JARIMAH AL-RIDDAH/MURTAD
JARIMAH AL-RIDDAH
Disusun Untuk Memenuhi
Mata Kuliah
Dosen Pengampu: Drs. Mohammad
Solek, M.A
Logo
Disusun Oleh:
Muhammad Aniq Al Faruqi (1802026030)
HUKUM
PIDANA ISLAM
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Islam itu sebagai jalan yang sempurna dalam kehidupan. Islam sebagai agama
yang sesuai dengan segala zaman, sebagai ibadah, tuntunan, moril, material,
serta berhubungan dengan dunia dan akhirat. Islam tidak mengajarkan hal-hal
yang bertentangan dengan fitrah manusia. Islam juga tidak menghambat jalannya
pembangunan manusia, baik di bidang moral, spiritual dan fisik material. Akan
tetapi justru Islam mendorong manusia ke arah kesempurnaan. Namun dengan
bergulirnya waktu, dunia semakin canggih jurtru kerusakan moral, kerakusan
manusia semakin mengakar kuat, kebebasan, keindahan dunia dan rasio sesatnya
yang dijadikan patron dalam hidupnya.
Dengan demikian tak jarang manusia yang lari dari kebenaran agama Islam,
menjadi seorang pengkhianat terhadap peraturan-peraturan syariat Islam.
Disinilah Islam juga hadir memberikan perhatian serius bagi pengkhianat baik
laki-laki maupun perempuan. Semua manusia baik warga komunis maupun kapitalis
ataupun yang lainnya, bila ia mengingkari undang-undang negaranya tentu dituduh
sebagai pengkhianat terhadap negaranya.
Oleh sebab itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan kembali salah satunya
sebagai bentuk perhatian, di mana tak ada yang pantas di berikan kepada seorang
pengkhianat agama kecuali apa yang telah ditetapkan oleh syariat.
B.
Rumusan Masalah.
1.
Apa arti dari jarimah riddah dan dasar hukumnya?
2.
Sebutkan unsur-unsur jarimah riddah!
3.
Apa saja hukuman bagi orang yang melakukan jarimah riddah?
C.
Tujuan.
1.
Untuk mengetahui makna jarimah riddah.
2.
Untuk mengetahui unsur-unsur jarimah riddah.
3.
Untuk mengetahui hukuman bagi orang yang melakukan jarimah riddah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jarimah Riddah Dan Dasar Hukumnya.
Riddah dalam arti bahasa adalah الرجوع عن الشئ الى غيره ,
yang artinya kembali dari sesuatu yang lain. Ibrahim Unais dan
kawan-kawan dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith jilid I mengemukakan bahwa riddah berasal dari
kata: رده ردا وردة , yang artinya menolak dan memalingkannya.
Menurut istilah syara’. Pengertian riddah sebagaimana dikemukakan
oleh Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut:
وهى شرعا الرجوع عن دين الإسلا م إلى الكفر سواء با النية أوبالفعل
المكفر أوبالقول
Riddah
menurut syara’ adalah kembali dari agama Islam kepada kekafiran, baik dengan
niat, perbuatan yang menyebabkan kekafiran, atau dengan ucapan.
Pengertian yang sama dikemukakan juga oleh Abdul Qadir Audah
sebagai berikut:
الردة شرعا... الرجوع عن الإسلام اوقطع الإسلام
Riddah
adalah kembali (ke luar) dari agama Islam atau memutuskan (ke luar) dari agama
Islam.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapatlah dipahami
bahwa orang yang murtad adalah orang yang ke luar dari agama Islam dan kembali kepada kekafiran.
Riddah
merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah yang diancam dengan hukuman di
akhirat, yang dimasukkan ke neraka selama-lamnya. Hal ini dijelaskan oleh Allah
dalam Surah Al-Baqarah ayat 217:
ومن يرتدد منكم عن دينه فيمت وهو كافر فأولئك حبطت أعما لهم في الدنيا
والاخرة وأولئك أصحب النار هم فيها خالدون (البقرة : 217)
Barang
siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mau dalam kekafiran
maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka
itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah: 217)
Di samping Al qur’an, Rasulullah saw. menjelaskan hukuman untuk
orang murtad ini dalam sebuah hadits:
وعن ابن عباس رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من
بدل دينه فاقتلوه (رواه البخارى)
Dari
Ibn Abbas ra. Ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa menukar
agamanya maka bunuhlah ia.” (HR.
