Disusun guna
memenuhi tugas
Dosen pengampu : Drs.
Mohammad Solek, M.A
Logo
Disusun oleh:
Muhammad Faruq
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A
Latar Belakang
Hukum Pidana atau Fiqh Jinayah merupakan bagian dari syari’at islam
yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah saw. Oleh karenanya pada zaman
Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum
publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa
yang sah atau ulil amri.
Walaupun dalam
kenyataannya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang apa dan
bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan hukum
tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka
pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang hadits-hadits
yang berkaitan dengan hukum ta’zir, berikut dengan pengertian, dasar hukum
serta jarimah-jarimah yang meliputinya.
Ada tiga bagian jarimah yang digolongkan menurut berat ringannya
hukuman, yaitu Hudud, Qishas-Diyat dan Ta’zir. Hudud dapat dikategorikan
sebagai sebuah hukuman yang telah ditetapkan oleh nash. Qishas-Diyat adalah
hukuman yang apabila dimaafkan maka qishas dapat diganti dengan diyat. Dan
Ta’zir, adalah jarimah yang belum ada ketentuan nasnya dalam Al-Qur’an. Belum ditentukan seberapa kadar hukuman yang
akan diterima oleh si tersangka/si pelaku kejahatan. Jarimah ta’zir lebih di
tekankan pada hukuman yang diberikan oleh pemerintah/kekuasaan mutlak berada di
tangan pemerintah tapi masih dalam koridor agama yang tidak boleh bertentangan
dengan hukum Allah swt.
B
Rumusan Masalah
1.
Pengertian Jarimah Ta’zir ?
2.
Macam-Macam Jarimah Ta’zir ?
3.
Macam-Macam hukuman Ta’zir ?
4.
Pengecualian atau orang yang tidak dapat di hukum ta’zir ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jarimah Ta’zir
Jarimah Ta’zir secara bahasa adalah memberi pengajaran (al-ta’dib).
Sedangkan jarimah Ta’zir menurut hukum pidana islam adalah tindakan yang
berupa edukatif (pengajaran) terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada
sanksi hadd dan kifaratnya. Atau kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat
edukatif dan hukumannya di tentukan oleh hakim, atau pelaku tindak pidana atau
pelaku perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh syari’at.[1]
Dapat dijelaskan
bahwa dijelaskan ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah
yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’, dikalangan para fuqoha jarimah
yang hukumannya belum di tetapkan oleh syara’ disebut dengan jarimah ta’zir.
Dapat dipahami juga bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan
maksiat yang tidak di kenakan hukuman had dan tidak pula kifarat.[2] Jadi,hukuman
ta’zir tidak mempunyai batas-batas hukuman tertentu, karena syara’ hanya
menyebutkan sekumpulan hukuman, mulai dari yang seringan-ringannya sampai yang
seberat-beratnya. Dengan kata lain, hakim yang berhak menetukan macam tindak
pidana beserta hukumannya, karena hukumannya belum di tentukan oleh syara’.
Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta’zir adalah :
1.
Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas.
Artinya
hukuman tersebut belum di tentukan oleh syara’.
2.
Penetuan hukuman tersebut adalah oleh hakim.[3]
Aturan
hukum pidana islam yang paling fleksibel terdapat pada jarimah ta’zir, Pada
kategori jarimah ini, baik kriminalisasi suatu perbuatan maupun hukumannya
diserahkan kepada Hakim. Jadi ta’zir merupakan hukuman bagi perbuatan pidana
(jarimah) yang tidak ada ketetapannya nas tentang hukumnya.
