kedudukan keperdataannya
ditentukan dalam akta itu sendiri, contohnya:
·
Akta kelahiran membuktikan bahwa yang bersangkutan telah
mencapai usia tertentu, akta kelahiran juga membuktikan bahwa yang bersangkutan
adala ahli waris yang sah dari seseorang pewaris, yaitu orang tua yang namanya
tercantum daam akta kelahiran;
·
Akta perkawinan
membuktikan bahwa yang bersangkutan terikat sebagai suami istri yang sah;
·
Akta perceraian
membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak terikat lagi sebagai suami istri,
sehingga yang bersangkutan dapat kawin lagi.
Selain bagi pihak yang bersangkutan, akta
catatan sipil dapat juga memberi kegunaan kepada pihak ketiga dalam hal inin
ahli waris yang bersangkutan.
Pasal 1870 KUH Perdata menetukan bahwa
suatu akta autentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris-warisnya,
atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka suatu bukti yang sempurna
tentang apa yang dimuat didalamnya.
Contoh: akta kematian dapat membuktikan
bahwa pihak ketiga (ahli waris) adalah benar-benar ahli waris dari pewaris yang
meninggal, karena dalam akta kematian disebutkan tentang siapa-siapa yang
mempunyai hak sebagai ahli waris dari pewaris, juga dapat dipakai untuk
membuktikan tentang adanya harta warisan yang terbuka.[11]
Manfaat pencatatan
status keperdataan seseorang ialah sebagai bukti bahwa peristiwa hukum yang
dialami seseorang itu betul telah terjadi. Untuk itu diperlukan surat
keterangan yang menyatakan itu pada hari, tanggal, bulan, dan tahun di tempat
tertentu. Surat keterangan yang memuat hal ini dibuat oleh pejabat umum
(pegawai pencatatan sipil), disebut akta autentik atau akta resmi (ambtelijk acte).
Dalam hukum pembuktian akta autentik
memiliki tiga kekuatan bukti, yaitu kekuatan bukti formal, kekuatan bukti
materiil, dan kekuatan bukti terhadap pihak ketiga. Ada
juga sarjana yang mengatakan manfaat akta catatan sipil itu terhadap diri yang
bersangkutan dan pemerintah. Terhadap diri yang bersangkutan bermanfaat untuk
menentukan status hukumnya, sebagai alat bukti kuat di dalam dan luar
pengadilan, dan memberi kepastian terhadap peristiwa itu sendiri.
Sebelum UU No. 1 Tahun 1974 dikeluarkan, catatan
sipil memegang peranan yang sangat penting, antara lain sebagai berikut :
i.
Pasal 80 KUH
Perdata
Dihadapan pegawai
catatan sipil dan dengan dihadiri saksi-saksi, kedua calon suami dan istri
harus menerangkan, yang satu menerima yang satu sebagai istrinya dan yang lain
menerima yang satu sebagai suaminya, pula mereka dengan ketulusan hati akan
menunaikan segala kewajiban demi undang-undang ditugaskan kepada mereka sebagai
suami istri.
ii.
Pasal 81 KUH
Perdata
Tiada suatu upacara
keagamaan boleh dilakukan, sebelum kedua belah pihak pejabat agama mereka
mebuktikan bahwa perkawinan di hadapan Pegawai Catatan Sipil telah berlangsung.