Bukhari)
Dalam hadits lain disebutkan:
وعن عائشة ، لايحل دم امرئ مسلم إلا من ثلاثة : إلا من زنا بعد ما
أحصن أو كفر بعد ما أسلم أوقتل نفسا فقتل بها (رواه أحمد والنساىئ ومسلم)
Dari
Aisyah ra. telah bersabada Rasulullah saw.: “Tidak halal darah seorang muslim
kecuali karena tiga perkara, orang yang berzina dan ia muhshan, atau orang yang
kafir setelah tadinya ia Islam, atau membunuh
jiwa sehingga karenanya ia harus dibunuh pula.” (HR. Ahmad, Nasa’i, dan Muslim)
Dari ayat dan hadits tersebut jelaslah bahwa murtad termasuk salah
satu jenis tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.[1]
B.
Unsur-unsur Jarimah Riddah.
1.
Kembalinya (ke luar) dari Islam
Pengertian
ke luar dari Islam adalah meninggalkan agama Islam setelah tadinya mempercayai
dan meyakininya.
Ke
luar dari Islam bisa terjadi dengan salah satu dari tiga cara, yaitu:
a.
Dengan perbuatan atau menolak perbuatan,
b.
Dengan ucapan (perkataan),
c.
Dengan iktikad atau keyakinan.
Ke luar dari
Islam dengan perbuatan terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan yang
diharamkan oleh Islam dengan menganggapnya boleh atau tidak haram, baik ia
melakukannya dengan sengaja atau melecehkan Islam, menganggap ringan atau
menunjukkan kesombongan. Contohnya seperti sujud kepada berhala, matahari,
bulan, atau bintang, melemparkan mushaf Al qur’an atau kitab hadits ketempat
yang kotor, atau menginjak-injaknya, melecehkannya, atau tidak mempercayai
ajaran yang dibawa oleh Al qur’an.
Adapun yang
dimaksud dengan menolak melakukan perbuatan adalah keengganan seseorang untuk
melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh agama (Islam), dengan diiringi
keyakinan bahwa perbuatan tersebut tidak wajib. Contohnya seperti enggan
melaksanakan shalat, zakat, puasa, atau haji, karena merasa semuanya itu tidak
wajib.
Para ulama telah sepakat bahwa setiap perundang-undangan yang
bertentangan dengan syari’at Islam, hukumnya batal dan tidak wajib ditaati. Ke
luar dari Islam juga bisa terjadi dengan keluarnya ucapan dari mulut seseorang
yang berisi kekafiran. Contohnya seperti pernyataannya bahwa Allah punya anak,
mengaku menjadi nabi, mempercayai pengakuan seseorang sebagai nabi, mengingkari
nabi, malaikat, dan lailn-lain.[2]
Disamping itu,
ke luar dari Islam juga bisa terjadi dengan iktikad atau keyakinan yang tidak
sesuai dengan akidah Islam. Contohnya seperti orang yang meyakini langgengnya
alam, atau keyakinan bahwa Allah itu makhluk, atau keyakinan bahwa manusia
menyatu dengan Allah, atau keyakinan bahwa Al qur’an itu bukan dari Allah, atau
bahwa Nabi Muhammad itu bohong, Ali sebagi nabi, atau bahkan menganggapnya
sebagai Tuhan,dan lain-lain yang bertentangan dengan Al qur’an dan sunah Rasul.
Adapun
keyakinan semata-mata tidak menyebabkan seseorang menjadi murtad (kafir), sebelum
diwujudkan dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan empat imam ahli hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw
bersabda:
إن الله تعالى تجاوز لأمتى عما حدثت به أنفسها مالم تتكلم به أوتعمل
به (رواه الأربعة عن أبى هريرة)
Sesungguhnya Allah Ta’ala mengampuni umatku dari apa-apa yang
terlintas dalam hatinya, selama belum diucapkan atau dikerjakan. (HR. Empat imam dari Abu Hurairah)
Dengan
demikian, seseorang yang baru beriktikad dalam hatinya dengan iktikad yang
bertentangan dengan Islam, belum dianggap ke luar dari Islam dan dunia secara
lahiriyahnya ia tetap dianggap sebagi muslim dan tidak dikenakan hukuman.