Jika dilihat dari eksistensinya
jarimah ta’zir sama dengan jarimah hudud, karena keduanya sama-sama sebagai
pengajaran (al-ta’lib) untuk mencapai kemaslahatan dan sebagai tindakan
preventif yang macam hukumnya berbeda-beda sesuai jenis perbuatan dosaatau
tindak pidana yang dilakukan. Jika pada jarimah hudu sudah ditentukan secara
pasti dan jelas hukuman-hukumannya, dan tidak bisa dirubah atau diganti,
sedangkan pada jarimah ta’zir belum ditentukan hukumannya.[4]
Mengenai macam-macam hukuman yang ada
pada jarimah ta’zir adalah mulai dari memberi nasehat atau peringatan, hukuman
cambuk, penjara, dan lain-lain, bahkan sampai hukuman mati, jika jarimah yang
dilakukan benar-benar sangat membahayakan, baik yang dirasakan oleh dirinya
maupun masyarakat. Oleh karena itu hakim boleh memilih hukuman tersebut
tentunya disesuaikan dengan jenis perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan,
baik mengenai kkriteria pelakunya maupun factor-faktor penyebabnya.
Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa
Umar bin khathab ra. Pernah menjatuhkan hukuman ta’zir dan pembinaan dengan
memotong rambut, mengasingkan, dan cambuk. Sebagaiman dia juga pernah membakar
warung para tukang khamar serta kampong tempat perjualan khamar. Dia juga
membakar istana Sa’ad bin Abi Waqqash di kufah lantaran keberadaan istana ini
membuatnya tertutup dengan rakyat. Dia membuat cambuk untuk memukul orang yang
layak mendapatkan cambukan serta membuat bangunan penjara dan mencambuk wanita
yang meratapi jenazah hingga rambutnya terlihat. Tiga imam Fiqih mengatakan itu
wajib, syafi’I mengatakan tidak wajib.
Pelaksanaan hukuman pada jarimah
ta’zir yang sudah diputuskan oleh hakim, juga menjadi hak penguasa Negara atau
petugas yang ditunjuk olehnya. Hal ini oleh karena hukuman itu disyari’atkan
untuk melindungi masyarakat, dengan demikian hukuman tersebut menjadi haknya
dan dilaksanakan oleh wakil masyarakat, yaitu penguasa Negara seperti presiden
atau aparat Negara. Orang lain, selain penguasa atau orang yang ditunjuk oleh
nya tidak boleh melaksankan hukuman ta’zir, meskipun hukuman tersebut
menghilangkan nyawa. Apabila iamelaksanakan sendiri dan hukumannya berupa
hukuman mati sebagai ta’zir maka ia dianggap sebagai pembunuh, walaupun
sebenarnya hykuman mati tersebut adalah hukuman yang menhilanhkan nyawa.[5]
Dari uraian tersebut di atas terlihat
adanya perbedaan pertanggung jawaban dari pelaksanaan hukuman yang tidak
mempunyai wewenang, dalam melaksanakan hukuman mati sebagai had dan sebagai
ta’zir. Orang yang melaksanakan sendiri hukuman mati sebagai had, tidak
dianggap sebagai pembunuh, sedangkan yang melaksanaakan sendiri hukuman mati
sebagai ta’zir dianggap sebagai pembunuh. Perbedaan tersebut disebabkan ,
karena hukuman had adalah hukuman yang sidah pasti yang tidak bias digugurkan
atau dimaafkan, sedangkan hukuman ta’zir masih bias dimaafkan oleh penguasa
Negara, apabila situasi dan kondisi menghendaki untuk dimaafkan dengan berbagai
pertimbangan.
B.
Macam-Macam Jarimah Ta’zir
Dapat dijelaskan bahwa dari hak yang dilanggar, jarimah ta’zair
dapat dibago kepada dua bagian, yaitu:
1. Jarimah ta’zir
yang menyinggung hak Allah;
2. Jarimah ta’zir
yang menyinggung hak individu.
Ø
Dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dapat dibagi kepada tiga bagian,
yaitu:
a.
Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat;
b.
Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan
umum;
c.
Ta’zir karena melakukan pelanggaran.
Di samping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya),
ta’zir juga dapat di bagi menjadi kepada tiga bagian, yaitu:
1)
Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishas,
tetapi syarat-syaratnya tidak dipenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian
yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluaraga sendiri.
