Desa
Pancur adalah salah satu desa yang ada di Jepara, tepatnya di kecamatan Mayong kabupaten Jepara. Jepara
sendiri mempunyai sejarah yang luar biasa, asal nama Jepara berasal dari
perkataan Ujung Para, Ujung Mara dan Jumpara yang kemudian menjadi Jepara, yang
berarti sebuah tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah.
Menurut
buku “Sejarah Baru Dinasti Tang (618-906 M)” mencatat bahwa pada tahun 674 M
seorang musafir Tionghoa bernama I-Tsing pernah mengunjungi negeri Holing atau
Kaling atau Kalingga yang juga disebut Jawa atau Japa dan diyakini berlokasi di
Keling, kawasan timur Jepara sekarang ini, serta dipimpin oleh seorang raja
wanita bernama Ratu Shima yang dikenal sangat tegas.
Pancur
sendiri adalah bagian dari wilayah Jepara, menurut catatan para sesepuh desa
Pancur, asal nama Pancur sendiri berasal dari perkataan Sendang Pancuran.
Sendang Pancuran mulai dikenal sejak Empu Supo (murid Sunan Kalijaga) singgah
di kampung Pancur Suwang (Rt 35/07) untuk menempa senjata tentara Demak ketika
terjadi geger perebutan tahta Kerajaan Demak pada tahun 1549 M. sebagai nama
tempat berwudlu setiap Empu Supo akan
menempa keris, dan tempat istirahat tentara Demak. Dengan demikian, Walisongo memiliki peran yang sangat besar dalam penyebaran agama Islam di desa Pancur.
Dalam catatan sejarah, genarasi pertama ada
tiga tokoh yang menyebarkan agama islam di desa Pancur, yakni Syekh Baladah Baladah yang
memiliki nama asli Syekh Maulana Bagdad, Eyang Merto atau mbah
Merto,
dan Empu Supo yang merupakan utusan
Sunan Kalijaga, untuk menyebarkan agama Islam di Desa Pancur. Ketiga tokoh
tersebut memiliki peranan dan tugas masing-masing dalam berdakwah, Syekh Baladah sebagai Imam Masjid Wali, Eyang
Merto sebagai muadzin, dan Empu Supo sebagai keamanan.
Sebagai sara dakwah, Syekh Baladah membangun Masjid
pertama kalinya di Desa Pancur, masjid itu terletak di dukuh Segawe yang diberi nama Kenduren. Pada mulanya ada beberapa
orang yang tertarik untuk beribadah di masjid tersebut, namun seiring
berjalannya waktu masyarakat mulai meninggalkan masjid tersebut dan kembali ke
ajaran nenek moyang mereka, dan akhirnya tidak ada satupun yang mau mendekat
dan beribadah di dalamnya.
Kondisi tersebut semakin parah pasca sepeninggalnya
Eyang Merto, masyarakat desa Pancur sungguh sangat memprihatinkan, meskipun
mereka yakin akan adanya Allah, tetapi mereka tidak ada yang mau beribadah sama
sekali.
Begitulah akhir dari generasi pertama ulama yang
menyebarkan agama islam di desa Pancur. Kemudian perjuangan dakwah dilanjutkan
oleh K. H. Hasan Kafrawi.
Menurut informasi yang hingga kini masih menjadi
keyakinan masyarakat desa Pancur. K.H. Hasan Kafrawi lahir pada tahun 1844 M /
1264 H. di Dusun Tamansari Pancur Mayong Jepara. Jika diuruturutkan silsilah
beliau masih ada hubungan darah dengan Sultan Banten, ayahnya bernama Kedep bin
Piyah bin Sarinem bin Sultan Banten. Kemudian ibunya bernama Dasiyah binti
Renem bin Syaikhon bin Joblo bin Surgi Malik Tegal Sari Cirebon Patihnya Sultan
Banten.
KH. Hasan Kafrawi sewaktu kecilnya adalah seorang
anak yang cerdas, diceritakan dalam mimpinya ia memakan bulan sampai habis, dan ketika ia
bangun ia menceritakan mimpinya itu kepada orang tuanya, lalu ia dibawa menuju ke
ahli tafsir mimpi. Dikatakan olehnya; K.H. Hasan Kafrawi kelak akan mendapatkan
anugerah dari Tuhan, mulai sejak itulah kedua orang tuanya memasukkan beliau
kepondok pesantren Penggung Mayong.
K.H. Hasan Kafrawi sewaktu masih di pondok, terkenal
sebagai seorang yang pandai mempunyai kekuatan hafalan, hal ini dibuktikan
dengan banyaknya kitab yang dihafal oleh beliau. Setelah K.H. Hasan Kafrawi
dirasa sudah cukup dalam menuntut ilmu, kemudian kiainya menyuruh untuk pulang
ke kampong halamanya untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu yang telah dipelajari
atau diperoleh selama ia belajar (nyantri) di pesantren tersebut.
Sebelum Kiai Abdul Rosul menyuruh K.H. Hasan Kafrawi
pulang kampung, Kiai Abdul Rosul diminta oleh kiai dari Padurinan, bernama Arda
Nawih, supaya memberikan salah satu muridnya yang hafal zubad dan alfiyah,
taklain yaitu K.H. Hasan Kafrawi. Kemudian kiai Abdul Rosul memangngil K.H.
Hasan Kafrawi. Dalam pertemuan tersebut terjadi suatu dialog yaitu:
Opo seliramu gelem omah-omah ing kutho?