Adapun di akhirat ketentuan dan urusannya diserahkan kepada Allah SWT. Apabila
iktikadnya itu telah diwujudkan dan dibuktikan dengan ucapan atau perbuatan
maka ia sudah termasuk murtad.
Seseorang
dianggap murtad apabila ia berakal sehat. Dengan demikian, orang yang tidak
berakal pernyataan murtadnya tidak sah, seperti orang gila, tidur, sakit
ingatan, mabuk karena barang yang mubah, atau anak kecil yang belum tamyiz, yang
akalnya belum sempurna. Adapun pernyataan murtad anak kecil mumayiz (berakal)
diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad,
baligh (dewasa) bukan merupakan syarat untuk sahnya murtad. Dengan demikian,
murtadnya anak kecil yang sudah berakal (mumayiz) hukumnya sah. Imam Abu
Yusuf murid Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa anak kecil yang belum baligh
riddahnya tidak sah. Pendapat Imam Abu Hanifah diikuti oleh Imam Malik dan
sebagian Hanabilah, sedangkan sebagian ulama Hanabilah yang lain mengikuti
pendapat Imam Abu Yusuf. Imam Abu Hanifah dan kawan-kawan beralasan abahwa anak
yang mumayiz apabila menyatakan Islam hukumnya sah, demikian pula
sebaliknya, apabila ia menyatakan murtad, hukumnya juga sah. Hal ini karena
iman dan kafir kedua-duanya merupakan perbuatan nyata yang keluar dari hati
sebagi salah satu anggota badan. Pengakuan dari anak kecil yang sudah berakal (mumayiz)
menunjukkan adanya kedua hal tersebut (iman dan kufur). Akan tetapi, Imam Abu
Yusuf berargumentasi (beralasan) bahwa akal anak kecil dalam tasarruf yang
betul-betul merugikan, dianggap tidak ada. Oleh karena itu, anak kecil talaknya
tidak sah. Demikian pula memerdekakannya, dan pemberiannya, termasuk murtadnya,
juga tidak sah, karena murtad termasuk tindakan yang merugikan. Adapun
pernyataan iman dari anak kecil (mumayiz) hukumnya sah, karena iman
termasuk tindakan yang betul-betul menguntungkan. Itulah sebabnya menurut Imam
Abu Yusuf, Islamnya anak kecil (mumayiz) hukumnya sah, tetapi murtadnya
tidak sah.
Menurut fuqaha Syafi’iyah, murtadnya anak kecil dan Islamnya
hukumnya tidak sah. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Zufar dari
pengikut mazhab Hanafi, Zhahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah. Mereka beralasan
dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibn Majah,
dan Hakim dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda:
رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن المبتلى حتى يبرأ وعن
الصبي حتى يكبر
Dihapuskan ketentuan hukum dari tiga orang, dari orang yang tidur
sampai ia bangun, dan dari orang gila sampai ia sembuh, serta dari anak kecil
sampai ia dewasa.
Meskipun demikian, kelompok Syafi’iyah tetap mengakui keislaman
anak kecil, karena ia mengikuti kedua orang tuanya atau salah satunya masuk
Islam. Adapun anak dari orang yang murtad, baik yang murtad itu bapaknya atau
ibunya atau kedua-duanya, hukumnya tetap anak muslim. Setelah mereka dewasa dan
tetap dalam keislamannya maka ia betul-betul muslim. Akan tetapi apabila
setelah dewasa mereka kafir, maka mereka (anak-anak) itu termasuk murtad, dan
kepada mereka diberlakukan ketentuan-ketentuan orang yang murtad. Adapun anak
yang dikandung dan dilahirkan oleh orang yang murtad maka ia dihukumi sebagai
anak kafir, karena kedua orang tuanya kafir.