2)
Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkna dalam nas syara’ tetapi
hukumannya belum ditetapkan, sepeti riba, suap,dan mengurangi takaran dan
timbangan.
3)
Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan
oleh syara’.
Jenis ketiga ini
sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai
pemerintah.
Abdul
aziz amir membagi secara rinci kepada beberapa bagian, yaitu:
a)
Jarimah ta’zir yang berkaitan denag pembunuhan;
b)
Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan perlukaan;
c)
Jarimah ta’zir yang berkaitna dengan kejahatan kehormatan dan
kerusakan akhlak;
d)
Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta.
e)
Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu;
f)
Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum.[6]
C.
Macam-Macam Hukuman Jarimah Ta’zir
Dalam penyelesaian perkara yang termasuk jarimah ta’zir, hakim
diberi wewenang untuk memilih diantara kedua hukuman tersebut,mana yang sesuai
dengan jarimah yang dilakukan oleh palaku. Dalam ta’zir, hukuman itu tidak
ditetapkan dengan ketentuan (dari Allah dan rasulnya), dan Qodhi diperkenankan
untuk mempertimbangkan baik bentuk hukuman yang akan dikenakan kadarnya.[7]
Melukai atau
penganiayaan bisa sengaja, semi sengaja, dan kesalahan. Dalam hal ini para
ulama membaginya menjadi lima macam, yaitu:
1.
Ibanat al-athraf, yaitu memotong anggota badan, termasuk di
dalamnya pemotongan tangan, kaki, hidung, gigi, dan sebagainya;
2.
Idzhab ma’a al-athraf, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan
(anggota badan tetap ada tapi tidak bisa berfungsi), misalnya membuat korban
tuli, buta, bisu, dan sebagainya;
3.
As-syaj, yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka (secara khusus);
4.
Al-jarh, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala termasuk
di dalamnya yang tidak masuk ke dalam perut atau rongga dada dan yang masuk ke
dalam perut atau anggota dada;
5.
Pelukaan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari empat jenis
pelukaan di atas.
Ø Jenis-jenis
hukum ta’zir ini adalah sebagai berikut :
1.
Hukumann Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan
a.
Hukuman mati
Dalam
makalah-makalh sebelumnya telah dijelaskan bahwa hukuman mati ditetapkan
sebagai hukuman qishash utnuk pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman had untuk
jarimah hirabah, zina muhson, riddah, dan jarimah pemberontakan. Untuk jarimah
ta’zir, hukuman mati ini di terapkan oleh para fuqoha secara beragam. Hanafiyah
membolehkan kepada ulil amri untuk menerapakan hukuman mati sebagai ta’zir
dalam jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah
tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian yang berulang-ulang dan
menghina nabi beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah
itu ia masuk islam.
b.
Hukuman jilid (Dera)
Alat
yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang pertengahan (sedang,
tidak terlalu besar dan tidak terlalau kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh imam Ibn Taimiyah, dengan alas an karena sebaik-baiknya
perkara adlah pertengahan.
Apabila orang
yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang menghalanginya sampainya
cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi, apabila orang terhukum itu seorang
perempuan maka bajunya tidak boleh dibuka, karena jika demikian akan ternukalah
auratnya.[8]
2.
Hukuman yang Berkaitan dengan Kemerdekaan
a)
Hukuman penjara
Maksud hukuman penjara disini bukanlah menahan pelaku di tempat
yang sempit, melainkan menahan sseorang yang mencegahnya agar ia tidak
melakukan perbuatan hukum, baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau masjid,
maupun ditempat lainnya. Penahan itulah yang dilakukan pada masa nabi dan Abu
bakar. Artinya, pada masa Nabi dan Abu bakar tidak ada tempat yang khusus
disediakan untuk menahan seseorang pelaku. Hukuman pengasingan
Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan
untuk pelaku tindak pidana hirabah (perampokan) berdasarkan Qs. Al- Maidah ayat
33:
|
Yang
artinya :
“sesungguhnya pembalsan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di mka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau di potong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik,
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya) (QS. Al-Maidah:33)[9]
3.
Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan Harta
a)
Status hukumannya
Para
ulama berpendapat tentang dibolehkannya hukuman ta’zir dengan cara mengambil
harta. Pendapat ini di bolehkan apabila dipandang membawa maslahat. Pengambilan
harta ini bukan semata untuk diri hakim atau untuk kas umum (Negara), melainkan
hanya menahannya untuk sementara waktu. Adapun apabila pelaku tidak bias di
harapkan untuk bertobat maka hakim dapat men-tasarufkan harya tersebut untuk
kepentingan yang mengandung maslahat.
Selain
hukuman-hukuman yang telah di sebutukan di atas, terdapat hukuman ta’zir yang
lain, hukuman tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Peringatan keras
2.
Dihadirkan di hadapan sidang
3.
Di beri nasehat
4.
Celaan
5.
Pengucilan
6.
Pemecatan
7.
Pengumuman kesalahan secara
terbuka[10]
4.
Pngecualian/orang yang tidak dapat di
hukum ta’zir
Penecualian dalam tanggung jawab hukuman, Ali bin Abi thalib
berkata kepada Umar bin Khattab : “apakah engkau tahu bahwa tidaklah di catat
perbuatan baik atau buruk, dan tidak pula dituntut tanggung jawab atas apa yang
dilakukan, karena hal berikut:
1.
Orang yang gila sampai dia sadar
2.
Anak-anak sampai dia mencapai usia dewasa/baligh
3.
Orang yang tidur sampai dia bangun”. (Riwayat Imam bukhari.)
Berdasarkan riwayat diatas, kita dapat mengetahui tanggung jawab
hukum atau tidak pidana dalam syariat.Tanggung jawab atau tindak pidana yang
dilakukan dibenarkan kepada pelaku kejahatan itu sendiri. Ayah, Ibu, saudara
atau kerabatnya yang laintak dapat mengambil alih/menjalankan hukuman karena
kejahatan yang dilakukan sebagaimana yang telah terjadi pada masa jahiliyah,
sebelum islam. Al-Qur’anul karim menjelaskan bahwa tak seorangpun yang akan
memikul beban orang lainQ.S Al-An’am :124.
D.
Pengecualian Atau Orang Yang Tidak Dapat di Hukum Ta’zir
Syarat
hukum ta’zir dapat di lakukan pada suatu tempat, diantaranya :
1.
Pertama adanya
seorang pemimpin atau Qadhi dengan kriteria yaitu laki-laki, merdeka, mujtahid,
mempunyai pengaruh, memiliki angota badan yang berfungsi normal dari
pendengaran, penglihatan, dan dapat berbicara, serta memutuskan perkara melihat
dari maslahah dunia dan agama.
2.
Kedua supaya hukuman ta’zir bisa dijatuhkan atau
bisa dilaksanakan adalah hanya dengan satu syarat yaitu berakal saja. Maka
hukuman ta’zir hanya dijatuhkan kepada orang yang berakal yang melakukan suatu
kejahatan yang tidak memiliki ancaman had dan kafarat. Baik itu
laki-laki maupun perempuan, muslim atau kafir, baligh atau anak kecil
(muamayiz). Karena mereka semua selain anak kecil mereka memiliki kelayakan
untuk mendapat hukuman. Adapun anak kecil yang sudah mumayiz, maka ia di ta’zir,
namun bukan sebagai ta’zir namun sebagai bentuk mendidik dan
memberikan pelajaran (ta’dib).
Patokan
dan kriteria hukuman ta’zir adalah setiap orang yang melakukan suatu
kemungkaran atau menyakiti orang lain tanpa hak (tanpa alasan yang dibenarkan)
baik dengan ucapan, perbuatan ataupun isyarat, baik itu korbannya itu seorang
muslim atau kafir. Islam menanamkan dan memegang teguh prinsip kesamaan di
hadapan hukum dan perlindungan hukum tanpa diskriminasi dengan begitu jelas dan
tegas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jarimah Ta’zir
menurut hukum pidana islam adalah tindakan yang berupa edukatif (pengajaran)
terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi hadd dan kifaratnya. Atau
kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif dan hukumannya di
tentukan oleh hakim, atau pelaku tindak pidana atau pelaku perbuatan maksiat
yang hukumannya belum ditentukan oleh syari’at.