Kedua pasal tersebut
bukan sekadar ketentuan belaka, melainkan suatu ketentuan yang berakibat
dijatuhkannya sanksi pidana bagi pelanggarnya. Hal ini diatur dalam pasal 530
KUHP yang menyuatakan bahwa seorang petugas agama, yang melakukan acara
perkawinan, yang hanya dapat dilangsungkan di hadapan pejabat Bugerlijk Stand, sebelum dinyatakan
padanya bahwa pelangsungan di muka pejabat itu sudah dilakukan, diancam dengan
denda paling banyak tiga ratus rupiah. Selanjutnya ketentuan pasal itu
menyebutkan bahwa jika ketika melakukan pelanggaran, belum lewat dua tahun
sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, denda
dapat diganti dengan kurungan paling lama dua bulan. Kesimpulan yang dapat
ditarik dari kedua ketentuan pasal di atas adalah sebagai berikut :
a)
Tiada suatu upacara keagamaan dilakukan sebelum kedua
belah pihak pejabat agama mereka membuktikan perkawinan telah dilakukan di
hadapan pegawai catatan sipil.
b) Perkawinan
itu barulah sah bila dilakukan di hadapan pegawai catatn sipil.
c) Pejabat
agama bisa dituntut bila mengawinkan mempelai sebelum lebih dahulu kawin
dinhadapan pegawai catatan sipil.
Sejak diberlakukannya
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983, pegawai catatan sipil tidak boleh lahi
mengawinkan dan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
perkawinan itu sah bila dilakukan berdasarkan masing-masing agama dan
kepercayaan itu, baru kemudian didaftarkan menurut undang-undang.[12]
F.
Kewarganegaraan dan Cara Mendapatkannya
Kecuali nama,
kewarganegaraan seseorang juga penting dan merupakan faktor yang memengaruhi
kewenangan berhak seseorang. Misalnya yang diatur dalam pasal-pasal berikut :
ü Pasal
21 ayat (1) UUPA: hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik.
ü Pasal
21 ayat (3) UUPA: orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini
memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu atau percampuran harta karena
perkawinan; demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan
setelah berlakunya undang-undang ini; kehilangan kewarganegaraannya, wajib
melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak
tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut
lampau hak milik itu tidak dilepaskan maka hak tersebut hapus karena hukum dan
tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung.
Dari kedua ayat pada Pasal 21 UUPA tersebut dapat
kita simpulkan bahwa hak milik hanya diperkenankan bagi subjeknya (pemegang
haknya), yaitu orang-orang yang berkewarganegaraan Indonesia, dan bila terjadi
penyimpangan atas ketentuan ayat (1) tersebut, segeralah atau dalam waktu satu tahun
paling lama untuk mengalihkan kepada orang atau pihak yang berkewarganegaraan
Indonesia.
ü
Pasal 56 ayat
(1) UUP: perkawinan antara dua orang warga negara Indonesia atau seseorang
warga negara indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan
bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undnag-undang ini.
Ketentuan pasal ini
sebenarnya memberikan kesempatan orang-orang Indonesia kawin dengan beda agama
asalkan dilakukan di luar negeri. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya
perkawinan beda agama bagi orang-orang Indonesia tidak dimungkinkan sebab pasal
tersebut mensyaratkan bagi WNI tidak melanggar Undang-Undang Perkawinan. Adapun
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undnag perkawinan menyatakan bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu. Kenyataannya tidak satu agama pun di Indonesia memberikan
keabsahan mereka yang beda agama melangsungkan perkawinan. Di Indonesia,
perihal kewarganegaraan diatur dalam Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 yang
diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan.[13]
Cara Mendapatkannya
Kewarganegaraan
Indonesia
Kewarganegaraan
Indonesia bisa didapatkan secara langsung dan melalui permohonan/naturalisasi.