Menurut Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Zhahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah, apabila
seorang ibu atau bapak masuk Islam maka anak-anaknya yang masih kecil dihukumi
Islam, karena ia mengikuti orang tuanya. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat bahwa
agama anak mengikuti agama bapaknya. Artinya, jika bapaknya masuk Islam maka
anak-anaknya yang masih kecil dihukumi muslim. Akan tetapi apabila ibunya masuk
Islam, sedangkan bapaknya tidak maka anaknya tetap kafir, karena anak mengikuti
bapaknya, tidak mengikuti ibunya.
2.
Niat yang Melawan Hukum
Untuk terwujudanya jarimah riddah disyaratkan bahwa pelaku
perbuatan itu sengaja melakukan perbuatan atau ucapan yang menunjukkan kepada
kekafiran, padahal ia tahu dan sadar bahwa perbuatan atau ucapan itu berisi
kekafiran. Dengan demikian, apabila seseorang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan kekafiran tetapi ia tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut
menunjukkan kekafiran, maka tidak termasuk kafir atau murtad. Demikian pula
seseorang yang tanpa sengaja karena kaget atau gembira mengucapkan kata-kata
kufur , seperti kata La Ilah (tidak ada Tuhan) maka ia tidak otomatis
menjadi kafir.
Imam Syafi’i mensyaratkan untuk terjadinya jarimah riddah, pelaku
perbuatan tersebut harus berniat melakukan kekufuran, dan tidak cukup dengan
perbuatan atau ucapan yang mengandung kekufuran semata. Alasanya adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Alqamah ia berkata:
سمعت
عمربن الخطاب رضى الله عنه يخطب قال سمعت النبى صلى الله عليه وسلم يقول : يأيها
الناس إنما الأعمال بالنية وإنما لكل امرئ مانوى.......
Saya
mendengar Umar ibn Al-Khatab ra. berpidato, ia berkata: Saya mendengar Nabi
saw. bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya perbuatan itu harus disertai dengan
niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang diniatkannya......”
Dengan demikian, apabila perbuatan atau ucapan kufurnya itu tidak
disertai dengan niat, pelaku perbuatan itu tidak menjadi kafir. Pendapat ini
diikuti oleh mazhab Zhahiriyah. Menurut mereka, semua perbuatan yang tidak
disertai dengan niat hukumnya batal dan tidak menimbulkan akibat hukum.
Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, untuk terwujudnya jarimah
riddah cukup dengan adanya kesengajaan melakukan perbuatan atau ucapan yang
menunjukkan kekafiran, dan tidak perlu adanya niat kufur. Pendapat ini juga
diikuti oleh Syi’ah Zaidiyah. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad malah berpendapat
bahwa perbuatan atau ucapan yang main-main juga dapat mengakibatkan kekafiran
apabila ucapan dan perbuatannya itu mengandung arti kufur, dan pelaku perbuatan
itu mempunyai kebebasan (ikhtiar) dan mengetahui arti perbuatan dan ucapannya
itu. Hal ini karena dengan perbuatan atau ucapan kufur tersebut maka
kepercayaan (tashdiq) secara hukum menjadi hilang, meskipun secara
hakiki masih ada.[3]
C.
Hukuman Jarimah Riddah.
1.
Hukuman Pokok
Hukuman
pokokuntuk jarimah riddah adalah hukuman mati dan statusnya sebagai hukuman
had. Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi saw.:
وعن ابن عباس
رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من بدل دينه فاقتلوه (رواه
البخارى)
Dari Ibn Abbas
ra. ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw.: “Barang siapa yang menukar
agamanya maka bunuhlah ia.” (HR.
Bukhari)
Hukuman
mati ini adalah hukuman yang berlaku umum untuk setiap orang yamh murtad, baik
ia laki-laki maupun perempuan, tua maupaun muda. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa perempuan tidak dihukum mati karena murtad, melainkan dipaksa kembali
kepada Islam, dengan jalan ditahan, dan dikeluarkan setiap hari untuk diminta
bertaubat dan ditawari untuk kembali ke dalam Islam. Apabila ia menyatakan
Islam maka ia dibebaskan. Akan tetapi, apabila ia tidak mau menyatakan Islam
maka ia tetap ditahan (dipenjara) sampai ia mau menyatakan Islam atau sampai ia
meninggal dunia.