Dilihat dari segi dasar
hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat di bagi menjadi kepada tiga bagian,
yaitu:
1)
Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishas,
tetapi syarat-syaratnya tidak dipenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian
yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluaraga sendiri.
2)
Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkna dalam nas syara’ tetapi
hukumannya belum ditetapkan, sepeti riba, suap,dan mengurangi takaran dan
timbangan.
3)
Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan
oleh syara’.
Syarat
hukum ta’zir dapat di lakukan pada suatu tempat, diantaranya :
1.
Pertama adanya
seorang pemimpin atau Qadhi dengan kriteria yaitu laki-laki, merdeka, mujtahid,
mempunyai pengaruh, memiliki angota badan yang berfungsi normal dari
pendengaran, penglihatan, dan dapat berbicara, serta memutuskan perkara melihat
dari maslahah dunia dan agama.
2.
Kedua supaya hukuman ta’zir bisa dijatuhkan atau
bisa dilaksanakan adalah hanya dengan satu syarat yaitu berakal saja. Maka
hukuman ta’zir hanya dijatuhkan kepada orang yang berakal yang melakukan suatu
kejahatan yang tidak memiliki ancaman had dan kafarat. Baik itu
laki-laki maupun perempuan, muslim atau kafir, baligh atau anak kecil
(muamayiz). Karena mereka semua selain anak kecil mereka memiliki kelayakan
untuk mendapat hukuman. Adapun anak kecil yang sudah mumayiz, maka ia di ta’zir,
namun bukan sebagai ta’zir namun sebagai bentuk mendidik dan
memberikan pelajaran (ta’dib).
B.
Penutup
Demikian makalah
yang bisa kami uraikan, pasti banyak kekurangan dari segi penulisan dan redaksi
yang dikutip. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca.
Kritik dan saran dari pembaca sangat kami butuhkan untuk memperbaiki kinerja
kedepan. karena kesempurnaan hanya milik Allah sedangkan kekhilafan datangnya
dari kami. Terimakasih.
Daftar Pustaka
Muslich,
Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2005
Syahrur,
Muhammad, Limitasi Hukum Pidana Islam, Semarang : Walisongo Press, 2008
Rokhmadi,
Reformasi Hukum Pidana Islam, Semarang : Rasail Media Group
Santoso,
Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta : Gema Insani Press, 2003
Rahman,
Abdur, Tindak Pidana Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1992
[1]Rokhmadi, Reformasi Hukum Pidana Islam, (semarang: RASAIL
Media Group,2009), Cet. 1, hlm 66
[2]Ahmad wardi muslich, Hukum Pidan Islam, (Jakarta:
Sinar grafika, 2005), hlm 249
[3]Ahmad wardi muslich, Hukum Pidan Islam, (Jakarta:
Sinar grafika, 2005), hlm 252
[4]Muhammad syahrur, Limitasi Hukum Pidana Islam,(semarang Walisongo
Press,2008), hlm 34
[5]Ahmad wardi muslich, Hukum Pidan Islam, (Jakarta: Sinar
grafika, 2005), hlm 171
[6]Ahmad wardi muslich, Hukum Pidan Islam, (Jakarta:
Sinar grafika, 2005), hlm 255-156
[7]Abdur rahman, tindak pidana dalam syariat islam, (Jakarta):
Rineka cipta, 1992), hlm 14
[8]Ahmad wardi muslich, Hukum Pidan Islam, (Jakarta: Sinar
grafika, 2005), hlm 260
[9]Ahmad wardi muslich, Hukum Pidan Islam, (Jakarta:
Sinar grafika, 2005), hlm 264
0 Komentar