Sebab aku dijalui sedulorku kutho Kudus
Njaluk muridku seng hafal zubad lan
alfiyah
Ora liyo yo selirahmu seng tak calonake
Kepiye kang dadi
jawabmu?
simah ten kutho
Soho malih menawi kulo simah ten kutho
yekti dusun kulo selalu
kesepen sangking agomo Islam
Terus kiai abdul rosul pangandikan: yen
seliramu orak gelem
omah-omah ten kutho
olehmu ngaji wis cukup.
Terjemahannya ;
Apa kamu mau hidup di kota?
Sebab saya diminta saudara saya dari
kota Kudus minta murid saya yang
hafal zubad dan alfiyah.
Tidak ada yang lain yaitu kamu,
Bagaimana dengan jawabanmu?
Lalu K.H. Hasan Kafrawi menjawab;
Romo kiai sebenarnya
saya itu orang gunung tidak pantas hidup di kota, kalau saya
hidup di kota,
terus dusun saya selalu meninggalkan agama Islam.
Lalu kiai Abdur Rosul mengatakan;
Kalau kamu tidak mau hidup di kota
olehmu belajar ngaji sudah cukup.
Dari sini dapat diketahui bahwa sebelum K.H. Hasan
Kafrawi banyak berperan dalam penyebaran Islam di Desa Pancur jauh sebelum ia ada
seorang tokoh yang terlebih dahulu mengenalkan ajaran Islam, tetapi tidak
maksimal. Dikarenakan kesadaran masyarakat akan nilai-nilai Islam masih sangat
lemah, dan pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme yang dibawa oleh
Hindu-Budha masih melekat.
Pasca meninggalnya kedua tokoh Islam tersebut,
kemudian K.H. Hasan Kafrawi merasa memiliki tanggung jawab besar untuk
membenahi, atau membina umat agar kembali ke jalan Allah, yakni mematuhi segala
perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan yang telah ditetapkan Allah SWT.
Tentu perjuangan ini tidak semudah membalikkan
telapak tangan, banyak tantangan dan rintangan yang dihadapinya, celaan dan
ejekan datang dari mana-mana, semangat dan rasa tanggung jawab dakwah untuk menegakkan
ajaran Allah tidak memanglingkan semangatnya. Dengan kerja keras dan strategi
yang sesuai dengan karakter masyarakatnya, pada akhirnya sedikit demi sedikit
menuai hasil. Dimulai dari kerabat dekatnya, ia mengajak secara terang-terangan
untuk bertaubat dan kembali ke jalan Allah SWT.
Upaya ini ia lakukan dengan mengajak masyarakat
sekitar untuk mengikuti pengajian-pengajian yang ia asuh. Tetapi masih banyak masyarakat
yang melaksanakan perbuatan-perbuatan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Seperti
melaksanakan judi, gong-gongan, mabuk-mabukan, tayuban, dan sebagainya, melihat
kenyataan ini dakwah Islamnya semakin mendapat tantangan.
Hal pertama yang dilakukan adalah membuat masjid
sebagai serana tempat pertaubatan, peribadatan dan juga tempat pendidikan
ajaran-ajaran agama islam.
Pada tahun 1334 H petilasan masjid kenduren,
puncaknya dipindahkan ke dusun Tamansari oleh K.H. Hasan Kafrawi, inilah
sebagai tonggak awal perjuangan dan dakwah K.H. Hasan Kafrawi, untuk mengembalikan
masyarakat Pancur menjadi masyarakat yang beriman dan beradab. Namun setelah
masjid jadi masih mengalami kesulitan untuk mengajak umat beribadah kepada
Allah SWT. Yang seharusnya masjid dijadikan sebagai tempat yang sacral untuk
melaksanakan ibatah, malah dicaci maki, sehingga semakin sedikit orang yang mau
beribadah di dalamnya.
Namun Perjuangan K.H. Hasan Kafrawi terus berlanjut tidak
kenal putus asa, dan atas berkah dari
masjid itu sendiri, pada akhirnya sedikit demi sedikit santri dan masyarakat yang
ia bina, lama kelamaan juga bisa memberikan pengaruh besar terhadap
perkembangan Islam di Desa Pancur.
Dalam menyebarkan agama islam, KH. Hasan Kafrawi
menggunakan metode pendekatan merakyat, yakni ia tidak menolak atau membenci
secara terang-terangan terhadap segala bentuk budaya yang ada di lingkungannya,
justru ia sering memadukan atau memasukkan nilai-nilai ajaran agama islam dalam
tradisi-tradisi yang telah ada sebelumnya, sehingga masyarakat mudah menerima
ajaran-ajaran agama islam memalui budaya yang telah ada. Seperti pada saat
setelah ada kematian ada semacam tradisi leklean, tujuan lekleaan selama tujuh
hari adalah menjaga arwah orang yang telah meninggal. Akan tetapi leklean
tersebut dengan diisi main-main, seperti main kartu, dan sebagainya. Kemudian
kebiasaan ini dirubah sedikit demi sedikit oleh K.H. Hasan Kafrawi, diganti
dengan mendoakan. Tentunya ini dengan penjelasan yang tidak mudah. Setelah masyarakat
mulai memiliki kesadaran, kalau ajaran Islam itu sangat indah kemudian tradisi
tersebut mulai dihilangkan dan diganti dengan tradisi Islam.
Berkat kerja kerasnya dalam menyebarkan agama islam
di desa Pancur, serta kepandaian dan kepiawaiannya dalam meakulturasi
budaya-budaya lokal yang yang telah ada dan hidup di masyarakat, dan memasukkan
nilai-nilai agama islam di dalamnya, beliau berhasil membumikan islam di desa
Pancur. Sehingga K.H. Hasan Kafrawi sampai saat ini dijuluki sebagai "Waliullah
Desa Pancur".
0 Komentar