Kewarganegaraan secara langsung adalah kewarganegaraan yang diperoleh seseorang
tanpa melakukan satupun perbuatan hukum (stelsel
Pasif). Adapun tentang siapa warga negara Indonesia, dinyatakan bahwa yang
menjadi warga negara Indonesia adalah sebagai berikut:
a)
Setiap orang
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasakan perjanjian
Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini
berlaku sudah menjadi Warga Negara indonesia;
b) Anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga negara
Indonesia;
Dari ketentuan pasal ini diketahui bahwa
undang-undang ini menganut azas ius sanguinis
c) Anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia
dan ibu warga negara asing;
Dari ketentuan ini dapat menimbulkan dwi
kewarganegaraan apabila negara dari ibunya menganut prinsip anak yang
dilahirkan dari seorang ibu warga negaranya adalah juga warga negaranya akan
tetapi ketika anak tersebut berusia 18 tahun atau menikah ia harus memilih
salah satu kewarganegaraannya
d) Anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan
ibu Warga negara Indoneisa;
e) Ketentuan
ini sama dengan ketentuan huruf c
f) Anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga negara Indonesia,
tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya
tidak memberikan kewarganegaraan keoada anak tersebut;
Undang-undang ini menyatakan bahwa jangan samoai
seseoramg tidak memiliki kewarganegaraan
g) Anak
yang lahir dengan tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara indonesia;
Ketentuan ini mempunyai dampak positif bagi
pengakuan dan penghormatan negara terhadap HAM warga negara dalam rangka batas
pemilihan kewarganegaraannya
h) Anak
yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia;
Ketentuan ini merupakan hak pemilihan bagi anak yang
lahir dari ibu warga negara atau warga negara dari ayahnya, bisa anak tersebut
memperhatikan pemeliharaan, atau kalau mendapat hak bagi ibunya untuk dapat
menyampaikan atau mempertahukan siapa ayahdari anak tersebut.
i)
Anak yang lahir
di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui
oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu
dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum
kawin;
j)
Anak yamg lahir
di wilayah Republik indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status
kewarganegaraan ayah dan ibunya;
Ketentuan ini memperjelas bahwa UU No.12 tahun 2006
menganut azas ius soli (asas kelahiran) yaitu orang yang lahir di Indonesia
adalah warga negara Indonesia
k) Anak
yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah
dan ibunya tidak diketahui;
Ketentuan ini juga menganut azas ius soli
l)
Anak yang lahir
di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai
kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;
Ketentuan ini menganut azas ius soli yang pada
prinsipnya melindungi orang/anak yang lahir di Indonesia jangan sampai tidak
memiliki kewarganegaraan
m) Anak
yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan
ibu Warga Negara indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak
tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
n) Anak
dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya,
kemudian ayah dan ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia.
Ketentuan ini meberikan perlindungan hak sekaligus
hak azasi manusia kepada anak yang dikawatirkan tidak mempunyai kewarganegaraan.
Kehilangan
Kewarganegaraan
Tentang kehilangan kewarganegaraan
(pasal 23), dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia hilang, jika
yang bersangkutan :
a) Memperoleh
kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
b) Tidak
menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang
bersangkutan mendapatkan kesempatan untuk itu;
c) Dimyatakan
hilang kewarganegaraannya oleh presiden atas permohonan sendiri, yang
bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat
tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik
Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;
d) Masuk
dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden;
e) Secara
sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu
di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan prundang-undangan hanya dapat
dijabat oleh Warga Negara Indonesia;
f) Secara
sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau
bagian dari negara asing tersebut;
g) Tidak
diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat
ketatanegaraan untuk suatu negara asing;
h) Mempunyai
paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat
diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang yang masih berlaku dari negara
lain atas namanya;
i)
Bertempat
tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus
menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan
sengaja tidak menyatakian keinginannya untuk tetap ,enjadi Warga Negara Indonesia
sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun berikutmya yang bersangkutan tidak
mengajukan pernyataan untuk tetap menjadi warga Negara Indonesia kepada
Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah
memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang
bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
j)
Perempuan Warga
Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan
Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaran
istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
k) Laki-laki
Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing
kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal
istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat
perkawinan tersebut. Atau jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat
mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau
Perwakialn Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan
atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan
kewarganegaraan ganda. Surat pernyataan dapat diajukan oleh perempuan setelah 3
(tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.
l)
Setiap orang
yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan keterangan yang
kemudian hari dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi
kekeliruan mengenai orangnya oleh instansi yang berwenang, dinyatakan batal
kewarganegaraannya. Menteri mengumumkan nama orang yang kehilangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik Indonesia.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Subyek
hukum dibagi menjadi dua yaitu: orang dan badan hukum. Subyek hukum adalah
setiap manusia atau badan hukum yang punya hak dan kewajiban dalam lalu lintas
hukum.