Imam
Abu Hanifah juga berpendapat bahwa anak mumayiz yang murtad tidak dihukum mati
dalam empat keadaan sebagai berikut:
1)
Apabila Islamnya mengikuti kedua orang tuanya, dan setelah baligh
ia murtad. Dalam hal ini menurut qiyas, seharusnya ia dibunuh, tetapi
menurut istihsan ia tidak dibunuh
karena syubhat,
2)
Apabila ia murtad pada masa kecilnya,
3)
Apabila ia pada masa kecilnya Islam, kemudian setelah baligh ia
murtad. Dalam hal ini ia tidak dibunuh, berdasarkan istihsan, karena ada
syubhat,
4)
Apabila ia berasal dari negeri bukan Islam, yang ditemukan di
negeri Islam. Dalam hal ini ia dihukumi sebagai anak Islam, karena mengikuti
negeri (Islam), sama halnya dengan anak yang dilahirkan dilingkungan kaum
muslimin.
Sebagai
pengganti dari hukuman mati yang tidak diterapkan kepada anak mumayiz dalam
keempat keadaan tersebut, menurut Imam Abu Hanifah, ia dipaksa untuk menyatakan
Islam, seperti halnya perempuan, dengan jalan ditahan atau dipenjara sebagai
ta’zir.
Menurut Imam
Malik, anak mumayiz yang murtad
harus dihukum bunuh apabila ia murtad setelah baligh, kecuali:
1)
Anak yang menanjak remaja ketika ayahnya masuk Islam,
2)
Anak yang ditinggalkan kepada ibunya yang masih kafir, baik ia
(anak tersebut) sudah mumayiz atau belum.
Dalam dua
keadaan ini, ia tidak dibunuh, melainkan dipaksa untuk kembali kepada Islam,
dengan dikenakan hukuman ta’zir. Menurut mazhab yang lain, anak mumayiz tetap
dihukum mati apabila setelah baligh ia menjadi murtad. Dalam hal ini, statusnya
disamakan dengan laki-laki atau wanita yang murtad.
Menurut
ketentuan yang nerlaku, orang yang murtad tidak dapat dikenakan hukuman mati,
kecuali setelah ia diminta untuk bertaubat. Apabila setelah ditawari untuk
bertaubat ia tidak mau maka barulah hukuman mati dilaksanakan. Adapun cara
taubat adalah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, disertai dengan
pengakuan-pengakuan dari orang yang murtad terhadap apa yang diingkarinya dan
melepaskan diri dari setiap agama dan keyakinan yang menyimpang dari agama
Islam.
2.
Hukuman Pengganti
Hukuman pengganti untuk jarimah riddah berlaku dalam dua keadaan
sebagai berikut:
a.
Apabila hukuman pokok gugur karena taubat maka hakim menggantinya
dengan hukuman ta’zir yang sesuai dengan keadaan pelaku perbuatan tersebut,
seperti hukuman jilid (cambuk), atau penjara, atau denda, atau cukup dengan
dipermalukan (taubikh). Dalam hal hukuman yang dijatuhkannya hukuman
penjara maka masanya boleh terbatas dan boleh pula tidak terbatas, sampai ia
taubat dan perbuatan baiknya sudah kelihatan,
b.
Apabila hukuman pokok gugur karena syubhat, seperti pandangan Imam
Abu Hanifah yang menggugurkan hukuman mati dari pelaku wanita dan anak-anak
maka dalam kondisi ini pelaku perbuatan itu (wanita dan anak-anak) dipenjara
dengan masa hukuman yang tidak terbatas dan keduanya dipaksa untuk kembali ke
agama Islam.
3.
Hukuman Tambahan
a)
Penyitaan atau Perampasan Harta
Menurut
Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, apabila orang murtad meninggal atau
dibunuh maka hartanya menjadi milik bersama dan tidak boleh diwaris oleh siapa
pun. Atau dengan kata lain, harta tersebut harus disita oleh negara. Menurut
Imam Malik, harta tersebut dapat diwaris oleh ahli waris yang beragama Islam.