Pada dasarnya, setiap manusia memliki kewenangan
berhak, yakni kewenangan berhak untuk dilakukan (dikenai) atau melakukan apa
saja sesuai dengan ketentuan aturan. Hanya saja kewenangan berbuat atau
kewenangan bertindak adalah kewenangan yang tidak harus dilakukan oleh setiap
manusia. Sebab hal ini dibatasi oleh beberapa faktor. Kesimpulannya, setiap manusia
yang mempunyai kewenangan berhak belum tentu mempunyai kewenangan berbuat atau
bertindak. Orang yang cakap (wenang
melakukan perbuatan hukum ) menurut UU adalah:
·
Orang yang dewasa ( diatas 18 tahun) atau pernah
melangsungkan perkawinan
·
Tidak dibawah pengampuan, yaitu orang dewasa tapi
dalam keadaan dungu, gila, pemboros, dll.
·
Tidak dilarang oleh UU, misal orang yang dinyatakan
pailit oleh UU dilarang untuk melakukan perbuatan hukum.
Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang
berhubungan dengan warga negara. Dan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru
ini tengah memuat asas-asas kewarganegaraan umum ataupun universal.
B. Penutup
Demikian makalah yang bisa kami uraikan, pasti banyak kekurangan dari segi penulisan
dan redaksi yang dikutip. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan
pembaca. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami butuhkan untuk memperbaiki
kinerja kedepan. karena kesempurnaan hanya milik Allah sedangkan kekhilafan
datangnya dari kami. Terimakasih
Daftar Pustaka
Triwulan, Titik. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem
Hukum Nasional. Jakarta : Kencana. Cet. I
Oka Setiawan, I Ketut. 2016. Hukum
Perorangan dan kebendaan. Jakarta :
Sinar Grafika.
Suryati. 2017. Hukum Perdata. Yogyakarta :
Suluh Media.
[1]
Dr. Titik Triwulan
Tutik, S.H., M.H, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta,
Kencana : 2008) hlm.39
[2]Dr. Titik Triwulan Tutik,
S.H., M.H, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta, Kencana
: 2008) hlm.40
[3]
Dr. Titik Triwulan
Tutik, S.H., M.H, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta,
Kencana : 2008) hlm.41
[4]
Dr. Titik Triwulan
Tutik, S.H., M.H, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta,
Kencana : 2008) hlm.42
[5]
Dr. Titik Triwulan
Tutik, S.H., M.H, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta,
Kencana : 2008) hlm.47
[6]
Dr. Titik Triwulan
Tutik, S.H., M.H, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta,
Kencana : 2008) hlm.44
[7]
Dr. Titik Triwulan
Tutik, S.H., M.H, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta,
Kencana : 2008) hlm.45
[8]
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perorangan
dan kebendaan, (Jakarta: Sinar grafika, 2016), hal. 31.
[9]
Suryati, Hukum Perdata, (Yogyakarta:
Suluh Media, 2017), hal. 49-51.
[10]
I ketut oka Setiawan, Hukum Perorangan
dan kebendaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hal. 35.
[11]
Suryati, Hukum Perdata, (Yogyakarta:
Suluh Media, 2017), hal. 55.
[12]
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perorangan
dan Kebendaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hal. 37-39
[13]
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perorangan
dan Kebendaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hal. 40-41.
[14]
Mirza Firmansyah, Kewarganegaraan
Republik Indonesia dan Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No.12 tahun 2006,
(Medan: Universitas Sumatera Utara, 2013), hal. 14-17.
0 Komentar