Menurut
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya, harta yang dimiliki oleh orang murtad
pada saat ia masih dalam keislamannya, apabila ia meninggal dunia, tetap
diwaris oleh ahli waris yang beragama Islam. Dengan demikian, menurut mereka
harta yang disita oleh negara hanyalah harta yang diperoleh setelah ia murtad.
Mazhab
Syi’ah Zaidiyah sama pendapatnya dengan mazhab Hanafi. Menurut Zhahiriyah,
harta orang murtad diberikan kepada ahli warisnya yang kafir apabila ada.
Dengan demikian menurut Zhahiriyah, harta orang murtad tidak dapat disita oleh
negara dan tidak pula diberikan kepada ahli warisnya yang beragama Islam.
Hadits Nabi
saw.:
وعن أسامة بن
زيد أن النبى صلى الله عليه وسلم قال : لايرث المسلم الكافر ولايرث الكافر المسلم (متفق
عليه)
Dari Usamah ibn
Zaid bahwa Nabi saw. bersabda: “Orang muslim tidak dapat mewarisi orang kafir,
dan orang kafir tidak dapat mewarisi orang muslim.” (Muttafaq alaih)
b)
Berkurangnya Kecakapan untuk Melakukan Tasarruf
Riddah
tidak berpengaruh terhadap kecakapan untuk memiliki sesuatu dengan cara apa pun
kecuali warisan, tetapi ia berpengaruh terhadap kecakapan untuk men-tasarruf-kan
hartanya, baik harta tersebut diperoleh sebelum murtad maupun sesudahnya.
Dengan demikian, tasarruf orang murtad, seperti menjual barang, tidak nafidz
melainkan mauquf (ditangguhkan keabsahannya). Apabila ia kembali ke
Islam maka tasarruf-nya itu hukumnya sah dan dapat dilangsungkan, dan
apabila ia mati dalam keadaan murtad maka tasarruf-nya hukumnya batal.[4]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Riddah
dalam arti bahasa adalah الرجوع
عن الشئ الى غيره ,
yang artinya kembali dari sesuatu yang lain. Menurut istilah syara’.
Pengertian riddah sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili adalah sebagai
berikut:
وهى شرعا الرجوع
عن دين الإسلا م إلى الكفر سواء با النية أوبالفعل المكفر أوبالقول
Riddah menurut
syara’ adalah kembali dari agama Islam kepada kekafiran, baik dengan niat,
perbuatan yang menyebabkan kekafiran, atau dengan ucapan.
Unsur-unsur
Jarimah Riddah.
·
Kembalinya (ke luar) dari Islam
Pengertian
ke luar dari Islam adalah meninggalkan agama Islam setelah tadinya mempercayai
dan meyakininya.
Ke
luar dari Islam bisa terjadi dengan salah satu dari tiga cara, yaitu:
1.
Dengan perbuatan atau menolak perbuatan,
2.
Dengan ucapan (perkataan),
3.
Dengan iktikad atau keyakinan.
·
Niat yang Melawan Hukum
Untuk
terwujudanya jarimah riddah disyaratkan bahwa pelaku perbuatan itu sengaja
melakukan perbuatan atau ucapan yang menunjukkan kepada kekafiran, padahal ia
tahu dan sadar bahwa perbuatan atau ucapan itu berisi kekafiran.
Hukuman Jarimah
Riddah.
·
Hukuman Pokok
Hukuman
pokokuntuk jarimah riddah adalah hukuman mati dan statusnya sebagai hukuman
had.
·
Hukuman Pengganti
·
Hukuman Tambahan
1)
Penyitaan atau Perampasan Harta,
2)
Berkurangnya Kecakapan untuk Melakukan Tasarruf.
DAFTAR PUSTAKA
Muslich, H.A., Wardi. 2016. Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Sinar Grafika.
Ali, Zainuddin. 2008. Hukum
Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Muslich, Wardi Ahmad. 2006. Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih
Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika.
Irfan Nurul, Masyrofah. 2013. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah.
[2] Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
[3] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih
Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
0 Komentar